RUU TNI yang tengah digodok Komisi I DPR RI menimbulkan perdebatan sengit di tengah masyarakat dan menghadirkan dilema pelik bagi bangsa Indonesia. Proses pembahasan RUU TNI ini memiliki dinamika yang cukup signifikan. Sebab, didukung berbagai fraksi di DPR, namun ditolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Dalam revisi ini, dibahas tiga poin, yakni Pasal 3 yang mengatur tentang kedudukan TNI, Pasal 53 mengenai batas usia pensiun, dan Pasal 47 terkait dengan prajurit aktif yang bisa menduduki jabatan sipil.
Akan tetapi, Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa RUU TNI berpotensi memunculkan dwifungsi ABRI hingga menurunkan kualitas demokrasi.
Pro dan kontra bermunculan, membagi publik menjadi dua kubu yang sama-sama beralasan kuat. Sebagian menilai RUU ini krusial untuk memodernisasi pertahanan negara di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Namun, lain pihak khawatir RUU ini justru akan mengancam demokrasi dan melemahkan kontrol sipil atas militer dan mengancam sendi-sendi demokrasi yang telah susah payah dibangun. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menganalisis secara mendalam isi RUU ini dan dampaknya terhadap masa depan bangsa.
Para pendukung RUU TNI menekankan pentingnya modernisasi alutsista dan peningkatan kapasitas profesionalisme TNI untuk menghadapi berbagai ancaman, karna Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan beragam potensi ancaman seperti terorisme, kejahatan transnasional, dan konflik regional memang membutuhkan TNI yang kuat dan modern. Mereka berpendapat bahwa TNI yang kuat dan modern merupakan pilar penting menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) menjadi kunci untuk menghadapi tantangan tersebut. Namun, modernisasi bukan hanya sekadar soal pengadaan senjata canggih. Ia juga mencakup peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) TNI, pengembangan doktrin militer yang adaptif, serta peningkatan sistem logistik dan intelijen. Tanpa SDM yang profesional dan terlatih, alutsista secanggih apapun akan menjadi sia-sia.
Dalam konteks regional yang dinamis, peningkatan kemampuan pertahanan menjadi kebutuhan mendesak. Mereka juga mungkin menunjuk pada kebutuhan untuk menghadapi ancaman terorisme, kejahatan transnasional, dan bencana alam. Modernisasi, bagi mereka, bukan sekadar soal senjata, tetapi juga tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia di tubuh TNI.
Di tengah dorongan untuk memodernisasi TNI, timbul kekhawatiran yang signifikan mengenai potensi pengurangan kontrol sipil atas militer. Di sisi lain, banyak kalangan yang skeptis terhadap RUU TNI. Sejarah panjang intervensi militer dalam politik Indonesia menjadi latar belakang kekhawatiran ini. Ahistorisme yang menjangkiti masyarakat di Indonesia dimanfaatkan oleh pemerintah melalui DPR RI dengan dibahasnya Revisi Undang-Undang (RUU) TNI pada 14-15 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta. Rapat yang dikoordinasi oleh Panja dari Komisi I bersama pemerintah mencerminkan proses politik yang tidak melibatkan publik dan terkesan terburu-buru. Secara substantif, RUU TNI banyak dikritik oleh publik terutama dalam beberapa pasal yang menyangkut pada upaya untuk mengembalikan eksistensi TNI dalam ruang birokrasi pemerintah. Hal ini tercantum di dalam Pasal 47 yang membuka kesempatan bagi TNI untuk menduduki beberapa instansi strategis di pemerintahan.
Selain itu, Pasal 53 juga mengubah batas usia pensiun perwira TNI dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Tidak hanya itu, batas usia pada jabatan fungsional tertentu juga dapat diperpanjang menjadi 65 tahun. Hal ini berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI dan berimplikasi pada surplus perwira dengan kekosongan jabatan. Banyak narasi kritis yang melihat bahwa RUU TNI menjadi pintu dari lahirnya Dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru. Hal ini sangat rasional, sebab RUU TNI secara kontekstual memberikan ruang bagi TNI untuk semakin dominatif dalam instansi pemerintah yang bersifat strategis. Perluasan instansi pemerintah yang dapat dijabat oleh TNI mempertebal argumentasi kritis tersebut.
Mereka khawatir pasal-pasal tertentu dalam RUU tersebut akan memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada TNI, mengurangi pengawasan dari lembaga sipil, melemahkan supremasi sipil, dan berpotensi menciptakan militerisme. Kekhawatiran ini terutama muncul terkait dengan kemungkinan perluasan peran TNI di luar bidang pertahanan dan keamanan, yang dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan mengaburkan batas kewenangan antara TNI dan lembaga sipil lainnya. Serta potensi pengurangan transparansi dan akuntabilitas dalam penganggaran dan operasional TNI juga menjadi hal yang krusial untuk dijaga, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Mereka juga mungkin menunjuk pada sejarah panjang intervensi militer dalam politik di Indonesia sebagai alasan untuk tetap waspada. Kebebasan sipil dan hak asasi manusia menjadi poin penting yang perlu dijaga.
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra, menilai banyak hal yang bermasalah pada revisi UU TNI yang dibahas pemerintah dan panitia kerja (panja) DPR RI. Menurutnya, DPR seharusnya melakukan telaah lebih jauh karna proses pembuatan RUU ini cukup cepat, membuat ruang publik memberikan aspirasi dan masukan jadi sangat minim.
Dimas menilai bahwa sebelum revisi UU TNI disahkan, sudah banyak prajurit aktif TNI yang ditempatkan di luar bidang yang dibolehkan UU TNI. Ia juga mengungkap kekhawatiran bahwa pengesahan revisi UU TNI akan menjadi pintu masuk kembalinya dwifungsi ABRI di Indonesia. Dwifungsi militer tidak hanya dimaknai militer melakukan politik praktis, tapi mengemban tugas-tugas di luar tugas pokok utamanya. Ini membuat fungsi utama terhambat.
Perdebatan ini seharusnya tidak dilihat sebagai pertentangan yang hitam putih. Dilema ini menuntut kita untuk mencari titik temu antara kebutuhan modernisasi pertahanan dengan penguatan demokrasi dan supremasi sipil. Modernisasi TNI memang penting dan harus dilakukan secara terstruktur dan terencana, namun hal tersebut tidak boleh mengorbankan nilai-nilai demokrasi dan supremasi sipil. Penting untuk memastikan bahwa RUU TNI tidak memberikan ruang bagi militer untuk kembali mengintervensi politik. Mekanisme pengawasan sipil yang efektif dan transparan harus diperkuat, termasuk melalui pengawasan parlemen, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil. Selain itu, perlu adanya peningkatan pendidikan dan pemahaman publik mengenai peran dan fungsi TNI dalam sistem demokrasi.
Kunci dari penyelesaian masalah ini terletak pada keseimbangan: bagaimana memodernisasi TNI tanpa mengorbankan kontrol sipil dan hak-hak asasi manusia. Perlu adanya dialog yang intensif antara pemerintah, lembaga legislatif, tokoh masyarakat, dan berbagai elemen masyarakat sipil untuk mencapai konsensus. Transparansi dan keterbukaan dalam proses pembahasan RUU menjadi sangat penting agar publik dapat ikut berpartisipasi dan memberikan masukan.
Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya RUU TNI dan memastikan agar modernisasi pertahanan tidak mengorbankan demokrasi. Organisasi masyarakat sipil, media massa, dan akademisi harus aktif memberikan masukan dan kritik konstruktif terhadap isi RUU. Transparansi dalam proses pembahasan RUU sangat penting agar publik dapat berpartisipasi dan memberikan pengawasan. Kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi kunci dalam memastikan bahwa proses legislasi ini berjalan dengan demokratis dan akuntabel.
RUU TNI harus disikapi secara bijak dan kritis. RUU TNI bukanlah sekadar masalah teknis pertahanan, melainkan masalah fundamental yang menyangkut masa depan demokrasi Indonesia. Modernisasi pertahanan memang penting, namun hal tersebut harus dilakukan dengan bijak dan terstruktur, serta sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Perlu adanya komitmen bersama dari pemerintah, lembaga legislatif, TNI, dan masyarakat sipil untuk mencari jalan tengah yang dapat menyeimbangkan kebutuhan akan pertahanan yang kuat dengan penguatan demokrasi yang kokoh. Proses pembahasan RUU harus transparan dan melibatkan partisipasi publik secara luas agar tercipta solusi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak dan menjamin masa depan Indonesia yang demokratis dan aman. Jangan sampai modernisasi TNI justru menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menjadi negara yang kuat, aman, dan demokratis. RUU TNI harus menjadi instrumen untuk memperkuat, bukan melemahkan, fondasi demokrasi kita.