Seorang pendaki berusia 18 tahun dilaporkan tewas setelah terjatuh di lereng Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Pendakian dilakukan tanpa prosedur resmi alias ilegal, sehingga korban tidak tercatat dalam sistem Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) dan tidak dilindungi mekanisme standar keselamatan yang berlaku. Kasus ini menambah panjang daftar insiden di salah satu gunung terpopuler di Indonesia, sekaligus menyoroti masih maraknya jalur tikus dan praktik pendakian tanpa izin di kawasan taman nasional.
Image Illustration. Photo by Ilham Hadiansyah on Unsplash
Berdasarkan keterangan sejumlah relawan dan petugas SAR, korban disebut mendaki bersama beberapa rekannya melalui jalur tidak resmi yang kerap dimanfaatkan warga dan pendaki untuk menghindari biaya tiket maupun pembatasan kuota pendakian. Jalur ini umumnya tidak diawasi petugas, minim rambu, dan tidak tercantum dalam peta resmi pendakian BTNGR. Ketika kecelakaan terjadi, laporan ke pihak berwenang pun terlambat karena rombongan tidak terhubung dengan sistem pemantauan resmi pendakian yang mewajibkan registrasi sebelum naik.
Medan Rinjani dikenal curam, berbatu, serta memiliki banyak jalur sempit di tepi jurang dan area pasir licin, terutama menjelang puncak dan sepanjang beberapa segmen jalur yang populer. Di jalur ilegal, risiko ini berlipat karena trek tidak dinilai kelayakannya oleh pengelola taman nasional dan tidak dilengkapi sistem peringatan bahaya ataupun pos pemantauan.
Gunung Rinjani bukan hanya ikon wisata NTB, tetapi juga salah satu destinasi pendakian tersibuk di Indonesia. Balai Taman Nasional Gunung Rinjani mencatat, hanya dalam periode Januari–Oktober 2025, terdapat 72.528 kunjungan pada destinasi wisata pendakian dan 43.502 kunjungan pada destinasi non-pendakian, dengan total 116.030 wisatawan di kawasan taman nasional. Rinjani National Park sendiri menyebut total kunjungan destinasi pendakian sepanjang 2025 hingga Oktober telah mencapai lebih dari 72 ribu orang.
Lonjakan minat terlihat jelas beberapa tahun terakhir. BTNGR melaporkan bahwa sepanjang 2024, kawasan Rinjani dikunjungi 189.091 wisatawan—terdiri dari 47.789 wisatawan mancanegara dan 141.302 wisatawan nusantara—dengan 93.796 di antaranya melakukan pendakian. Tren peningkatan tajam ini juga dicatat media lokal, yang melaporkan bahwa jumlah kunjungan pada 2024 naik sekitar 64 persen dibanding 2023. Angka ini belum termasuk mereka yang naik melalui jalur ilegal dan tidak tercatat dalam sistem resmi.
Di tengah membludaknya kunjungan, risiko kecelakaan pun meningkat. Dalam kurun 2016–2024, BTNGR mencatat sedikitnya 273 kecelakaan pendakian dengan 17 orang tewas dan 200 orang cedera, termasuk melibatkan 44 pendaki mancanegara. Laporan lain merinci bahwa dalam lima tahun terakhir saja, serangkaian insiden fatal terjadi, termasuk sejumlah pendaki yang terjatuh ke jurang saat mengejar puncak pada dini hari. Kondisi medan, jam pendakian yang ekstrem, dan cuaca yang cepat berubah menjadikan Rinjani tidak ideal untuk pemula tanpa pendamping berpengalaman.
Pendakian ilegal di Rinjani bukan fenomena baru. Dalam dua dekade terakhir, otoritas taman nasional mencatat tidak kurang dari 45.000 pelanggaran pendakian, mulai dari pendaki tanpa tiket hingga penggunaan jalur tidak resmi. Banyak di antara pelanggaran ini dilakukan untuk menghindari biaya resmi atau mengakali kuota pendakian yang sengaja dibatasi demi keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Padahal, sistem tiket dan registrasi resmi bukan sekadar soal pemasukan negara. BTNGR menerapkan kuota harian pendakian untuk membatasi kepadatan di jalur dan kawasan perkemahan, sekaligus mempermudah pemantauan dan evakuasi bila terjadi insiden. Pendaki yang tercatat dalam sistem resmi akan terhubung dengan jaringan pemandu, porter, dan petugas lapangan, sehingga ketika terjadi kecelakaan, koordinasi dengan tim SAR bisa berlangsung lebih cepat dan terarah.
Di sisi lain, pendakian ilegal biasanya tidak melalui briefing resmi yang menjelaskan tentang kondisi cuaca, rute, titik rawan, hingga aturan membawa sampah turun kembali sebagai bagian dari program "Zero Waste Rinjani" yang saat ini tengah digalakkan. Imbasnya, selain berbahaya bagi keselamatan, pendakian ilegal juga berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan di kawasan puncak dan danau kawah Segara Anak.
Di banyak komunitas, mendaki Rinjani pada usia belia—termasuk remaja 16–18 tahun—telah menjadi semacam ritus pergaulan. Media sosial dipenuhi foto-foto dari puncak 3.726 mdpl, memicu budaya "harus sampai puncak" meski kemampuan fisik dan pengalaman teknis belum memadai. Dalam sejumlah kasus, rombongan nekat mengejar matahari terbit dengan start dini hari di jalur berpasir yang licin dan minim pencahayaan, faktor yang berkali-kali disebut sebagai pemicu kecelakaan fatal di gunung ini. Tekanan kelompok, keinginan menghemat biaya, serta anggapan bahwa jalur alternatif yang dibuka warga lokal lebih "cepat" dan "fleksibel" membuat pilihan jalur ilegal terasa menarik bagi pendaki muda yang minim informasi risiko.
Dalam konteks ekonomi lokal, keberadaan jalur tikus sering berkaitan dengan mata pencaharian warga desa sekitar gunung yang menawarkan jasa pemandu dan porter di luar mekanisme resmi. Di satu sisi, mereka bergantung pada arus wisatawan; di sisi lain, ketidakpatuhan terhadap aturan taman nasional menempatkan pendaki dan warga dalam pusaran risiko hukum dan keselamatan. Penguatan peran masyarakat sekitar dalam pengelolaan wisata resmi kerap disebut pakar pariwisata sebagai salah satu kunci mengurangi praktik ilegal di kawasan konservasi.
Serangkaian kecelakaan di Gunung Rinjani dalam beberapa tahun terakhir memicu desakan agar pemerintah dan pengelola taman nasional memperkuat sistem keselamatan pendakian. Laporan mendalam media nasional menilai bahwa kecelakaan berulang di Rinjani menunjukkan masih adanya celah di sisi manajemen risiko, mulai dari pengawasan jalur, standardisasi pemandu, hingga sanksi tegas terhadap pelanggaran pendakian. Beberapa perbaikan sudah terlihat, seperti penggunaan helikopter dan drone dalam operasi SAR yang mempercepat evakuasi korban pada kasus-kasus terbaru. Namun, ketika pendakian dilakukan secara ilegal, kecepatan respons ini tetap tergantung pada seberapa cepat informasi sampai ke otoritas.
Dari sisi regulasi, aturan pendakian di taman nasional pada prinsipnya sudah jelas: setiap pendaki wajib mendaftar, membayar retribusi, mematuhi kuota, menggunakan jalur resmi, dan mengikuti arahan petugas. Data BTNGR menunjukkan bahwa pengelolaan yang lebih tertib tidak hanya berdampak pada keselamatan, tetapi juga pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pada 2024, aktivitas pendakian dan non-pendakian di Rinjani menghasilkan PNBP sekitar Rp22,5 miliar, sementara periode Januari–Oktober 2025 saja sudah menyumbang lebih dari Rp21,6 miliar. Angka ini menjadi argumen kuat bahwa penguatan sistem resmi—termasuk edukasi dan penegakan sanksi—selayaknya berjalan seiring demi melindungi wisatawan sekaligus menjaga keberlanjutan kawasan.
Kematian pendaki 18 tahun di Gunung Rinjani menambah satu lagi nama dalam deret panjang korban di gunung yang kerap disebut sebagai salah satu jalur pendakian terindah di dunia. Tragedi ini menggarisbawahi bahwa keindahan pemandangan tidak pernah sepadan dengan risiko kehilangan nyawa ketika prosedur keselamatan diabaikan.
Bagi calon pendaki, pesan utamanya jelas: gunakan jalur resmi, daftarkan diri, patuhi kuota dan aturan taman nasional, serta pertimbangkan secara realistis kemampuan fisik dan pengalaman sebelum memutuskan naik. Bagi orang tua, komunitas, dan pihak sekolah, penting untuk tidak mendorong—secara langsung maupun tidak langsung—remaja mengejar prestise "taklukkan puncak" tanpa persiapan matang dan pendamping berlisensi.
Sementara itu, bagi pemerintah dan pengelola, tantangannya adalah menutup ruang kompromi terhadap jalur ilegal, memperkuat pelibatan masyarakat lokal dalam skema pendakian resmi, dan menjadikan setiap kecelakaan sebagai dasar evaluasi kebijakan. Di tengah naiknya jumlah wisatawan dari tahun ke tahun, pertanyaan utamanya bukan lagi sekadar berapa banyak orang yang berhasil mencapai puncak Rinjani, melainkan seberapa aman dan bertanggung jawab perjalanan mereka menuju ke sana.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.