Putin Sebut Kyiv Enggan Berdamai, Apakah Perang Rusia-Ukraina Akan Terus Berlanjut?

AI-assistedNewsFrasa

5 Min to read

Pernyataan terbaru Presiden Rusia Vladimir Putin kembali mengguncang dinamika diplomasi perang Rusia-Ukraina. Dalam komentar yang dikutip kantor berita Rusia dan media internasional, Putin menuduh bahwa pemerintah di Kyiv “tidak terburu-buru menuju perdamaian” dan memperingatkan bahwa Rusia akan mencapai tujuannya “dengan kekuatan” jika Ukraina tidak siap untuk solusi damai. Pernyataan ini disampaikan di tengah serangan besar-besaran rudal dan drone terhadap Ukraina, termasuk ibu kota Kyiv, yang terjadi hanya beberapa hari sebelum pertemuan penting Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan Presiden AS Donald Trump untuk membahas upaya mengakhiri perang.

black and white star wars wall art

Image Illustration. Photo by Alessandro Armignacco on Unsplash

Di satu sisi, Kremlin berusaha membingkai Kyiv sebagai pihak yang menghambat perundingan. Di sisi lain, Ukraina dan sekutunya menilai rangkaian serangan terbaru—melibatkan ratusan drone dan puluhan rudal—sebagai bukti bahwa Moskow belum menunjukkan itikad baik untuk menghentikan agresi militer.

Narasi Saling Menyalahkan: Siapa yang Enggan Berdamai?

Sejak invasi besar-besaran Rusia pada 24 Februari 2022, kedua pihak saling menuduh sebagai penghalang perdamaian. Moskow berulang kali mengklaim siap berunding, tetapi hanya jika Ukraina menerima “realitas teritorial baru”—yakni pengakuan atas aneksasi wilayah yang kini diduduki Rusia. Kyiv menolak prasyarat tersebut dan menegaskan bahwa setiap perundingan harus berangkat dari prinsip integritas wilayah Ukraina sesuai hukum internasional dan Piagam PBB.

Belakangan, beberapa pernyataan Putin diartikan sebagai sinyal kesiapan untuk kembali ke meja perundingan. Namun ia tetap menuduh Kyiv menggunakan infrastruktur sipil untuk tujuan militer, dan mempertanyakan keseriusan Ukraina terhadap gencatan senjata. Zelensky di sisi lain menyatakan bahwa Ukraina “siap untuk percakapan apa pun” asalkan serangan terhadap warga sipil dihentikan lebih dulu dan ada gencatan senjata yang dapat diverifikasi.

Medan Tempur: Perang Berkepanjangan dengan Biaya Manusia Sangat Tinggi

Di lapangan, perang telah berubah menjadi konflik kelelahan (war of attrition). Sejumlah analisis militer menunjukkan bahwa sejak awal 2024 Rusia mengorbankan perlengkapan dalam jumlah besar hanya untuk meraih kemajuan di garis depan yang sangat terbatas—“meter demi meter”—tanpa terobosan strategis yang signifikan. Laporan lembaga kajian keamanan Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperkirakan Rusia telah menderita hingga 250.000 prajurit tewas dan lebih dari 950.000 korban tewas dan luka sejak invasi dimulai. Sementara itu, korban militer Ukraina juga sangat besar, dengan estimasi antara 60.000 hingga 100.000 prajurit tewas dan sekitar 400.000 korban tewas dan luka menurut analisis yang sama.

Berbagai basis data independen yang memverifikasi korban berdasarkan nama mengindikasikan skala korban yang masif di kedua sisi. Proyek UALosses, yang dinilai kredibel oleh beberapa media investigatif dan peneliti, mendokumentasikan puluhan ribu prajurit Ukraina yang tewas dan hilang, sementara proyek serupa oleh BBC News Russian dan Mediazona mencatat lebih dari 150.000 tentara Rusia tewas yang telah teridentifikasi namanya.

Dampak Kemanusiaan: Jutaan Warga Terusir dari Rumah

Tiga tahun setelah invasi skala penuh, Ukraina menghadapi salah satu krisis pengungsian terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan sekitar 10,6 juta warga Ukraina terpaksa mengungsi—setara hampir seperempat populasi pra-perang negara itu. Dari jumlah itu, sekitar 3,7 juta menjadi pengungsi internal, sementara 6,9 juta lainnya mencari perlindungan di luar negeri, terutama di negara-negara Eropa.

UNHCR dan lembaga-lembaga PBB lain memperkirakan lebih dari 12 juta orang di Ukraina membutuhkan bantuan kemanusiaan multisektoral pada 2025, mulai dari akses pangan, tempat tinggal, hingga layanan kesehatan dan psikososial. Serangan berulang ke infrastruktur energi juga membuat jutaan warga hidup dalam kondisi tanpa listrik dan pemanas di tengah musim dingin.

Serangan ke Kyiv: Sinyal Tekanan atau Penolakan Diplomasi?

Serangan besar-besaran terbaru ke Kyiv dan berbagai kota lain di Ukraina terjadi menjelang pertemuan Zelensky dengan Trump di Florida, yang dimaksudkan sebagai salah satu upaya diplomatik paling penting sejak awal perang. Menurut laporan, Rusia meluncurkan sekitar 500 drone dan 40 rudal dalam serangan yang berlangsung hampir 10 jam, menewaskan sedikitnya dua orang dan melukai puluhan lainnya, termasuk anak-anak. Serangan itu merusak infrastruktur sipil dan membuat sekitar sepertiga ibu kota kehilangan pasokan pemanas di tengah cuaca dingin ekstrem.

Zelensky menyebut serangan tersebut sebagai upaya Moskow untuk melemahkan posisi Ukraina dan mengirim sinyal keras menjelang perundingan yang dimediasi AS. Sementara itu, Rusia mengklaim serangan diarahkan pada sasaran militer dan infrastruktur energi, tuduhan yang berulang kali dibantah Kyiv dan dibantah pula oleh bukti kerusakan luas pada kawasan pemukiman.

Peran Amerika Serikat dan Sekutu Barat

Amerika Serikat tetap menjadi aktor kunci dalam setiap skenario deeskalasi konflik. Washington memprakarsai rencana perdamaian berisi sekitar 20 poin yang mencakup gencatan senjata terbatas, jaminan keamanan bagi Ukraina, serta mekanisme politik untuk menyelesaikan status wilayah-wilayah yang diperebutkan. Draf rencana tersebut, menurut sejumlah laporan, sudah sekitar 90 persen rampung dan menjadi basis diskusi dalam pertemuan Zelensky-Trump. Namun, baik Kyiv maupun Moskow masih keberatan atas beberapa elemen krusial, termasuk penarikan pasukan dan masa depan wilayah Donetsk serta fasilitas nuklir Zaporizhzhia.

Di ranah bantuan militer dan ekonomi, negara-negara Barat, termasuk Uni Eropa dan Kanada, terus mengucurkan dukungan bernilai miliaran dolar untuk mempertahankan kemampuan pertahanan dan stabilitas ekonomi Ukraina. Bagi sebagian kalangan di Barat, tekanan terhadap Kyiv untuk mempertimbangkan kompromi teritorial semakin besar, seiring meningkatnya biaya politik dan finansial perang yang berkepanjangan.

Akankah Perang Berakhir dalam Waktu Dekat?

Pernyataan Putin bahwa Kyiv enggan berdamai perlu dibaca dalam konteks perang naratif yang berjalan paralel dengan perang di medan tempur. Dengan menggambarkan Ukraina sebagai pihak yang menolak perundingan, Moskow berupaya mengurangi tekanan internasional terhadap dirinya dan menggeser persepsi publik global mengenai siapa yang sebenarnya menghambat perdamaian.

Namun fakta di lapangan menunjukkan kompleksitas yang jauh lebih besar. Ukraina menghadapi dilema eksistensial: menerima kesepakatan yang melegitimasi perampasan wilayah, atau terus berperang dengan biaya manusia dan ekonomi yang kian berat. Rusia, sementara itu, tampak bersedia membayar harga korban yang sangat tinggi demi mempertahankan posisi tawar di meja perundingan dan ambisi geopolitiknya.

Untuk saat ini, belum ada tanda jelas bahwa salah satu pihak siap mengubah secara drastis posisi dasar mereka: Ukraina menegaskan kedaulatan dan integritas wilayah sebagai garis merah, sementara Rusia belum menunjukkan kesiapan mundur dari wilayah yang telah didudukinya. Selama prasyarat minimal kedua pihak masih jauh dari titik temu, pernyataan tentang kesiapan berdamai—baik dari Moskow maupun Kyiv—kemungkinan besar akan terus berbenturan dengan realitas serangan rudal, drone, dan tembakan artileri di garis depan.

You've reached the juicy part of the story.

Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.

Free forever. No credit card. Just great reading.