Respons China Usai Dituduh AS Siapkan 100 Rudal Balistik Antarbenua

AI-assistedNewsFrasa

7 Min to read

Ketegangan nuklir antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat setelah sebuah draf laporan Pentagon menyebut Beijing telah memuat lebih dari 100 rudal balistik antarbenua (ICBM) di lapangan silo baru yang dibangun di wilayah utara China. Laporan itu menggambarkan percepatan modernisasi nuklir China sebagai yang tercepat di dunia, dan memicu respons keras dari Beijing yang menuduh Washington melakukan "kemunafikan" nuklir dan mencari pembenaran untuk memperluas arsenalnya sendiri.

Chinese flag flying on a pole with a mountain.

Image Illustration. Photo by Bo Peng on Unsplash

Laporan Pentagon: Lebih dari 100 ICBM di Silo China

Dalam draf laporan yang dikutip sejumlah media internasional, Departemen Pertahanan AS memperkirakan China telah memuat lebih dari 100 rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat, diduga varian DF-31, di lapangan silo baru dekat perbatasan Mongolia. Langkah ini disebut sebagai bukti bahwa modernisasi nuklir China kini melampaui laju negara nuklir besar lainnya.

Temuan ini muncul di tengah perubahan drastis lanskap nuklir global. Menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), total persenjataan nuklir dunia pada Januari 2025 diperkirakan mencapai sekitar 12.241 hulu ledak, dengan 9.614 berada dalam stok militer untuk potensi penggunaan dan sekitar 2.100 di antaranya berada dalam siaga operasional tinggi, mayoritas dimiliki AS dan Rusia. SIPRI juga menegaskan bahwa hampir semua dari sembilan negara bersenjata nuklir tengah memperluas dan memodernisasi arsenal mereka. Dalam konteks itu, percepatan pembangunan silo dan ICBM China menjadi sorotan khusus Washington.

Tuduhan AS dan Gambaran Kekuatan Nuklir China

Laporan Pentagon bukanlah peringatan pertama terkait ekspansi nuklir China. Dalam beberapa tahun terakhir, citra satelit komersial dan analisis pakar mengungkap pembangunan ratusan silo ICBM baru di gurun utara China. Data SIPRI terbaru menyebut Beijing telah menyelesaikan atau hampir menyelesaikan sekitar 350 silo ICBM baru di tiga lapangan besar di wilayah gurun utara serta tiga kawasan pegunungan di bagian timur negara itu. Jika semua dimanfaatkan penuh, China berpotensi memiliki jumlah ICBM yang mendekati Rusia maupun AS pada akhir dekade mendatang.

Soal jumlah hulu ledak, berbagai lembaga memberikan estimasi yang relatif konsisten: China saat ini diperkirakan memiliki sedikitnya 600 hulu ledak nuklir, naik sekitar 100 per tahun sejak 2023. SIPRI menyebut laju pertumbuhan arsenal nuklir China sebagai yang tercepat di antara sembilan negara nuklir. Meski demikian, total persenjataan nuklir Beijing masih jauh di bawah AS dan Rusia, yang masing-masing menyimpan lebih dari 5.000 hulu ledak nuklir dalam total inventaris. Perbandingan terbaru menunjukkan AS memiliki sekitar 5.177 hulu ledak, sementara Rusia 5.459 pada awal 2025.

Respons Keras Beijing: Menuduh AS Munafik Soal Disarmament

Menjawab tuduhan Washington, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, balik menekan AS. Ia menyerukan agar AS, sebagai pemilik arsenal nuklir terbesar di dunia, mengambil peran utama dalam pengurangan senjata nuklir alih-alih menjadikan China sebagai alasan untuk memperluas kekuatan nuklirnya sendiri. Lin menyebut laporan Pentagon sebagai bagian dari pola berulang di mana AS "menggembungkan ancaman" demi membenarkan kebijakan defensif dan modernisasi nuklirnya, serta mengganggu stabilitas strategis global.

Beijing berulang kali menegaskan komitmennya pada doktrin "tidak akan pertama menggunakan" (no-first-use) senjata nuklir, dan menyatakan bahwa arsenalnya murni bersifat defensif dan dijaga pada "tingkat minimum" yang diperlukan untuk menjamin keamanan nasional. Namun bagi banyak analis keamanan di Barat, skala pembangunan silo dan peningkatan ICBM yang dilaporkan sulit dikaitkan hanya dengan konsep "minimum deterrence" tradisional China. Mereka melihatnya sebagai indikasi bahwa Beijing tengah bergeser menuju postur nuklir yang lebih besar, fleksibel, dan siap digunakan cepat.

Menuju Perlombaan Senjata Nuklir Tiga Arah?

Perdebatan antara Washington dan Beijing terjadi di tengah kekhawatiran lebih luas bahwa dunia sedang memasuki babak baru perlombaan senjata nuklir. SIPRI menilai tren penurunan jumlah senjata nuklir sejak akhir Perang Dingin kini praktis berhenti. Sebaliknya, sembilan negara nuklir – mulai dari AS dan Rusia hingga China, India, Pakistan, Korea Utara, Israel, Inggris, dan Prancis – secara paralel memodernisasi dan dalam banyak kasus menambah arsenal mereka. Laporan lembaga itu menyebut sekitar 3.912 hulu ledak di dunia kini dikerahkan bersama peluru kendali dan pesawat, dan jumlah hulu ledak yang berada dalam status siap pakai meningkat dari tahun ke tahun.

Di sisi lain, Pentagon sebelumnya memperkirakan stok hulu ledak nuklir China berpotensi menembus sekitar 1.000 pada 2030 dan bisa naik hingga 1.500 pada 2035 jika tren produksi saat ini berlanjut. Dengan laju pertumbuhan sekitar 100 hulu ledak per tahun, China disebut-sebut sebagai negara dengan peningkatan nuklir paling agresif saat ini – meski secara absolut tetap tertinggal jauh dari dua kekuatan utama, AS dan Rusia. Para analis memperingatkan, tanpa kerangka kontrol senjata baru yang mencakup ketiga negara besar ini, dunia berisiko terseret dalam perlombaan senjata nuklir tiga arah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dampak bagi Stabilitas Strategis dan Asia-Pasifik

Laporan Pentagon juga menyoroti dimensi regional dari pembangunan nuklir China. Modernisasi ICBM dan sistem peluncur lainnya dipandang terkait langsung dengan skenario konflik di Selat Taiwan maupun kemungkinan konfrontasi militer yang lebih luas dengan AS dan sekutunya di Asia-Pasifik. Dalam beberapa tahun terakhir, Washington mengumumkan paket penjualan senjata bernilai miliaran dolar ke Taiwan, sementara Beijing merespons dengan latihan militer berskala besar di sekitar pulau dan ancaman akan mengambil "langkah tegas" terhadap apa yang disebutnya sebagai upaya separatis dan campur tangan asing. Dalam konteks inilah, perluasan kemampuan ICBM China – termasuk klaim AS bahwa lebih dari 100 rudal kini telah diisi di silo – dilihat bukan hanya sebagai isu global, tetapi juga sebagai faktor pengubah kalkulasi militer di kawasan.

Beberapa pakar berpendapat, peningkatan kemampuan serangan balasan (second-strike capability) China bisa, dalam teori, menstabilkan deterensi karena mengurangi insentif bagi serangan pendahuluan dari pihak mana pun. Namun, pada saat yang sama, kurangnya transparansi doktrin, absennya dialog kontrol senjata yang substansial antara AS dan China, serta meningkatnya ketegangan di Asia Timur, justru dapat memperbesar risiko salah perhitungan dan eskalasi yang tidak disengaja.

Jalan Buntu Diplomasi Nuklir

AS secara terbuka menyatakan keinginannya melibatkan China dalam kerangka kontrol senjata strategis baru, terutama menjelang berakhirnya perjanjian New START antara Washington dan Moskow. Namun hingga kini Beijing menunjukkan sedikit minat, dengan alasan bahwa kesenjangan kekuatan nuklirnya dengan AS dan Rusia masih terlalu besar untuk disamakan dalam satu rezim pembatasan kuantitatif. Di sisi lain, banyak pengamat menilai penolakan itu juga merupakan strategi tawar-menawar politik, sembari Beijing terus membangun kekuatan hingga merasa berada pada posisi lebih setara untuk duduk di meja negosiasi.

Situasi ini menempatkan komunitas internasional dalam posisi sulit: sementara perlombaan senjata menguat, hampir tidak ada arsitektur baru yang muncul untuk menggantikan rangkaian perjanjian kontrol senjata era Perang Dingin yang kini banyak runtuh atau kedaluwarsa. Lembaga seperti SIPRI memperingatkan bahwa peran senjata nuklir dalam kebijakan keamanan negara-negara besar justru kian sentral di tengah memburuknya hubungan geopolitik global.

Penutup: Antara Persepsi Ancaman dan Kebutuhan Transparansi

Respons China atas tuduhan AS bahwa Beijing mempersiapkan lebih dari 100 rudal balistik antarbenua mencerminkan polarisasi narasi strategis yang kian mengeras di antara dua kekuatan terbesar dunia. Bagi Washington, pembangunan silo dan peningkatan ICBM China adalah tanda eskalasi yang mengancam keseimbangan strategis dan memperumit perencanaan pertahanan. Bagi Beijing, laporan Pentagon dianggap sebagai instrumen politik untuk mempertahankan dominasi nuklir AS dan menekan ruang manuver China di panggung global.

Di tengah silang tuduhan itu, satu fakta yang sulit disangkal adalah menguatnya tren global menuju arsenal nuklir yang lebih besar, lebih modern, dan lebih siap digunakan. Tanpa transparansi lebih besar tentang doktrin dan postur nuklir, serta tanpa upaya serius membangun mekanisme dialog dan kontrol senjata yang inklusif, risiko salah persepsi dan salah kalkulasi akan terus membayangi – tidak hanya hubungan AS-China, tetapi juga stabilitas strategis dunia secara keseluruhan.

You've reached the juicy part of the story.

Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.

Free forever. No credit card. Just great reading.