Di balik setiap angka tentang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi Indonesia, ada sosok ibu yang bekerja nyaris tanpa henti. Mereka merawat anak, mengelola rumah tangga, sekaligus kian banyak yang ikut menopang ekonomi keluarga. Pertanyaannya: apa pesan yang paling mendesak untuk para ibu di Indonesia hari ini? Jawabannya tidak tunggal. Ia menyentuh soal kesehatan, dukungan psikologis, literasi digital, sampai keberanian ibu untuk menuntut haknya sebagai warga negara.
Image Illustration. Photo by Polina Kuzovkova on Unsplash
Di Indonesia, perempuan tidak lagi hanya berada di ranah domestik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2024, sekitar 36 persen tenaga kerja formal adalah perempuan, yang menandai tren kenaikan keikutsertaan perempuan di sektor formal dalam beberapa tahun terakhir. Namun, di balik angka ini, ada beban ganda yang sering tak terlihat: bekerja di ranah publik sekaligus memikul mayoritas kerja domestik yang tidak dibayar.
Penelitian tentang pembagian kerja rumah tangga menunjukkan bahwa perempuan Indonesia rata-rata menghabiskan jam kerja domestik jauh lebih panjang dibanding laki-laki, mulai dari memasak, membersihkan rumah, hingga mengasuh anak. Konsekuensinya bukan sekadar kelelahan fisik, tetapi juga risiko kelelahan emosional, stres kronis, dan berkurangnya waktu untuk pengembangan diri.
Salah satu pesan terpenting untuk para ibu di Indonesia: kesehatan Anda bukan nomor dua. Ia adalah syarat utama bagi tumbuh kembang anak dan kualitas generasi berikutnya. Pemerintah menargetkan percepatan penurunan stunting karena kondisi gizi buruk kronis pada anak ini berhubungan erat dengan kecerdasan, produktivitas, dan risiko penyakit di masa depan. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 mencatat prevalensi stunting nasional masih sekitar 19,8 persen, atau sekitar satu dari lima balita di Indonesia.
Sementara itu, data pemerintah menunjukkan bahwa sekitar 4,48 juta balita di Indonesia masih mengalami stunting pada 2024, meski ada penurunan sekitar 377.000 kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Di banyak rumah tangga, beban memikirkan asupan gizi, jadwal imunisasi, hingga akses layanan kesehatan hampir seluruhnya dipikul ibu.
Pesan yang perlu terus diulang: jangan abaikan kesehatan diri sendiri. Ibu berhak mendapatkan pemeriksaan kehamilan teratur, dukungan gizi yang cukup, istirahat memadai, dan akses terhadap layanan kesehatan mental. Kelelahan dan masalah psikologis yang tidak ditangani dapat berdampak pada pola asuh dan ikatan emosional dengan anak.
Tekanan sosial terhadap ibu di Indonesia masih kuat: harus sabar, harus serba bisa, tidak boleh mengeluh. Media sosial menambah lapisan tekanan baru lewat standar “ibu ideal” yang kerap tidak realistis. Di tengah arus ini, pesan penting untuk para ibu adalah: Anda tidak harus sempurna.
Psikolog anak dan keluarga berulang kali menekankan bahwa yang dibutuhkan anak bukanlah orang tua yang sempurna, melainkan orang tua yang cukup baik (good enough parent)—hadir, responsif, dan mau belajar. Pola asuh yang hangat, konsisten, dan mampu mengakui kesalahan justru lebih sehat daripada mengejar standar sempurna yang berujung frustrasi dan konflik di rumah.
Dalam banyak keluarga Indonesia, ibu adalah pengambil keputusan utama soal makanan sehari-hari. Di sinilah literasi gizi berperan. Tanpa informasi yang cukup, keluarga mudah terjebak pada pola konsumsi tinggi karbohidrat dan gula, tetapi rendah protein hewani, serat, dan mikronutrien penting. Padahal, sejumlah kajian pemerintah menunjukkan bahwa perbaikan gizi anak, terutama pemenuhan protein hewani dan praktik ASI eksklusif, merupakan kunci menurunkan stunting secara berkelanjutan.
Pemerintah sendiri telah merilis berbagai panduan resmi soal pencegahan stunting, mulai dari masa kehamilan, 1.000 hari pertama kehidupan, hingga pola pemberian makan pada balita, yang bisa diakses melalui kanal resmi Kementerian Kesehatan dan portal penurunan stunting nasional. Tetapi tanpa kemampuan membaca, memahami, dan menerapkannya di rumah, panduan itu tidak akan banyak berarti.
Kemandirian ekonomi ibu berkaitan erat dengan posisi tawar mereka dalam keluarga dan masyarakat. Partisipasi perempuan di sektor kerja formal yang kini menembus lebih dari sepertiga tenaga kerja formal nasional merupakan langkah penting ke arah itu, meski kesenjangan akses, upah, dan jabatan masih nyata. Di saat yang sama, jutaan ibu lain memilih atau terpaksa bekerja di sektor informal—dari berdagang kecil-kecilan hingga kerja rumahan—tanpa perlindungan sosial memadai.
Pesan pentingnya: ibu berhak atas perlindungan dan dukungan negara. Hak cuti melahirkan, jaminan kesehatan, layanan posyandu, bantuan sosial berbasis keluarga, hingga program pemberdayaan ekonomi bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan mandat konstitusi. Ibu juga berhak bersuara di ruang publik—dari forum RT sampai bilik suara pemilu—agar kebijakan yang lahir berpihak pada kebutuhan keluarga dan anak.
Di era gawai, ibu Indonesia berhadapan dengan banjir informasi: tips parenting, resep MPASI, hingga klaim kesehatan yang belum tentu benar. Di berbagai kasus, hoaks tentang imunisasi, pola makan, atau pengobatan alternatif menyebar cepat lewat grup percakapan keluarga dan komunitas ibu muda, dan berpotensi mengganggu upaya kesehatan publik seperti program imunisasi dasar maupun kampanye pencegahan stunting.
Di sinilah literasi digital menjadi kebutuhan dasar. Ibu perlu dibekali kemampuan sederhana namun krusial: membedakan sumber resmi dan tidak resmi, mengecek ulang informasi kesehatan ke situs pemerintah atau tenaga medis, serta tidak mudah menyebarkan pesan berantai tanpa verifikasi. Mengandalkan kanal resmi kesehatan—baik puskesmas, posyandu, maupun laman resmi lembaga negara—adalah langkah perlindungan bagi diri sendiri dan anak.
Dalam narasi besar pembangunan manusia Indonesia, ibu kerap diposisikan sebagai “pahlawan” yang memikul segalanya. Padahal, pesan yang lebih adil dan realistis adalah: ibu tidak seharusnya berjalan sendirian.
Ayah perlu hadir bukan hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai pengasuh yang setara: ikut bangun malam, hadir di posyandu, terlibat dalam keputusan pendidikan anak. Keluarga besar—kakek, nenek, kerabat—dapat menjadi jejaring dukungan emosional dan praktis, selama tetap menghormati pilihan pengasuhan orang tua inti.
Negara pun memikul tanggung jawab besar. Angka stunting yang masih hampir satu dari lima balita menunjukkan bahwa urusan tumbuh kembang anak tidak bisa diserahkan kepada keluarga semata, melainkan membutuhkan kebijakan lintas sektor—dari kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, hingga sanitasi. Kebijakan yang berpihak pada keluarga—cuti orang tua, layanan PAUD berkualitas, dukungan gizi, akses air bersih—akan meringankan beban ibu sekaligus menguatkan generasi mendatang.
Apa pesan untuk para ibu di Indonesia? Jagalah diri, bukan hanya keluarga. Percayalah bahwa Anda tidak harus sempurna untuk menjadi ibu yang baik. Carilah informasi dari sumber yang dapat dipercaya. Beranilah menuntut hak, berbagi beban dengan pasangan, dan menyuarakan kebutuhan Anda di ruang publik.
Dan bagi negara, ayah, serta masyarakat luas, ada pesan balik yang sama penting: berhentilah menggantungkan masa depan bangsa hanya di pundak ibu. Berikan dukungan nyata—kebijakan yang berpihak, lingkungan yang ramah keluarga, dan budaya yang tidak lagi menormalisasi beban ganda. Sebab ketika ibu Indonesia didengar, dirawat, dan diberdayakan, masa depan Indonesia ikut berdiri lebih kokoh.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.