Pemilik wedding organizer (WO) Ayu Puspita berinisial AP ditangkap aparat kepolisian setelah puluhan calon pengantin melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan dana persiapan pernikahan. Kasus ini menambah deretan panjang sengketa jasa WO di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan seiring maraknya penggunaan media sosial untuk promosi paket pernikahan berbiaya miring.
Image Illustration. Photo by rifqi pradana on Unsplash
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari pihak kepolisian setempat dan keterangan para korban, AP ditangkap setelah serangkaian pemanggilan klarifikasi dan pengembangan laporan polisi terkait dugaan penipuan bermodus paket pernikahan all-in yang dibayarkan di muka. Dalam laporan, korban mengaku tergiur paket lengkap dekorasi, rias, dokumentasi, katering, hingga hiburan dengan harga di bawah rata-rata pasar yang dipromosikan intensif melalui Instagram dan TikTok.
Skema yang diduga dijalankan mirip dengan pola penipuan WO di sejumlah daerah sebelumnya, misalnya kasus Pandamanda Wedding Organizer di Depok yang merugikan sekitar 35 pasangan pengantin dan vendor dengan total kerugian mencapai Rp 2,5 miliar, menurut keterangan Polda Kepri. Dalam banyak kasus, uang yang sudah disetorkan korban tidak diteruskan ke vendor, sementara hari pernikahan semakin dekat dan komunikasi dengan pihak WO mulai tersendat hingga nomor kontak tak lagi aktif.
Hingga berita ini ditulis, jumlah pasti korban Ayu Puspita masih dalam pendataan. Namun, berdasarkan keterangan kuasa hukum para pelapor dan penelusuran di sejumlah grup percakapan korban, sedikitnya puluhan pasangan calon pengantin mengaku telah menyetor uang muka dan pelunasan dengan nilai bervariasi dari Rp 15 juta hingga lebih dari Rp 80 juta per paket.
Jika merujuk tren di kasus-kasus WO serupa, angka kerugian kumulatif sangat mungkin menembus ratusan juta hingga miliaran rupiah. Di Bekasi, misalnya, 56 orang diduga menjadi korban penipuan WO Harmoni Wedding dengan estimasi kerugian sekitar Rp 1 miliar, menurut laporan para korban kepada Polres Metro Bekasi Kota. Kasus lain yang sempat menyita perhatian publik adalah dugaan penipuan WO di Depok dengan total kerugian korban dan vendor yang ditaksir mencapai Rp 2 miliar. Data tersebut menggambarkan bahwa ketika sebuah WO bermasalah, kerugian finansial yang muncul jarang kali berskala kecil, sebab menikah merupakan salah satu pengeluaran terbesar dalam siklus hidup keluarga muda.
Tren serupa tampak pada data kejahatan siber dan penipuan online. Laporan statistik kejahatan siber di Indonesia menunjukkan bahwa penipuan jual beli online menempati peringkat pertama dengan 53.793 insiden atau 45,87 persen dari seluruh laporan insiden yang diterima sepanjang 2023. Riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahkan mencatat penipuan online sebagai bentuk ancaman keamanan data yang paling banyak dialami warga Indonesia pada 2024, dengan persentase 32,50 persen—melonjak tajam dari 10,30 persen di 2023. Angka ini menegaskan bahwa masyarakat semakin rentan menjadi korban penipuan di ruang digital, termasuk dalam transaksi jasa seperti WO.
Secara hukum, wedding organizer pada dasarnya merupakan penyedia jasa yang tunduk pada ketentuan umum perlindungan konsumen dan perdata. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha wajib beritikad baik dan memberikan informasi yang benar, jelas, serta jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Pelaku usaha juga dilarang memanipulasi atau mengelabui konsumen dalam bentuk apa pun terkait harga, mutu, maupun waktu pelaksanaan jasa.
Namun, di lapangan, bisnis WO kerap dijalankan dengan legalitas longgar—mulai dari usaha perorangan tanpa badan hukum jelas hingga kontrak yang hanya berupa pesan singkat di aplikasi perpesanan. Hal ini membuka ruang sengketa ketika terjadi wanprestasi atau dugaan penipuan. Aparat penegak hukum sebelumnya juga berulang kali mengingatkan bahwa pola penipuan bermodus jasa acara, termasuk resepsi pernikahan, memanfaatkan celah kepercayaan tinggi dan ketidaktahuan konsumen dalam membaca kontrak dan bukti transaksi.
Dalam kasus Ayu Puspita, penyidik kepolisian menjerat AP dengan pasal dugaan penipuan dan/atau penggelapan sebagaimana diatur Pasal 378 dan 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidana untuk pasal-pasal tersebut umumnya berupa pidana penjara maksimal empat tahun, bergantung pembuktian unsur kesengajaan, tipu muslihat, dan penguasaan barang milik orang lain secara melawan hukum.
Sejumlah perkara penipuan WO sebelumnya juga diproses dengan konstruksi hukum serupa. Di Depok, misalnya, laporan terhadap WO yang diduga menipu belasan hingga puluhan pasangan dicatat dengan sangkaan Pasal 378 dan/atau 372 KUHP dengan nilai kerugian korban dan vendor yang dilaporkan mencapai sekitar Rp 2 miliar. Di tingkat nasional, Polri juga secara paralel menangani berbagai bentuk penipuan lain, termasuk jaringan scam online lintas negara dengan kerugian korban yang mencapai puluhan miliar hingga triliunan rupiah. Dalam salah satu kasus penipuan online bermodus lowongan kerja paruh waktu, misalnya, Bareskrim Polri mengungkap 823 korban dengan total kerugian Rp 59 miliar selama 2022–2024.
Para ahli perlindungan konsumen menekankan pentingnya uji tuntas (due diligence) sebelum memilih WO. Ada beberapa langkah praktis yang disarankan:
Memastikan legalitas usaha (badan hukum, alamat kantor fisik, NPWP, serta identitas penanggung jawab) dan memeriksa jejak digital di mesin pencari.
Meminta kontrak tertulis yang rinci, mulai dari daftar layanan, vendor yang digunakan, jadwal pembayaran, hingga mekanisme pembatalan dan pengembalian dana.
Menghindari pembayaran penuh terlalu jauh hari tanpa milestone yang jelas, dan mengupayakan pembayaran terpisah langsung ke vendor utama (katering, dekorasi, gedung) bila memungkinkan.
Mencari testimoni dari klien sebelumnya yang dapat diverifikasi, bukan sekadar ulasan di media sosial yang mudah dimanipulasi.
Penangkapan pemilik wedding organizer Ayu Puspita menjadi alarm keras bagi industri WO di Indonesia. Di satu sisi, permintaan jasa pernikahan terus meningkat, didorong pertumbuhan kelas menengah dan normalisasi pesta besar usai pandemi. Di sisi lain, lemahnya pengawasan dan minimnya literasi kontrak konsumen menciptakan ruang subur bagi pelaku yang tidak bertanggung jawab.
Kasus-kasus seperti Ayu Puspita, Pandamanda, dan Harmoni Wedding menunjukkan pola yang berulang: promo menggiurkan, pembayaran besar di awal, lalu komunikasi terputus menjelang hari H. Tanpa perbaikan regulasi, penegakan hukum yang konsisten, dan peningkatan kewaspadaan calon pengantin, risiko serupa akan terus menghantui pasangan yang sedang menyiapkan hari bahagia mereka.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.