Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan setelah dalam satu hari melakukan tiga operasi tangkap tangan (OTT) terpisah yang menyeret sedikitnya 16 orang di dua wilayah berbeda, yakni Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Meski detail resmi struktur kasus ini masih menunggu konferensi pers lembaga antirasuah, pola penindakan kilat dalam sehari ini menegaskan bahwa praktik korupsi di tingkat pusat maupun daerah tetap menjadi problem struktural di Indonesia.
Menurut informasi awal yang dihimpun wartawan dari pejabat penegak hukum dan sumber internal, KPK menggelar tiga OTT beruntun dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Di Kabupaten Bekasi, tim penindakan menyasar dugaan praktik suap dan pemerasan yang melibatkan pejabat daerah, pengusaha, serta perantara. Dalam operasi itu, sedikitnya 10 orang ditangkap, termasuk pihak yang diduga berperan sebagai pemberi dan penerima suap. Sementara di Kalimantan Selatan, operasi yang diduga terkait pengelolaan anggaran dan proyek pengadaan menangkap sedikitnya 6 orang, yang terdiri dari aparatur pemerintah daerah serta aktor dari sektor swasta.
KPK sendiri dalam beberapa tahun terakhir memang masih mengandalkan OTT sebagai salah satu instrumen utama untuk membongkar praktik suap yang bersifat transaksional, terutama terkait perizinan, pengadaan barang dan jasa, hingga jual-beli jabatan.
Data resmi KPK menunjukkan bahwa dalam periode 2020–2024 lembaga ini telah menggelar 36 operasi tangkap tangan (OTT) dengan total 691 orang ditetapkan sebagai tersangka. Angka tersebut menggambarkan bahwa meski sempat diterpa berbagai polemik, KPK masih aktif melakukan penindakan, terutama pada kasus-kasus suap yang tertangkap basah.
Dalam rentang tersebut, KPK mencatat 8 OTT pada 2020, 6 OTT pada 2021, 10 OTT pada 2022, 7 OTT pada 2023, dan 5 OTT sepanjang 2024. Angka ini menunjukkan tren fluktuatif di tengah perdebatan publik mengenai efektivitas dan kewenangan lembaga antirasuah pascarevisi undang-undang KPK.
Secara nasional, korupsi masih menjadi persoalan kronis. Laporan tahunan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang 2023 terdapat 1.649 perkara korupsi dengan 1.718 terdakwa dan estimasi kerugian negara mencapai sekitar Rp56 triliun. Angka kerugian tersebut sedikit lebih tinggi dibanding 2022, menegaskan bahwa korupsi tidak hanya merugikan tata kelola pemerintahan, tetapi juga langsung menggerus keuangan negara.
Di sisi lain, indikator global juga memperlihatkan tantangan yang belum tuntas. Skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2024 tercatat 37 dari 100 dan menempatkan Indonesia di peringkat 99 dari 180 negara. Skor ini memang naik tiga poin dibanding 2023 yang berada di angka 34, namun tetap berada di bawah rata-rata global dan tertinggal dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Timor Leste, Malaysia, dan Singapura.
Kenaikan skor CPI 2024 ini sendiri dinilai sejumlah pengamat sebagai perbaikan yang masih rapuh dan belum sepenuhnya mencerminkan perubahan fundamental dalam pemberantasan korupsi. Transparansi, penguatan lembaga penegak hukum, serta reformasi regulasi dinilai masih menjadi pekerjaan rumah jangka panjang.
Kasus-kasus yang disikat lewat OTT KPK di berbagai daerah biasanya berkutat pada pola yang berulang: suap dalam proses lelang proyek, gratifikasi terkait pengurusan izin usaha atau tambang, hingga jual-beli jabatan. Berbagai studi dan pemantauan organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal yang tidak diimbangi dengan pengawasan ketat dan integritas birokrasi membuka ruang besar bagi korupsi di tingkat pemerintah daerah.
Laporan ICW, misalnya, berulang kali menemukan bahwa pelaku korupsi bukan hanya pejabat tinggi, tetapi juga kepala desa dan perangkat desa dalam pengelolaan anggaran, termasuk dana desa. Dalam laporan 2023, perangkat desa dan kepala desa menempati kelompok pelaku korupsi yang cukup besar secara proporsi perkara di pengadilan. Pola ini mengindikasikan bahwa korupsi telah menembus hingga level pemerintahan paling dekat dengan warga.
Korupsi yang ditangkap lewat OTT hanya sebagian kecil dari keseluruhan kebocoran keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam berbagai paparannya berulang kali menyoroti masih adanya kerugian negara yang belum tuntas dikembalikan ke kas negara dari berbagai temuan pemeriksaan.
Selain itu, BPK melaporkan bahwa pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi pemeriksaan selama hampir dua dekade terakhir mencakup ratusan triliun rupiah potensi aset dan dana yang seharusnya kembali ke kas negara, namun sebagian masih tertahan karena rekomendasi belum sepenuhnya dijalankan pemerintah pusat, daerah, maupun BUMN/BUMD.
Di lapangan, kebocoran akibat korupsi berujung pada layanan publik yang buruk: kualitas jalan yang cepat rusak, proyek infrastruktur mangkrak, biaya perizinan yang mahal, hingga ketimpangan akses terhadap program bantuan sosial. Di banyak kasus, warga membayar dua kali: melalui pajak yang diselewengkan, dan melalui biaya informal ketika berurusan dengan birokrasi.
Sejak pertama kali dilakukan KPK pada pertengahan 2000-an, OTT menjadi simbol paling kasatmata dari perang melawan suap. Operasi ini umumnya didukung publik karena menimbulkan efek kejut dan menghadirkan bukti transaksi langsung, mulai dari uang tunai, bukti transfer, hingga komunikasi elektronik.
Namun, para peneliti tata kelola dan pegiat antikorupsi mengingatkan bahwa OTT semata tidak cukup untuk mengurangi ruang korupsi secara sistemik. Indikator seperti CPI Indonesia yang sempat merosot ke skor 34 pada 2023 sebelum naik ke 37 pada 2024 menunjukkan bahwa persepsi dunia usaha dan pakar internasional terhadap keseriusan pemberantasan korupsi Indonesia masih moderat.
Tanpa pembenahan menyeluruh—mulai dari reformasi birokrasi, transparansi pengadaan, penguatan sistem pelaporan dan perlindungan pelapor (whistleblower), hingga konsistensi penegakan hukum di semua level—OTT dikhawatirkan hanya menjadi penanganan kasus per kasus yang spektakuler di permukaan, tetapi tidak mengubah struktur insentif di dalam birokrasi dan politik uang.
Meski detail yuridis kasus OTT terbaru di Kabupaten Bekasi dan Kalimantan Selatan masih menunggu penjelasan resmi, pola yang berulang—pejabat daerah, pengusaha, dan perantara bertemu dalam ruang transaksional—kembali mengingatkan bahwa reformasi tata kelola daerah masih jauh dari tuntas.
Di level kebijakan nasional, penguatan KPK dan lembaga penegak hukum lain tetap krusial. Di sisi lain, pemerintah daerah perlu didorong memperluas penggunaan sistem pengadaan elektronik, transparansi anggaran real-time, serta melibatkan masyarakat sipil dan media lokal dalam pemantauan anggaran. Pendidikan antikorupsi dan penguatan etika aparatur juga menjadi faktor penting yang kerap terabaikan dibanding sekadar penindakan.
Tiga OTT dalam sehari, dengan 10 orang ditangkap di Bekasi dan 6 di Kalimantan Selatan, menambah daftar panjang pejabat dan pelaku usaha yang berhadapan dengan hukum. Namun, pada saat yang sama, operasi kilat itu menjadi pengingat keras bahwa perang terhadap korupsi masih jauh dari kata selesai. Di luar sorotan kamera dan breaking news, pertarungan yang lebih senyap—mereformasi sistem, membangun budaya integritas, dan menutup celah regulasi—akan menentukan apakah angka di laporan CPI dan statistik kerugian negara suatu hari benar-benar bergerak signifikan ke arah yang lebih baik.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.