Rencana pembangunan jembatan raksasa yang akan menghubungkan Melaka di Malaysia dengan Dumai di Provinsi Riau, Indonesia, kembali memantik perdebatan sengit di negeri jiran. Di tengah euforia sebagian kalangan yang menyebut proyek sepanjang sekitar 47–48 kilometer di atas Selat Malaka itu sebagai peluang mengubah peta ekonomi kawasan, sejumlah politikus oposisi di Malaysia justru melontarkan kritik tajam atas kelayakan, pembiayaan, hingga dampak lingkungannya.
Image Illustration. Photo by Max Langelott on Unsplash
Pemerintah negara bagian Melaka baru-baru ini mengumumkan rencana studi kelayakan untuk membangun jembatan penghubung Melaka–Dumai dengan panjang sekitar 47–47,7 kilometer, membentang dari Pengkalan Balak di Masjid Tanah menuju Kota Dumai di pesisir timur Sumatra. Rencana tersebut diklaim dapat memangkas waktu tempuh perjalanan antarkedua wilayah menjadi hanya sekitar 40 menit, jauh lebih singkat dibandingkan perjalanan laut konvensional.
Sebagai langkah awal, Pemerintah Melaka mengalokasikan dana sekitar RM500.000 atau kurang lebih Rp2 miliar untuk membiayai kajian teknis, ekonomi, dan logistik oleh konsultan independen. Studi ini dijadwalkan dimulai pada Januari 2026 dan disebut dapat memakan waktu panjang, dengan estimasi pembangunan fisik hingga 10–20 tahun tergantung desain dan pendanaan.
Wacana jembatan lintas Selat Malaka sejatinya bukan hal baru. Gagasan serupa, yang kerap disebut sebagai Malacca Strait Bridge, sudah muncul sejak awal 2000-an dan diproyeksikan akan menjadi salah satu jembatan laut terpanjang di dunia jika terwujud, dengan panjang sekitar 48 kilometer dan menghubungkan jaringan jalan tol di Malaysia serta Indonesia.
Di tengah narasi optimistis yang dibangun Pemerintah Melaka, kritik paling tajam datang dari Ketua Oposisi Negara Bagian Melaka, Yadzil Yaakub. Ia secara terbuka mempertanyakan urgensi dan rasionalitas proyek bernilai miliaran ringgit itu di tengah keterbatasan anggaran negara bagian.
Ia juga memperingatkan potensi risiko konsesi swasta, termasuk beban tarif tol tinggi bagi pengguna serta kemungkinan pemerintah harus "menyelamatkan" proyek dengan dana publik apabila skema bisnis gagal menghasilkan pengembalian yang memadai. Dalam berbagai skenario, kata dia, masyarakatlah yang berisiko menanggung dampaknya.
Di sisi lain, sejumlah pejabat lokal di Indonesia justru memandang rencana ini sebagai peluang. Pemerintah Kabupaten Bengkalis, misalnya, menyatakan dukungan atas studi kelayakan tersebut dengan alasan penguatan konektivitas regional dan percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir Riau, terutama di Bengkalis dan Dumai. Perbedaan perspektif ini menunjukkan bagaimana proyek infrastruktur lintas negara kerap dipandang berbeda tergantung posisi dan kepentingan masing-masing pihak.
Selain soal biaya dan manfaat ekonomi, kritik juga mengarah pada potensi dampak lingkungan. Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, dilintasi lebih dari 80.000 kapal per tahun menurut berbagai kajian maritim internasional. Pembangunan struktur jembatan raksasa di atas jalur yang padat ini berpotensi menimbulkan gangguan terhadap ekosistem laut, pola arus, hingga risiko kecelakaan pelayaran jika tidak dirancang dengan standar keselamatan tertinggi.
Aktivitas konstruksi skala besar di wilayah pesisir juga berpotensi memicu abrasi, sedimentasi, dan perubahan habitat bagi biota laut dan pesisir. Organisasi lingkungan dan sejumlah akademisi di kawasan ini sebelumnya telah menekankan pentingnya penilaian dampak lingkungan strategis untuk tiap proyek besar di Selat Malaka, mengingat kawasan ini merupakan koridor vital perdagangan global sekaligus habitat penting bagi berbagai spesies laut. Kritik politisi oposisi Malaysia pun menyentuh kekhawatiran bahwa isu-isu ekologis ini bisa terpinggirkan oleh narasi besar soal konektivitas dan investasi.
Dalam kerangka itu, jembatan lintas negara di atas Selat Malaka bisa dilihat sebagai simbol kedekatan dua negara serumpun sekaligus sebagai proyek infrastruktur berisiko tinggi. Di satu sisi, ia menjanjikan peningkatan arus barang, wisata, dan investasi; di sisi lain, ia menuntut tata kelola keuangan, regulasi lintas batas, dan mitigasi risiko lingkungan yang jauh lebih kompleks dibandingkan proyek-proyek domestik biasa.
Bagi Indonesia, wacana ini datang ketika pemerintah juga tengah mendorong pembangunan infrastruktur konektivitas di berbagai wilayah, termasuk tol laut, pelabuhan, serta jaringan jalan dan jembatan strategis dalam negeri. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana jembatan lintas negara ini sejalan dengan prioritas nasional dan regional, serta bagaimana pembagian beban biaya dan manfaat dapat diatur secara adil.
Rencana pembangunan jembatan Melaka–Dumai kembali menempatkan Indonesia dan Malaysia di persimpangan antara mimpi besar konektivitas regional dan realitas keterbatasan anggaran serta risiko lingkungan. Di satu sisi, ia menawarkan visi masa depan menuju integrasi ekonomi yang lebih erat di kawasan Selat Malaka. Di sisi lain, kritik keras politisi Malaysia menegaskan perlunya kehati-hatian, transparansi, dan kajian mendalam sebelum dana publik dalam jumlah besar digelontorkan.
Bagi publik di kedua negara, perkembangan studi kelayakan dan perdebatan politik di Malaysia akan menjadi indikator penting: apakah proyek ini akan melangkah ke tahap negosiasi konkret antarnegara, atau justru kembali menjadi wacana besar yang tertahan di atas kertas. Untuk saat ini, jembatan menuju Indonesia masih lebih banyak berada di ranah perdebatan—antara ambisi, kalkulasi ekonomi, dan kekhawatiran atas siapa yang akhirnya akan menanggung konsekuensinya.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.