Pemerintahan Donald Trump kembali mengguncang korps diplomatik Amerika Serikat. Menjelang pertengahan Januari 2026, Gedung Putih memerintahkan penarikan mendadak lebih dari dua lusin duta besar karier dari berbagai penjuru dunia, sebagaimana pertama kali dilaporkan oleh The Washington Post. Langkah ini disebut sebagai upaya mempertegas agenda “America First”, tetapi memicu kekhawatiran serius mengenai politisasi layanan diplomatik yang selama ini dijaga nonpartisan.
Image Illustration. Photo by René DeAnda on Unsplash
Menurut laporan media dan keterangan pejabat anonim di Departemen Luar Negeri, penarikan ini mencakup kepala perwakilan di sedikitnya 29 negara, dengan total hampir 30 diplomat karier di tingkat duta besar dan pejabat senior kedutaan yang terkena dampak. Laporan Associated Press yang dikutip The Guardian menyebut bahwa para kepala misi di setidaknya 29 negara diberi tahu bahwa masa tugas mereka akan berakhir pada Januari 2026.
Afrika menjadi kawasan yang paling terdampak. Data yang dirangkum sejumlah media menunjukkan sedikitnya 13 hingga 15 negara Afrika—mulai dari Nigeria, Niger, hingga Somalia—akan kehilangan duta besar karier mereka dalam satu gelombang kebijakan ini. Laporan konsolidasi yang dikutip oleh Al Jazeera menyebutkan bahwa duta besar di setidaknya 13 negara Afrika telah menerima perintah untuk segera kembali ke Washington.
Berbeda dengan pergantian duta besar politik yang lazim terjadi setiap pergantian pemerintahan, gelombang kali ini menyasar terutama diplomat karier—anggota US Foreign Service—yang selama ini ditugaskan melayani di bawah presiden dari Partai Republik maupun Demokrat. Banyak di antara mereka adalah pejabat yang dipromosikan di masa Presiden Joe Biden, namun memiliki rekam jejak panjang melintasi berbagai administrasi.
American Foreign Service Association (AFSA), serikat yang mewakili pegawai Departemen Luar Negeri, mengungkapkan telah menerima “laporan kredibel” bahwa banyak duta besar karier yang diangkat di masa Biden diperintahkan melalui telepon untuk mengosongkan pos mereka pada 15–16 Januari 2026 tanpa penjelasan tertulis yang jelas. Pernyataan AFSA ini dikutip oleh media Timur Tengah The National, yang menegaskan bahwa langkah tersebut “tidak lazim” untuk skala dan kecepatannya.
Pejabat senior Departemen Luar Negeri yang tak disebutkan namanya menegaskan bahwa penarikan ini adalah bagian dari “proses standar di setiap pemerintahan” dan menekankan bahwa duta besar adalah “perwakilan pribadi presiden” yang harus sepenuhnya mendukung prioritas kebijakan luar negeri kepala negara. Pernyataan serupa muncul dalam laporan Reuters, yang mengutip seorang pejabat Departemen Luar Negeri yang menyatakan bahwa presiden berhak memastikan hanya individu yang mampu memajukan agenda “America First” yang memegang jabatan duta besar.
Sejak kampanye 2016, Trump berulang kali berjanji akan “membersihkan deep state” dan mengganti birokrat karier dengan pejabat yang dianggap lebih loyal. Langkah penarikan massal ini dilihat banyak analis sebagai kelanjutan pola tersebut di masa jabatan keduanya, di mana jabatan-jabatan kunci kebijakan luar negeri, termasuk di Departemen Luar Negeri yang kini dipimpin Menteri Luar Negeri Marco Rubio, diisi oleh tokoh-tokoh yang dekat secara politik. Analisis tentang dorongan Trump untuk mempolitisasi birokrasi keamanan nasional dapat ditemukan dalam liputan Brookings Institution maupun laporan-laporan kebijakan luar negeri lainnya.
Kritik paling tajam datang dari kalangan senator Demokrat dan organisasi profesi diplomat. Senator Jeanne Shaheen, anggota senior Komite Hubungan Luar Negeri Senat, menuduh langkah ini “memberikan kepemimpinan global AS kepada China dan Rusia” dengan cara menyingkirkan duta besar yang berpengalaman di kawasan strategis. Pernyataannya dikutip secara luas oleh Al Jazeera dan kantor berita lain.
AFSA dalam sebuah pernyataan menggambarkan penarikan ini sebagai bentuk “sabotase institusional dan politisasi” yang memperburuk moral, efektivitas, dan kredibilitas AS di luar negeri. Ungkapan tersebut dimuat kembali dalam laporan Al Jazeera tentang krisis moral di korps diplomatik, menandakan tingkat keprihatinan yang tidak biasa dari sebuah organisasi yang umumnya berhati-hati dalam mengkritik pemerintah yang sedang berkuasa.
Secara geografis, Afrika dan Asia-Pasifik menjadi kawasan yang paling terguncang. Associated Press, yang dilansir oleh The Guardian, mencatat bahwa sekitar 15 negara Afrika dan enam negara di Asia-Pasifik akan mengalami pergantian mendadak di pucuk pimpinan kedutaan: mulai dari Filipina dan Vietnam hingga Fiji dan Papua Nugini.
Secara keseluruhan, hampir 30 pos duta besar diyakini terdampak, termasuk di Eropa timur (seperti Armenia dan Slovakia), Asia Selatan (Nepal dan Sri Lanka), serta di Amerika Latin dan Karibia (Guatemala dan Suriname). Pemetaan awal ini banyak mengacu pada daftar yang disusun oleh Politico dan dikonfirmasi oleh beberapa outlet internasional yang menyebut nama-nama negara tetapi tidak selalu merinci identitas tiap duta besar karena alasan keamanan dan kepekaan.
Secara historis, setiap presiden baru memang berhak mengganti duta besar, terutama mereka yang merupakan donor politik atau tokoh partai. Data yang dikompilasi lembaga think tank seperti American Foreign Service Association menunjukkan bahwa sekitar 30–40 persen duta besar AS biasanya berasal dari kalangan politik, sementara mayoritas lainnya adalah diplomat karier.
Namun, sejumlah pakar menilai skala dan target penarikan kali ini tidak biasa karena fokusnya pada duta besar karier, bukan sekadar pengganti untuk posisi yang secara tradisional diberikan kepada sekutu politik. Analisis yang dimuat oleh Council on Foreign Relations (CFR) menegaskan bahwa kontinuitas duta besar karier merupakan salah satu pilar stabilitas kebijakan luar negeri AS, terutama di negara-negara yang jarang menjadi pusat perhatian politik domestik.
Para pengkritik khawatir bahwa penarikan serentak ini akan meninggalkan kekosongan kepemimpinan di sejumlah kedutaan penting dalam beberapa bulan ke depan, terutama jika proses konfirmasi Senat terhadap pengganti baru tersendat oleh pertarungan politik di Washington. Studi-studi tentang “ambassadorial vacancies” yang dilakukan lembaga seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa kekosongan berkepanjangan dapat mengurangi pengaruh diplomatik AS, melemahkan koordinasi keamanan, dan menghambat kerja sama ekonomi.
Selain itu, dampak terhadap moral internal tidak dapat diremehkan. Survei internal yang pernah dipublikasikan AFSA menunjukkan tren penurunan kepercayaan diri dan kepuasan kerja di kalangan diplomat sejak beberapa tahun terakhir, seiring meningkatnya tekanan politik terhadap birokrasi profesional. Laporan serupa mengenai menurunnya moral di Departemen Luar Negeri juga muncul dalam kajian Government Accountability Office (GAO) tentang manajemen talenta di Foreign Service, meski laporan tersebut disusun sebelum gelombang penarikan terbaru.
Penarikan mendadak lebih dari dua lusin duta besar karier oleh pemerintahan Trump menandai babak baru ketegangan antara Gedung Putih dan birokrasi profesional di Washington. Di atas kertas, presiden memang memiliki ruang gerak luas untuk menunjuk dan mengganti duta besar. Namun, ketika hak prerogatif itu digunakan secara agresif terhadap diplomat karier yang selama ini berfungsi sebagai penjaga kontinuitas, garis demarkasi antara kebijakan sah dan politisasi institusional menjadi kabur.
Dalam jangka pendek, dunia akan menyaksikan bagaimana kedutaan-kedutaan AS berupaya menjaga kelangsungan hubungan bilateral di tengah pergantian mendadak di puncak struktur mereka. Dalam jangka panjang, langkah ini akan menjadi salah satu studi kasus penting: sampai sejauh mana sebuah negara demokratis dapat mempolitisasi korps diplomatiknya tanpa mengorbankan profesionalisme, kredibilitas, dan kepentingan strategisnya sendiri.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.