Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa ia telah mengajukan permintaan langsung kepada Presiden Tiongkok Xi Jinping untuk membebaskan taipan media dan tokoh prodemokrasi Hong Kong, Jimmy Lai, yang baru saja dinyatakan bersalah dalam persidangan di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong. Dalam keterangannya kepada media, Trump menyebut usia lanjut dan kondisi kesehatan Lai sebagai alasan utama seruan pembebasan atas dasar kemanusiaan. Langkah ini menambah tekanan internasional terhadap Beijing dan pemerintah Hong Kong di tengah kekhawatiran global akan runtuhnya kebebasan pers dan kebebasan sipil di kota tersebut.
Image Illustration. Photo by Angela Loria on Unsplash
Jimmy Lai, 78 tahun, adalah pendiri tabloid prodemokrasi berpengaruh Apple Daily, yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai salah satu media paling vokal mengkritik Partai Komunis Tiongkok dan pemerintah Hong Kong. Ia adalah warga negara Inggris dan telah menjadi salah satu figur paling menonjol dalam gerakan prodemokrasi Hong Kong sejak protes besar 2019. Sejak akhir 2020, Lai ditahan tanpa henti dan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kurungan hampir soliter.
Pada Desember 2025, Pengadilan Tinggi Hong Kong menyatakan Lai bersalah atas dua dakwaan “konspirasi untuk berkolusi dengan kekuatan asing” dan satu dakwaan “konspirasi untuk menerbitkan publikasi hasutan” di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional (NSL) yang diberlakukan Beijing pada 2020. Putusan itu membuatnya terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup, menjadikannya salah satu kasus paling simbolik dalam era baru pengetatan kontrol Beijing atas kota tersebut.
Trump mengungkapkan kepada wartawan bahwa ia telah berbicara langsung dengan Xi Jinping mengenai kasus Lai dan meminta pemimpin Tiongkok itu untuk “mempertimbangkan” pembebasan sang taipan. Menurut laporan, permintaan tersebut disampaikan setelah keduanya bertemu dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi di Asia Timur, di mana isu-isu keamanan kawasan dan perdagangan juga dibahas.
Trump menekankan kondisi kesehatan Lai, yang menurut berbagai laporan telah memburuk selama lebih dari 1.800 hari ia berada dalam tahanan, termasuk infeksi berulang dan masalah jantung. Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh keluarga Lai dan kelompok hak asasi manusia yang menggambarkan kondisi penahanannya sebagai tidak manusiawi dan bertentangan dengan standar hukum internasional mengenai perlakuan terhadap tahanan.
Di dalam negeri AS sendiri, kasus Lai telah menjadi isu penting bagi koalisi luas yang terdiri dari aktivis demokrasi, kelompok kebebasan pers, dan komunitas Kristen konservatif, basis politik yang signifikan bagi Trump. Dukungan bagi Lai yang dikenal sebagai Katolik taat, memperkuat narasi kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi yang sering diangkat dalam wacana politik Amerika Serikat terkait Tiongkok.
Seruan Trump datang di tengah gelombang kecaman internasional atas putusan terhadap Lai. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan bahwa vonis tersebut menunjukkan tekad Beijing untuk membungkam mereka yang membela kebebasan berbicara dan hak-hak fundamental. Ia meminta otoritas Hong Kong untuk mengakhiri “penderitaan” Lai dan membebaskannya atas dasar kemanusiaan.
Pemerintah Inggris, yang memandang Lai sebagai salah satu warganya, menyebut proses hukum terhadapnya sebagai “penuntutan bermotif politik” dan menuntut pembebasan segera. London telah berulang kali menuduh Beijing melanggar prinsip “satu negara, dua sistem” yang seharusnya menjamin tingkat otonomi dan kebebasan tertentu bagi Hong Kong hingga setidaknya 2047, sesuai Deklarasi Bersama Tiongkok–Inggris 1984.
Organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, menyebut Lai sebagai “tahanan hati nurani” dan menegaskan bahwa ia dipenjara semata-mata karena menggunakan hak kebebasan berekspresi. Mereka menuduh aparat hukum Hong Kong melanggar hak atas peradilan yang adil, termasuk dengan menunjuk hakim khusus untuk kasus keamanan nasional dan menolak permintaan juri independen.
Kasus Lai terjadi di tengah penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang mulai berlaku pada Juni 2020, yang memperluas definisi kejahatan seperti subversi, separatisme, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing. Sejak diberlakukan, ratusan aktivis, politisi oposisi, dan jurnalis telah ditangkap atau diadili di bawah undang-undang ini, menandai perubahan drastis dalam lanskap politik dan media kota tersebut.
Dampak terhadap kebebasan pers terlihat jelas dalam peringkat tahunan yang diterbitkan organisasi pemantau media internasional. Dalam indeks kebebasan pers global 2021, Hong Kong masih berada di sekitar peringkat 80-an; namun sejak penutupan paksa Apple Daily pada 2021 dan serangkaian penangkapan jurnalis, peringkat kota ini anjlok ke posisi sekitar 140 dari 180 negara/wilayah pada 2024–2025, mencerminkan penurunan tajam dalam kebebasan media dan lingkungan kerja jurnalis. Penurunan lebih dari 50 peringkat dalam kurun beberapa tahun dianggap sebagai salah satu kemerosotan tercepat di dunia.
Pemerintah Hong Kong dan media resmi Tiongkok membela putusan terhadap Lai, dengan menyatakan bahwa vonis itu didasarkan pada “bukti kuat” dan diperlukan untuk menjaga keamanan nasional. Menurut laporan media pemerintah, pengadilan memeriksa lebih dari 2.200 barang bukti dan membuka lebih dari 400 kursi untuk publik di setiap sidang sebagai upaya menunjukkan transparansi proses hukum. Namun, pengacara hak asasi dan pengamat internasional berpendapat bahwa struktur hukum di bawah NSL dirancang sedemikian rupa sehingga mengikis prinsip-prinsip dasar negara hukum, termasuk asas praduga tak bersalah dan independensi peradilan.
Seruan Trump kepada Xi untuk membebaskan Jimmy Lai menempatkan Hong Kong kembali di jantung persaingan geopolitik antara Washington dan Beijing. Selama beberapa tahun terakhir, AS telah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat Hong Kong dan Tiongkok yang dianggap bertanggung jawab atas pengekangan kebebasan di kota itu, sementara Beijing menuduh Washington mencampuri urusan dalam negerinya dan menggunakan isu hak asasi manusia sebagai alat politik.
Di sisi lain, kasus Lai menjadi ujian bagi komitmen komunitas internasional terhadap prinsip-prinsip kebebasan pers dan otonomi Hong Kong. Bagi Beijing, mengalah pada tekanan asing dan membebaskan salah satu pengkritik paling vokal dapat dianggap sebagai tanda kelemahan dan berpotensi mendorong tuntutan serupa dalam kasus-kasus politik lain. Bagi negara-negara Barat, khususnya AS dan Inggris, kegagalan untuk membela Lai secara efektif akan dibaca oleh publik dan aktivis sebagai kemunduran dalam agenda hak asasi manusia global mereka.
Di tengah tekanan global yang meningkat, belum jelas apakah seruan Trump dan sekutu-sekutunya akan berdampak nyata terhadap nasib Jimmy Lai. Sentencing atau penjatuhan hukuman atas dirinya diperkirakan akan menjadi momen krusial, tidak hanya bagi kehidupan pribadi seorang taipan media berusia senja, tetapi juga bagi masa depan kebebasan sipil dan supremasi hukum di Hong Kong.
Kasus ini telah menjadikan Lai simbol pergeseran dramatis Hong Kong dari kota yang pernah dipuji sebagai benteng kebebasan pers Asia menjadi contoh bagaimana undang-undang keamanan nasional dapat digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat. Apakah tekanan diplomatik dari Washington, London, dan ibu kota-ibu kota lainnya akan mampu mengubah jalannya kasus ini—atau justru mengerasnya sikap Beijing—akan menjadi salah satu pertanyaan kunci dalam babak terbaru kisah hubungan rumit antara Tiongkok, Hong Kong, dan dunia.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.