Ketegangan di perbatasan Israel–Lebanon kembali meningkat tajam ketika militer Israel melancarkan serangkaian serangan udara dan artileri yang secara eksplisit menyasar infrastruktur Hizbullah dan jaringan pasukan elitnya, Radwan. Operasi ini terjadi meski ada perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada November 2024, yang secara resmi masih berlaku namun berulang kali dilanggar oleh kedua pihak.

Image Illustration. Photo by Hobi industri on Unsplash
Latar Belakang Eskalasi Baru
Sejak meletusnya perang antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023, front utara Israel di sepanjang perbatasan Lebanon berubah menjadi arena baku tembak nyaris harian antara Israel dan Hizbullah. Menurut data PBB dan otoritas Lebanon, sejak pertengahan September 2024 hingga akhir 2024, serangan Israel di Lebanon menewaskan sedikitnya 3.500 orang dan melukai lebih dari 15.000 lainnya, dengan mayoritas korban adalah warga sipil. Data PBB memperkirakan lebih dari 1,2 juta warga Lebanon mengungsi akibat pemboman dan perintah evakuasi Israel, menjadikannya salah satu gelombang pengungsian terbesar di negara itu dalam beberapa dekade terakhir.
Meskipun gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat pada November 2024 dimaksudkan untuk menghentikan eskalasi, serangan tetap berlangsung. Kantor HAM PBB mencatat bahwa sejak perjanjian itu berlaku hingga akhir November 2025, sedikitnya 127 warga sipil Lebanon tewas akibat serangan Israel, angka yang disebut kemungkinan masih lebih rendah dari kenyataan di lapangan.
Fokus Baru: Menghantam Pasukan Radwan
Dalam beberapa bulan terakhir, pernyataan pejabat keamanan Israel mengindikasikan bahwa salah satu tujuan utama operasi di Lebanon adalah “melumpuhkan kemampuan ofensif Hizbullah”, dengan penekanan khusus pada pasukan elit Radwan. Unit ini selama bertahun-tahun dipandang sebagai ujung tombak skenario serangan darat Hizbullah ke wilayah Galilea di Israel utara.
Radwan – juga dikenal sebagai Unit 125 – adalah satuan operasi khusus Hizbullah yang dikembangkan sejak pertengahan 2000-an, dengan kekuatan diperkirakan sekitar 2.500 kombatan pada 2022. Sumber-sumber intelijen Israel dan analisis militer menyebutkan bahwa unit ini ditempatkan di sepanjang Garis Biru di perbatasan Israel–Lebanon, mengutamakan infiltrasi, operasi sergap, dan pengintaian mendalam ke wilayah Israel.
Profil pasukan ini juga digambarkan dalam sejumlah studi lembaga riset keamanan, yang menyoroti pengalaman tempur Radwan di Suriah serta latihan-latihan tingkat tinggi yang mereka jalani, mulai dari infiltrasi pegunungan hingga operasi senyap di wilayah urban.
Serangan-Serangan Kunci di Lebanon
Eskalasi terhadap Hizbullah dan Radwan tidak terjadi dalam satu malam. Pada Oktober 2024, Israel melancarkan invasi terbatas ke Lebanon selatan yang dibarengi serangan udara masif ke wilayah padat penduduk, termasuk kota pelabuhan bersejarah Tirus (Tyre) di distrik selatan. Serangan di wilayah Tyre pada 23–25 Oktober 2024 menewaskan setidaknya tujuh warga sipil dan melukai lebih dari 17 orang, di tengah kekhawatiran UNESCO atas potensi kerusakan situs-situs arkeologi Romawi dan Fenisia di sekitarnya.
Beberapa hari sebelumnya, pada 4 Oktober 2024, serangan udara Israel menghantam sebuah pusat medis di Beirut tengah, menewaskan sedikitnya sembilan orang – tujuh di antaranya tenaga medis – dan melukai belasan lainnya. Israel menyatakan bahwa serangan itu menyasar “aset Hizbullah”, sementara kelompok pertahanan sipil yang berafiliasi dengan Hizbullah menuduh Israel menggunakan amunisi yang mengandung fosfor putih.
Serangan dengan daya hancur besar berlanjut pada 10 Oktober 2024, ketika bom berpemandu JDAM berdaya ledak 2.000 pon dijatuhkan di kawasan padat penduduk Bachoura, Beirut. Sedikitnya 22 orang tewas dan lebih dari 100 lainnya terluka. Target utama diduga adalah Wafiq Safa, pejabat senior keamanan Hizbullah sekaligus kerabat mantan pemimpin tertinggi kelompok itu. Ia diyakini lolos dari upaya pembunuhan tersebut.
Radwan dan Perhitungan Strategis di Perbatasan
Bagi Israel, keberadaan Radwan di sepanjang perbatasan utara dipersepsikan sebagai ancaman langsung terhadap komunitas sipil di Galilea. Militer Israel selama bertahun-tahun mengembangkan doktrin yang mengasumsikan bahwa setiap perang besar berikutnya dengan Hizbullah akan dibuka dengan serangan lintas batas oleh pasukan Radwan untuk merebut desa-desa atau pos militer di Israel utara.
Pengalaman Radwan dalam perang Suriah, termasuk dalam operasi merebut kembali wilayah dari kelompok-kelompok bersenjata oposisi dan ISIS, membuat unit ini dinilai memiliki tingkat profesionalisme di atas rata-rata milisi non-negara. Penelitian think tank dan akademisi menggambarkan transformasi Hizbullah dari kelompok gerilya menjadi aktor “hibrida” dengan kemampuan yang mendekati angkatan bersenjata reguler, dengan Radwan sebagai komponen kunci pasukan tempurnya.
Respons Hizbullah: Serangan Balasan dan Dilema Politik
Hizbullah tidak tinggal diam. Sepanjang 2024, kelompok ini menembakkan roket, rudal antitank, dan mengoperasikan drone bersenjata ke wilayah Israel utara. Salah satu serangan paling menonjol terjadi pada 13 Oktober 2024, ketika sebuah drone Hizbullah menghantam barak pelatihan Brigade Golani di dekat kota Binyamina. Serangan itu menewaskan empat tentara Israel dan melukai sedikitnya 58 personel lainnya, menjadikannya salah satu serangan paling mematikan terhadap instalasi militer Israel sejak konflik di front utara kembali memanas.
Di dalam Lebanon sendiri, fokus Israel pada Radwan dan infrastruktur militer Hizbullah memperparah perdebatan ihwal masa depan senjata kelompok itu. Pemerintah Lebanon, di bawah tekanan ekonomi dan diplomatik, berusaha memperluas ruang negosiasi dengan Israel melalui komite pemantau gencatan senjata yang juga diikuti perwakilan sipil. Namun langkah ini dikecam pimpinan Hizbullah sebagai “konsesi gratis” yang tidak akan mengubah perilaku militer Israel di lapangan.
Warga Sipil di Tengah Dua Api
Baik Israel maupun Hizbullah mengklaim menargetkan sasaran militer, tetapi fakta di lapangan menunjukkan proporsi korban sipil yang tinggi di kedua sisi perbatasan. Di Lebanon selatan, kota-kota dan desa-desa di sepanjang Litani mengalami kerusakan luas, dengan infrastruktur dasar seperti sekolah, rumah sakit, serta jaringan air dan listrik ikut terdampak. UNIFIL dan lembaga-lembaga kemanusiaan memperingatkan bahwa kombinasi pemboman, ranjau, dan sisa-sisa bahan peledak akan meninggalkan dampak jangka panjang bagi keselamatan warga sipil dan proses rekonstruksi.
Di Israel utara, ribuan warga di kota-kota seperti Kiryat Shmona dan Metula juga mengungsi selama berbulan-bulan karena khawatir akan serangan roket dan kemungkinan serbuan darat Radwan. Pemerintah Israel menyatakan sebagian besar dari sekitar 64.000 warga yang dievakuasi telah kembali, tetapi laporan lapangan menunjukkan banyak komunitas masih setengah kosong dan bergulat dengan trauma, kerusakan ekonomi, dan ketidakpastian keamanan jangka panjang.
Prospek Ke Depan: De-Eskalasi atau Perang Lebih Luas?
Ke depan, fokus Israel pada penghancuran kapasitas Radwan menyimpan risiko eskalasi lebih jauh dengan Hizbullah dan Iran, sekaligus memperdalam penderitaan warga sipil. Pakar keamanan regional memperingatkan bahwa setiap upaya Israel untuk “membongkar” kehadiran Radwan di dekat perbatasan bisa memicu respons yang lebih besar, termasuk rentetan roket jarak jauh ke pusat-pusat populasi Israel dan serangan-silang yang menyeret kawasan ke perang terbuka berskala penuh.
Di sisi lain, sejumlah proposal diplomatik – termasuk gagasan pengerahan misi pengamat internasional baru setelah mandat UNIFIL berakhir pada 2026 – mencoba menawarkan jalur de-eskalasi yang mengandalkan kombinasi tekanan internasional, penguatan tentara Lebanon di selatan, dan skema penarikan mundur bertahap pasukan Hizbullah dari garis depan. Namun selama kedua pihak masih melihat keuntungan strategis dari penggunaan kekuatan, serangan dan balasan, termasuk terhadap pasukan elit seperti Radwan, tampaknya akan tetap mewarnai langit di atas Lebanon dan Israel utara.