Jakarta – Jumat pagi, 19 Desember 2025, dua orang yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kalimantan Selatan terlihat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Salah satunya adalah pejabat Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (HSU), yang sehari sebelumnya ikut diamankan bersama sejumlah pihak lain dalam OTT yang menyasar dugaan pemerasan terkait penanganan perkara pidana.
Kedua orang tersebut datang dalam dua kloter, dengan selisih hanya beberapa menit. Pantauan media menunjukkan satu orang tiba sekitar pukul 08.19 WIB, disusul satu orang lainnya pada pukul 08.23 WIB, sebelum langsung digiring menuju ruang pemeriksaan tanpa memberikan keterangan kepada wartawan.
Suasana di lobi Gedung Merah Putih KPK sudah riuh sejak pagi. Sejumlah jurnalis dan juru kamera berjaga sejak sebelum pukul 08.00 WIB, menanti kedatangan para pihak yang diamankan dari OTT di Kalimantan Selatan.
Sekitar pukul 08.19 WIB, mobil minibus berwarna gelap memasuki area drop-off. Seorang pria berjaket dan bermasker tampak dikawal petugas KPK menuju ruang lobi, menghindari sorotan kamera. Tak berselang lama, pada 08.23 WIB, mobil lain datang membawa satu orang tambahan yang juga langsung bergegas masuk gedung diapit petugas lembaga antirasuah.
Kedua orang ini merupakan bagian dari total enam pihak yang sebelumnya diamankan KPK dalam OTT di wilayah Kalimantan Selatan pada Kamis malam, 18 Desember 2025, sebagaimana dikonfirmasi juru bicara KPK kepada media nasional. KPK menyatakan telah mengamankan enam orang dari OTT di Kalsel, meski belum semuanya dibawa ke Jakarta pada hari pertama pemeriksaan.
Informasi yang beredar menyebut dua orang yang diamankan KPK dalam OTT di Hulu Sungai Utara adalah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara dan Kepala Seksi Intelijen Kejari setempat. Penangkapan ini dikonfirmasi oleh pemberitaan media nasional yang mengutip sumber penegak hukum dan pejabat terkait, yang menyatakan KPK mengamankan dua jaksa tersebut dalam rangkaian OTT di Kalimantan Selatan. Media melaporkan KPK mengamankan Kajari dan Kasi Intel Kejari Hulu Sungai Utara dalam OTT di Kalsel.
Di sisi lain, KPK lewat keterangan resminya menyebut OTT ini berkaitan dengan dugaan pemerasan oleh aparat penegak hukum terhadap pihak yang berperkara di wilayah tersebut. Dalam pernyataannya, KPK mengonfirmasi telah melakukan penindakan di Hulu Sungai Utara dan menyita uang ratusan juta rupiah sebagai barang bukti operasi lapangan. KPK menyatakan OTT Kajari Hulu Sungai Utara berkaitan dengan dugaan pemerasan dan menyita uang ratusan juta rupiah.
Operasi di Kalimantan Selatan ini bukan OTT tunggal dalam pekan yang sama. Hanya dalam kurun kurang dari 24 jam, KPK mengumumkan setidaknya tiga OTT berbeda: di Banten, Bekasi, dan Kalimantan Selatan. Di Banten, lembaga tersebut menciduk sembilan orang yang terdiri dari seorang oknum jaksa, dua penasihat hukum, dan enam pihak swasta. Di Bekasi, 10 orang turut diamankan terkait dugaan suap pengurusan perkara lain. KPK menyebut ada 9 orang diamankan dalam OTT di Banten yang melibatkan oknum jaksa, sementara dalam OTT Kalsel, KPK mengamankan enam orang dari berbagai unsur. Informasi resmi KPK juga mencatat OTT di Hulu Sungai Utara sebagai OTT ke-11 sepanjang 2025.
Sejak awal 2025, KPK sendiri mencatat telah melakukan OTT di sejumlah daerah. Di antaranya di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, pada Maret 2025 dengan mengamankan anggota DPRD dan pejabat Dinas PUPR serta uang sekitar Rp2,6 miliar sebagai barang bukti dugaan suap proyek infrastruktur. Dalam OTT di OKU, Sumatera Selatan, KPK mengamankan uang sekitar Rp2,6 miliar dari tangan para pihak yang terjaring, menunjukkan pola suap yang terus berulang dalam pengadaan proyek pemerintah daerah.
Setibanya di Gedung KPK, kedua orang dari OTT Kalsel tersebut langsung berstatus sebagai terperiksa. Sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), KPK memiliki waktu maksimal 1x24 jam untuk menentukan apakah mereka akan dinaikkan statusnya menjadi tersangka, dibebaskan, atau dijadikan saksi dalam konstruksi perkara yang tengah dibangun penyidik. KPK menegaskan memiliki waktu 1x24 jam berdasarkan KUHAP untuk menentukan status pihak yang terciduk OTT di Hulu Sungai Utara.
Skema ini jamak terjadi dalam setiap OTT: pihak yang ditangkap akan terlebih dahulu dibawa ke Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan intensif. Jika bukti permulaan dianggap cukup, KPK akan mengumumkan status tersangka dalam konferensi pers resmi, lengkap dengan uraian konstruksi perkara, peran masing-masing pihak, serta pasal-pasal yang disangkakan.
Operasi tangkap tangan selama ini menjadi salah satu instrumen paling menonjol dalam upaya penindakan korupsi di Indonesia. Sepanjang beberapa tahun terakhir, KPK kerap menggunakan metode ini untuk membongkar praktik suap yang melibatkan pejabat eksekutif, legislatif, hingga aparat penegak hukum sendiri.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bahwa mayoritas kasus yang ditangani lembaga ini terkait dengan tindak pidana suap—dengan lebih dari 60% perkara penindakan sepanjang 2004–2023 berasal dari kategori tersebut, termasuk banyak di antaranya hasil OTT. Statistik resmi KPK menunjukkan perkara suap mendominasi lebih dari 60% kasus sejak 2004, menggambarkan bagaimana korupsi kerap berkelindan dengan transaksi langsung antara pemberi dan penerima manfaat.
Secara lebih luas, Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan serius dalam pemberantasan korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index/CPI) yang dirilis Transparency International menempatkan skor Indonesia di angka 34 pada 2023, turun dibanding beberapa tahun sebelumnya, dan berada di peringkat menengah secara global. Penurunan ini kerap dijadikan alarm oleh pegiat antikorupsi bahwa upaya penindakan perlu dibarengi dengan pembenahan institusi penegak hukum, termasuk kejaksaan dan kepolisian.
Penangkapan pejabat kejaksaan melalui OTT KPK tak hanya berdampak pada individu yang diperiksa, tetapi juga pada citra institusi penegak hukum secara keseluruhan. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum—dari hakim hingga jaksa—berulang kali muncul dan menjadi sorotan publik, memperkuat persepsi bahwa integritas aparat masih menjadi titik lemah dalam sistem peradilan pidana.
Pakar hukum pidana dari sejumlah perguruan tinggi negeri juga kerap mengingatkan bahwa korupsi di sektor penegakan hukum memiliki dampak berlapis: selain merugikan keuangan negara, ia menggerus kepercayaan publik dan merusak kepastian hukum. Kajian akademik yang diterbitkan berbagai fakultas hukum di Indonesia menekankan bahwa keterlibatan aparat dalam korupsi memperparah apa yang disebut sebagai state capture corruption, di mana aturan dan proses penegakan hukum dibelokkan untuk kepentingan sempit kelompok tertentu.
Untuk sementara, publik hanya dapat menyaksikan dari kejauhan ketika dua orang yang terjaring OTT di Kalsel digiring ke dalam Gedung Merah Putih KPK, tanpa sepatah kata pun yang terucap. Dalam waktu 1x24 jam, KPK akan menentukan langkah berikutnya: apakah keduanya akan resmi menyandang status tersangka atau justru dilepaskan karena bukti belum cukup kuat.
Apapun hasilnya, OTT ini kembali menegaskan bahwa praktik korupsi—termasuk yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum—masih menjadi pekerjaan rumah panjang bagi negara. Penindakan lewat OTT memang penting sebagai pintu masuk pembongkaran kasus, tetapi reformasi menyeluruh di lembaga penegak hukum, pengawasan internal yang kuat, serta komitmen politik yang konsisten tetap menjadi kunci agar peristiwa serupa tidak terus berulang dari tahun ke tahun.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.