Pernyataan seorang pejabat keamanan Jepang yang menyebut perlunya mempertimbangkan kepemilikan senjata nuklir untuk menghadapi memburuknya lingkungan keamanan kawasan kembali mengguncang Asia Timur. Pemerintah di Tokyo buru‑buru menegaskan kembali komitmen pada prinsip “tanpa nuklir”, namun pernyataan itu sudah telanjur memicu reaksi keras dari Beijing dan Pyongyang, serta memanaskan kembali perdebatan lama: apakah Jepang pada akhirnya akan melangkah ke opsi nuklir, dan bagaimana China akan merespons. Di tengah perlombaan senjata baru dan meningkatnya ketegangan di Laut China Timur serta Selat Taiwan, wacana ini tidak bisa dipandang sekadar retorika politik domestik.
Konstitusi Jepang pascaperang, khususnya Pasal 9, menegaskan penolakan terhadap perang sebagai hak kedaulatan dan melarang negara memelihara kekuatan militer ofensif. Selama puluhan tahun, Tokyo juga berpegang pada “tiga prinsip non‑nuklir”: tidak memiliki, tidak memproduksi, dan tidak mengizinkan senjata nuklir masuk ke wilayahnya. Kebijakan ini menjadi pilar identitas Jepang sebagai satu‑satunya negara yang pernah menjadi korban serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Namun, lanskap keamanan di Asia Timur berubah drastis dalam satu dekade terakhir. Korea Utara terus menguji rudal balistik dan mengembangkan hulu ledak nuklir, sementara China mempercepat modernisasi militernya dan meningkatkan aktivitas maritim di sekitar Kepulauan Senkaku/Diaoyu yang dipersengketakan. Di saat yang sama, kepercayaan terhadap “payung nuklir” Amerika Serikat yang dilandasi Perjanjian Keamanan AS‑Jepang mulai dipertanyakan sebagian kalangan elit kebijakan dan publik Jepang.
Api perdebatan terbaru dipicu ketika seorang pejabat senior di kantor Perdana Menteri Sanae Takaichi, dalam laporan media, menyebut bahwa Jepang perlu mempertimbangkan kepemilikan senjata nuklir untuk menghadapi lingkungan keamanan yang kian berbahaya, meski mengakui hambatan politik yang sangat besar. Pemerintah kemudian menegaskan bahwa kebijakan nuklir Jepang “tidak berubah”, dan tetap berpegang pada prinsip non‑nuklir yang telah dipegang selama beberapa dekade. Namun, pernyataan itu saja sudah cukup untuk dijadikan amunisi propaganda oleh musuh‑musuh lamanya di kawasan.
Media resmi Korea Utara, KCNA, segera menuduh Jepang memiliki “ambisi nuklir” dan menyerukan agar keinginan tersebut “ditekan habis‑habisan”. Laporan KCNA mengaitkan wacana di Tokyo dengan perkembangan terbaru di Semenanjung Korea, termasuk kerja sama nuklir antara AS dan Korea Selatan, serta menuduh Jepang memanfaatkan situasi itu sebagai dalih untuk mempersenjatai diri.
Beijing, meski tidak langsung menuduh Tokyo tengah merencanakan senjata nuklir, menanggapi tajam setiap tanda perubahan sikap keamanan Jepang. Dalam beberapa bulan terakhir, Kementerian Luar Negeri China berulang kali mengecam komentar Perdana Menteri Sanae Takaichi mengenai kemungkinan respons militer Jepang jika terjadi serangan China terhadap Taiwan, dan menuntut agar pernyataan itu ditarik kembali. China menilai komentar tersebut sebagai upaya “menggertak” Beijing dan mengubah status quo di kawasan.
Di atas panggung yang sudah tegang karena isu Taiwan dan sengketa maritim, wacana Jepang soal opsi nuklir menjadi faktor pemicu tambahan. China sendiri tengah melakukan modernisasi nuklir besar‑besaran. Menurut data terbaru Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), China kini memiliki sekitar 600 hulu ledak nuklir per Januari 2025, meningkat sekitar 100 hulu ledak hanya dalam setahun terakhir, menjadikannya gudang nuklir yang tumbuh paling cepat di dunia. SIPRI memperkirakan total persenjataan nuklir global mencapai sekitar 12.241 hulu ledak pada awal 2025, dengan sekitar 9.614 di antaranya berada dalam stok militer yang siap digunakan.
Pakar menilai, kombinasi antara modernisasi nuklir China dan sinyal politik keras terhadap Jepang menunjukkan bahwa Beijing ingin mengirim pesan pencegahan ganda: memperingatkan Tokyo agar tidak mendekat ke opsi nuklir, sekaligus mengingatkan Washington tentang risiko eskalasi jika aliansi AS‑Jepang semakin menyerempet isu nuklir dan Taiwan.
Secara resmi, Tokyo masih mengandalkan “payung nuklir” Amerika Serikat, yang tercantum dalam Perjanjian Kerja Sama dan Keamanan AS‑Jepang. Perjanjian ini menyatakan bahwa serangan terhadap salah satu pihak di wilayah yang berada di bawah administrasi Jepang dapat memicu respons AS, termasuk penggunaan kemampuan strategisnya. Dokumen penegasan ulang aliansi beberapa tahun terakhir menekankan bahwa pencegahan nuklir AS tetap menjadi “inti” pertahanan Jepang, meski kedua negara juga memperluas kerja sama di bidang rudal konvensional dan pertahanan siber.
Namun, perdebatan domestik soal apakah payung tersebut benar‑benar dapat diandalkan dalam skenario konflik besar—misalnya perang di Selat Taiwan atau serangan rudal Korea Utara—terus mengemuka. Sejumlah politisi Partai Demokrat Liberal (LDP) berulang kali mengusulkan agar Jepang membuka kemungkinan “berbagi nuklir” dengan AS, mirip pengaturan NATO, yang memungkinkan penempatan senjata nuklir AS di wilayah sekutu non‑nuklir. Usulan seperti ini secara teknis tidak mengubah status Jepang sebagai negara non‑nuklir, tetapi berpotensi melanggar semangat prinsip tiga non‑nuklir dan memicu reaksi keras dari China serta Korea Selatan.
Meski elite keamanan mulai membicarakan opsi nuklir secara lebih terbuka, opini publik Jepang tetap menjadi penghalang utama. Survei‑survei besar dalam beberapa tahun terakhir secara konsisten menunjukkan mayoritas warga menolak kepemilikan senjata nuklir dan mendukung kelanjutan prinsip non‑nuklir, meski juga menginginkan penguatan kemampuan pertahanan konvensional. Sebuah jajak pendapat oleh Genron NPO misalnya, menemukan bahwa sekitar tiga perempat responden menentang Jepang menjadi negara bersenjata nuklir, bahkan setelah invasi Rusia ke Ukraina mengubah persepsi ancaman di seluruh dunia.
Selain itu, sebagai negara yang mengalami langsung kehancuran bom atom, tekanan moral dan simbolik terhadap setiap langkah yang dianggap mendekati senjata nuklir sangat besar. Kota Hiroshima dan Nagasaki, bersama komunitas penyintas hibakusha, secara konsisten menjadi suara paling lantang menentang nuklir, dan memiliki pengaruh moral yang tidak bisa diabaikan dalam politik Jepang modern.
Terlepas dari kecilnya kemungkinan Jepang benar‑benar melompat ke program senjata nuklir dalam waktu dekat, sekadar wacana saja sudah menambah lapisan ketidakpastian di kawasan yang tengah memasuki babak baru perlombaan senjata. SIPRI mencatat bahwa era pengurangan senjata nuklir pasca‑Perang Dingin praktis telah berakhir; sembilan negara bersenjata nuklir kini cenderung meningkatkan stok dan kemampuan arsenalnya, bukan menguranginya.
Jika Jepang suatu hari benar‑benar memutuskan untuk memiliki senjata nuklir—atau bahkan sekadar mengizinkan penempatan senjata nuklir AS di wilayahnya—respon berantai hampir pasti terjadi. China bisa mempercepat penambahan hulu ledak dan memperkuat postur nuklir di dekat Jepang. Korea Utara akan menggunakan langkah Tokyo sebagai pembenaran untuk uji coba lebih agresif. Korea Selatan, yang juga memiliki perdebatan domestik soal opsi nuklir, bisa ikut terdorong mengambil langkah serupa.
Wacana bahwa “Jepang ingin punya senjata nuklir” hari ini lebih mencerminkan kegelisahan strategis dan permainan sinyal politik ketimbang rencana kebijakan konkret. Hambatan konstitusional, politik, dan moral masih sangat besar, sementara aliansi dengan Amerika Serikat tetap menjadi jangkar utama keamanan Jepang.
Namun, dari sudut pandang China, pergeseran kecil dalam retorika dan dokumen pertahanan Jepang—termasuk penguatan militer konvensional, sikap lebih keras atas Taiwan, serta wacana nuklir sekecil apa pun—sudah cukup untuk dianggap mendekati garis merah. Dengan modernisasi nuklir China yang berlangsung cepat dan meningkatnya ketegangan regional, setiap kata dan kebijakan di Tokyo kini diawasi ketat oleh Beijing, yang berulang kali menegaskan siap “mengambil langkah yang perlu” untuk menjaga keamanannya.
Di tengah dinamika ini, tantangan bagi komunitas internasional—termasuk negara‑negara Asia Tenggara seperti Indonesia—adalah mendorong jalur dialog, transparansi, dan pengendalian senjata, agar Asia Timur tidak terjerumus ke dalam spiral perlombaan nuklir baru yang lebih berbahaya daripada sebelumnya.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.