Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menjadi sorotan setelah tim kuasa hukum Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka menyerahkan 14 bukti untuk membantah gugatan perdata terkait keabsahan ijazah sang wakil presiden. Dalam sidang yang digelar Senin, 8 Desember 2025, kuasa hukum Gibran menegaskan bahwa rangkaian bukti tersebut diarahkan untuk menggugurkan dalil penggugat dan menegaskan bahwa perkara ini bukan kewenangan PN Jakarta Pusat, melainkan rezim hukum lain yang mengatur sengketa pemilu dan administrasi negara.
Image Illustration. Photo by Yogesh Pedamkar on Unsplash
Gugatan terhadap Gibran diajukan oleh seorang penggugat bernama Subhan pada 29 Agustus 2025. Penggugat menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Gibran telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan meloloskan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden tanpa verifikasi ijazah yang dianggap tidak sah, serta menuntut ganti rugi kepada negara senilai Rp125 triliun. Informasi mengenai nilai gugatan Rp125 triliun dan pokok perkara perdata ini sebelumnya telah diberitakan oleh sejumlah media nasional, yang menyoroti besarnya nilai kerugian negara yang diklaim penggugat.
Dalam keterangan kepada wartawan seusai sidang, kuasa hukum Gibran, Dadang Herli Saputra, menjelaskan bahwa 14 bukti yang diserahkan merupakan “bukti awal” dari pihak tergugat. Mayoritas bukti tersebut berupa rujukan peraturan perundang‑undangan dan putusan pengadilan sebelumnya yang dinilai relevan untuk membantah dalil penggugat.
Menariknya, ijazah Gibran sendiri belum disertakan sebagai bukti pada tahap ini. Menurut Dadang, fokus sidang saat ini adalah membuktikan bahwa PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara tersebut (kompetensi absolut), sehingga pembahasan substansi keabsahan ijazah belum masuk ke pokok perkara. Penegasan bahwa ijazah belum diajukan dan bahwa agenda sidang berkaitan dengan kompetensi absolut juga disampaikan dalam laporan beberapa media daring pada hari yang sama.
Kasus ini tidak berdiri sendiri. Sebelumnya, polemik seputar kesetaraan dan dokumen ijazah Gibran juga mencuat melalui sejumlah permohonan informasi publik. Beberapa pengacara dan aktivis mengajukan permintaan dokumen penyetaraan ijazah ke Kementerian Pendidikan, yang kemudian memicu perdebatan: apakah dokumen tersebut termasuk informasi publik yang terbuka atau justru dikecualikan.
Di sisi lain, kuasa hukum pihak yang mengkritisi ijazah Gibran berargumen bahwa akses terhadap dokumen pendidikan pejabat publik penting untuk menjamin transparansi dan integritas jabatan. Perdebatan ini menunjukkan ketegangan antara hak atas privasi data pribadi dan tuntutan keterbukaan informasi ketika menyangkut pejabat negara.
Salah satu isu kunci dalam perkara ini adalah persoalan kompetensi absolut: apakah PN Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang beririsan dengan proses pemilu dan keabsahan pencalonan pejabat publik. Dalam praktik hukum Indonesia, sengketa hasil pemilu menjadi yurisdiksi MK, sementara sengketa terhadap keputusan pejabat tata usaha negara biasanya menjadi kewenangan peradilan tata usaha negara (TUN).
Dengan menggunakan 14 bukti yang berisi rujukan perundang‑undangan dan putusan pengadilan sebelumnya, tim kuasa hukum Gibran berupaya meyakinkan majelis hakim bahwa sengketa terkait proses pencalonan wakil presiden, termasuk soal verifikasi ijazah, tidak tepat diajukan sebagai gugatan perdata di pengadilan negeri. Secara strategis, jika hakim menerima argumentasi ini, perkara dapat dinyatakan tidak dapat diterima tanpa memasuki pokok perkara keabsahan ijazah.
Meskipun berlabel gugatan perdata, kasus ini memiliki implikasi politik yang jelas. Polemik seputar ijazah Gibran—ditambah dengan sebelumnya polemik usia pencalonan dan relasi kekuasaan di lingkar kekuasaan—memperkuat narasi publik mengenai perlunya standar integritas dan transparansi yang lebih tinggi bagi pejabat negara.
Dalam konteks itu, sengketa ijazah Gibran bukan hanya soal benar atau tidaknya dokumen pendidikan yang ia miliki, tetapi juga tentang bagaimana negara dan lembaga peradilan merespons tuntutan transparansi. Putusan dalam perkara ini—baik menyangkut kompetensi absolut maupun pokok perkara—berpotensi menjadi rujukan penting bagi sengketa serupa di masa depan.
Dalam tahap berikutnya, majelis hakim PN Jakarta Pusat akan menilai terlebih dahulu apakah pengadilan berwenang mengadili perkara ini. Jika hakim menyimpulkan bahwa objek sengketa terkait erat dengan proses pemilu atau keputusan tata usaha negara, bukan perbuatan melawan hukum biasa, maka kemungkinan besar gugatan dapat dinyatakan tidak dapat diterima karena salah kamar peradilan.
Sebaliknya, jika pengadilan menilai bahwa aspek perdata (misalnya klaim kerugian negara dan dugaan perbuatan melawan hukum) cukup berdiri sendiri, perkara dapat berlanjut ke tahap pembuktian substansial, termasuk kemungkinan menghadirkan ijazah dan dokumen pendidikan Gibran sebagai alat bukti langsung. Proses ini akan diawasi ketat publik dan media, mengingat posisi Gibran sebagai wakil presiden aktif dan putra presiden sebelumnya.
Penyerahan 14 bukti oleh kubu Gibran di PN Jakarta Pusat menandai babak baru dalam sengketa hukum yang menyentuh langsung legitimasi personal sekaligus legitimasi institusional pemilu. Di satu sisi, tim kuasa hukum Gibran berupaya menunjukkan bahwa jalur gugatan yang ditempuh penggugat tidak tepat secara hukum. Di sisi lain, gugatan ini mencerminkan kegelisahan sebagian publik terhadap transparansi dan akuntabilitas pejabat publik, terutama ketika menyangkut riwayat pendidikan dan proses pencalonan.
Bagaimanapun hasil akhirnya, perkara ini akan menjadi ujian penting bagi sistem peradilan Indonesia dalam menyeimbangkan antara kepastian hukum, perlindungan terhadap pejabat yang sah dipilih, dan tuntutan keterbukaan informasi di era demokrasi elektoral. Putusan PN Jakarta Pusat—baik pada tahap kompetensi absolut maupun pada pokok perkara—akan menjadi preseden yang layak dicermati, bukan hanya oleh kalangan hukum, tetapi juga oleh publik luas yang berharap pemilu dan pejabatnya berdiri di atas fondasi integritas yang kokoh.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.