Seorang warga Tangerang mempertanyakan kembali nasib ayahnya yang dilaporkan hilang bertahun-tahun lalu setelah hasil tes DNA menyatakan bahwa jenazah yang sebelumnya disebut sebagai sang ayah ternyata tidak identik. Ia pun melapor ke polisi, menuding ada kekeliruan dalam proses identifikasi jenazah. Peristiwa ini menyoroti pentingnya akurasi tes DNA forensik, transparansi prosedur identifikasi korban, serta hak keluarga untuk memperoleh kepastian hukum dan kebenaran.
Image Illustration. Photo by Vitaly Gariev on Unsplash
Menurut penuturan keluarga, sang ayah dinyatakan hilang setelah tidak kembali ke rumah dan tak bisa dihubungi selama berhari-hari. Keluarga kemudian melapor ke kepolisian setempat dan menelusuri berbagai kemungkinan, mulai dari kecelakaan, tindak kejahatan, hingga dugaan kabur dari rumah. Beberapa waktu kemudian, polisi mengabarkan adanya temuan jenazah tak dikenal dengan ciri fisik yang dianggap mirip. Dalam situasi tertekan dan membutuhkan kepastian, keluarga akhirnya diyakinkan bahwa jenazah tersebut adalah sang ayah.
Identifikasi awal didasarkan pada kecocokan sebagian ciri fisik dan barang bawaan. Praktik ini memang lazim sebagai langkah pertama, tetapi secara ilmiah belum cukup kuat untuk menyimpulkan identitas tanpa dukungan pemeriksaan sidik jari, rekam medis, gigi, atau DNA. Di Indonesia, pemeriksaan DNA sejak lama menjadi standar emas dalam identifikasi korban tak dikenal, terutama pada kasus bencana massal maupun kejahatan berat.
Tes DNA bekerja dengan membandingkan profil genetik jenazah dengan sampel biologis keluarga biologis—biasanya anak, orang tua, atau saudara kandung. Tingkat akurasinya bisa mencapai lebih dari 99% untuk kepastian hubungan biologis ketika kualitas sampel baik dan metode yang digunakan memenuhi standar laboratorium forensik modern. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Pusdokkes Polri telah berulang kali menekankan bahwa DNA adalah instrumen utama dalam identifikasi korban jika kondisi jenazah sudah sulit dikenali secara visual.
Dalam kasus di Tangerang ini, keluarga meminta tes DNA dilakukan karena masih menyimpan keraguan. Hasil laboratorium menunjukkan bahwa profil DNA jenazah tidak cocok dengan profil DNA anak yang seharusnya memiliki kecocokan setengah materi genetik. Di tingkat forensik, keterangan “tidak identik” atau “non-identik” biasanya berarti tidak ada hubungan biologis langsung yang dapat dibuktikan secara ilmiah antara sampel pembanding dan sampel jenazah.
Kasus keluarga yang meragukan hasil identifikasi jenazah bukanlah hal baru di Indonesia. Pada beberapa peristiwa sebelumnya, hasil tes DNA juga pernah mengoreksi klaim identitas yang semula diyakini. Di tingkat nasional, publik sempat menyoroti kasus pengujian DNA dalam sengketa pengakuan anak dengan tokoh publik, ketika Biro Laboratorium Pusdokkes Polri menyatakan tidak ada kecocokan DNA antara seorang mantan kepala daerah dan anak dari seorang selebgram pada 2025. Hasil ilmiah tersebut kemudian menjadi dasar proses hukum lanjutan dan meluruskan klaim di ruang publik.
Dalam penanganan kasus anak hilang dan penemuan kerangka, Polri juga secara terbuka menggunakan tes DNA untuk memastikan identitas kerangka yang ditemukan terpisah dari tempat kejadian perkara. Dalam satu kasus anak hilang yang menyita perhatian publik di Jakarta dan Bogor, kepolisian menegaskan bahwa kecocokan DNA adalah dasar utama untuk menyimpulkan bahwa kerangka tersebut benar milik korban yang dicari.
Kasus di Tangerang terjadi di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap penanganan laporan orang hilang. Data Bareskrim Polri yang dirilis beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap tahun ada ribuan laporan orang hilang yang masuk ke kepolisian di seluruh Indonesia. Sebagian besar memang berhasil ditemukan dalam kondisi selamat, tetapi ada pula yang ditemukan telah meninggal dunia dan memerlukan proses identifikasi kompleks.
Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) merekomendasikan penggunaan DNA sebagai salah satu pilar utama dalam identifikasi orang hilang dan jenazah tidak dikenal, terutama bila kondisi fisik korban sudah rusak atau tidak dapat dikenali. Rekomendasi ini sejalan dengan praktik di Indonesia, misalnya pada tragedi besar seperti jatuhnya pesawat dan bencana alam yang menelan banyak korban jiwa, di mana puluhan hingga ratusan korban berhasil diidentifikasi lewat DNA.
Ketika hasil tes DNA menyatakan bahwa jenazah yang telah dimakamkan sebagai anggota keluarga ternyata tak memiliki hubungan biologis, timbul dampak psikologis dan hukum yang tidak kecil. Dari sisi psikologis, keluarga mengalami “kehilangan ganda”: pertama, saat menerima kabar kematian yang ternyata keliru, dan kedua ketika menyadari bahwa orang yang dicari masih berstatus hilang tanpa kepastian. Secara hukum, ada ruang bagi keluarga untuk meminta klarifikasi, pemeriksaan ulang, hingga melapor ke polisi jika merasa ada unsur kelalaian prosedural.
Secara prinsip, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan internal Polri mengatur kewajiban aparat penegak hukum untuk mengumpulkan dan menilai alat bukti secara sah, termasuk hasil laboratorium forensik. Jika ada bukti ilmiah baru, seperti hasil DNA yang menyatakan tidak identik, maka aparat wajib menyesuaikan kesimpulan perkara dengan temuan tersebut. Dalam konteks perdata, keluarga juga berhak mengajukan koreksi terhadap dokumen sipil seperti akta kematian yang telah terbit, melalui mekanisme penetapan pengadilan.
Kasus warga Tangerang ini sekaligus menggarisbawahi perlunya transparansi hasil pemeriksaan DNA kepada keluarga. Pengalaman di beberapa kasus profil tinggi menunjukkan bahwa penyampaian hasil tes DNA secara terbuka, disertai penjelasan ilmiah yang sederhana, membantu meredam spekulasi dan memperkuat kepercayaan publik pada proses penegakan hukum. Ketika keluarga merasa dilibatkan dan diberi kesempatan bertanya, penerimaan terhadap hasil sains cenderung lebih baik, meski pahit sekalipun.
Di sisi lain, literasi publik tentang apa itu DNA, bagaimana tes dilakukan, dan apa arti “identik” atau “tidak identik” masih perlu ditingkatkan. Perguruan tinggi kedokteran dan kedokteran gigi forensik di Indonesia selama ini banyak menerbitkan panduan populer yang menjelaskan bahwa hasil tes DNA bukan sekadar angka persentase, melainkan kesimpulan ilmiah tentang ada-tidaknya hubungan biologis, dengan batas kesalahan yang sangat kecil bila prosedur dilaksanakan sesuai standar.
Laporan warga Tangerang ke polisi setelah hasil tes DNA menunjukkan ketidakcocokan dengan jenazah yang sebelumnya disebut sebagai ayahnya adalah cerminan upaya keluarga mencari kepastian di tengah ketidakpastian. Di satu sisi, mereka harus berhadapan lagi dengan fakta bahwa sang ayah masih berstatus hilang. Di sisi lain, kasus ini menjadi pengingat penting bahwa identifikasi korban tidak boleh hanya bertumpu pada dugaan visual dan asumsi, tetapi harus mengandalkan bukti ilmiah yang kuat.
Ke depan, penguatan kapasitas laboratorium forensik, standarisasi prosedur identifikasi, serta edukasi publik soal peran DNA akan menjadi kunci untuk mencegah kesalahan serupa. Bagi keluarga korban, hak untuk mengetahui kebenaran—baik pahit maupun melegakan—adalah bagian tak terpisahkan dari keadilan itu sendiri.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.