Bangkok/Phnom Penh — Ketegangan bersenjata di perbatasan Thailand–Kamboja kembali memuncak menjelang akhir 2025, memicu kekhawatiran akan konflik terbuka yang lebih luas di Asia Tenggara. Di tengah tekanan internasional dan krisis kemanusiaan di wilayah perbatasan, Bangkok mulai memberi sinyal kesediaan menuju gencatan senjata — namun dengan satu syarat utama: Kamboja harus terlebih dahulu menghentikan serangan dan menerima mekanisme pemantauan bersama yang kredibel.
Sengketa perbatasan Thailand–Kamboja bukan persoalan baru. Akar konflik modernnya dapat ditelusuri ke penarikan kolonial Prancis dan pemetaan perbatasan awal abad ke-20, terutama di sekitar kompleks candi Hindu berusia 900 tahun Preah Vihear dan gugus candi lain seperti Ta Moan dan Ta Krabey.
Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 memutuskan bahwa Preah Vihear berada di wilayah Kamboja, namun garis pasti batas darat di sekelilingnya tetap diperdebatkan dan menjadi sumber ketegangan berulang antara kedua negara.
Sejak 2008, ketika Preah Vihear ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, insiden baku tembak dan penembakan artileri di sepanjang perbatasan kian sering terjadi. Antara 2008–2011 saja, serangkaian bentrokan menewaskan sedikitnya 18 tentara dan warga sipil di kedua sisi serta memaksa puluhan ribu orang mengungsi dari desa-desa perbatasan.
Gelombang kekerasan terbaru pada Desember 2025 ditandai pertempuran intens di beberapa titik sepanjang perbatasan yang membentang 817 kilometer. Laporan media internasional menyebutkan bahwa lebih dari setengah juta orang telah mengungsi dari rumah mereka akibat baku tembak lintas batas, serangan roket, dan serangan udara yang saling dituduhkan kedua pihak.
Sedikitnya 20 orang dilaporkan tewas dan hampir 200 lainnya luka-luka dalam beberapa hari pertama pertempuran terkini. Seiring penutupan salah satu pos lintas utama di Poipet oleh Kamboja, Thailand berupaya mengevakuasi hingga 6.000 warganya yang terjebak di perbatasan.
Di tengah tekanan internasional dan pernyataan sepihak mantan Presiden AS Donald Trump bahwa ia telah “menyegel” kesepakatan gencatan senjata terbaru, pemerintah sementara Thailand menegaskan bahwa pertempuran masih berlanjut dan belum ada kesepakatan formal yang berlaku.
Perdana Menteri sementara Anutin Charnvirakul menolak klaim bahwa Bangkok sudah menyetujui penghentian tembak-menembak, sembari menegaskan bahwa Thailand akan melanjutkan operasi militer hingga ancaman dari pihak Kamboja dianggap berhenti. Namun di balik retorika keras itu, sejumlah pejabat diplomatik Thailand mulai menyampaikan garis besar posisi Bangkok: Thailand bersedia mengarah ke gencatan senjata baru, asalkan Kamboja melakukan serangkaian langkah konkret di lapangan.
Syarat pertama yang disampaikan Bangkok adalah penghentian segera seluruh operasi militer ofensif Kamboja di sepanjang zona sengketa, termasuk serangan roket dan artileri ke posisi Thailand. Thailand menegaskan bahwa gencatan senjata hanya masuk akal jika kedua pihak betul-betul menghentikan tembakan, bukan sekadar di atas kertas — pelajaran pahit dari beberapa gencatan senjata singkat yang runtuh dalam hitungan hari pada 2011.
Kedua, Bangkok meminta agar Kamboja menerima skema pemantauan gencatan senjata yang diprakarsai Malaysia dalam kerangka ASEAN, termasuk penempatan misi pengamat regional yang diperkuat dengan pemantauan satelit AS. Kamboja sejauh ini mendukung gagasan ini, namun Thailand menuntut kejelasan mengenai mandat, area operasi, dan mekanisme pelaporan sebelum menandatangani kesepakatan resmi.
Sejarah beberapa kali menunjukkan betapa rapuhnya gencatan senjata di perbatasan Thailand–Kamboja. Pada Februari 2011, misalnya, kedua pihak menyepakati empat butir kesepakatan gencatan senjata di level komandan lapangan — mulai dari penghentian tembakan hingga larangan penambahan pasukan. Namun, tembakan kembali meletus hanya sehari berselang, memperlihatkan jurang antara pernyataan politik dan kendali nyata atas pasukan di lapangan.
Beberapa bulan kemudian, upaya damai yang dimediasi Indonesia sebagai Ketua ASEAN berhasil mendorong kesepakatan gencatan senjata lain pada April 2011, tetapi baku tembak tetap sesekali terjadi di kantong-kantong sengketa. Pengalaman ini membuat Thailand kini menuntut struktur pemantauan yang lebih kuat dan transparan sebelum menyetujui jeda tembak-menembak baru.
Eskalasi kali ini juga menjadi ujian besar bagi ASEAN yang selama ini mengedepankan prinsip musyawarah dan non-intervensi. Malaysia, yang memimpin upaya mediasi, mengusulkan pertemuan khusus tingkat tinggi guna merumuskan kerangka gencatan senjata dan pemantauan bersama. Usulan ini didukung beberapa negara anggota yang khawatir konflik dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan arus perdagangan darat di kawasan Mekong.
Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB pada 2011 pernah menyerukan gencatan senjata permanen dan mendukung mediasi ASEAN. Kini, pola yang mirip muncul kembali: PBB, kekuatan besar, dan ASEAN sama-sama mendorong penyelesaian damai, sementara di lapangan rentetan tembakan belum sepenuhnya berhenti.
Di luar perhitungan geopolitik, warga biasa di kedua sisi perbatasan kembali menjadi korban utama. Data pengungsian terbaru memperkirakan lebih dari 400.000 warga Thailand dan sekitar 100.000 warga Kamboja telah meninggalkan rumah mereka sejak kekerasan terbaru meletus. Banyak di antara mereka tinggal di kamp-kamp sementara dengan akses terbatas pada air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak.
Jalur perdagangan darat penting antara kedua negara, termasuk koridor wisata dan logistik melalui Poipet dan Aranyaprathet, juga terganggu. Penutupan sementara pos-pos lintas batas bukan hanya menghambat arus barang, tetapi juga memukul keras sektor pariwisata dan ekonomi lokal yang bertumpu pada aktivitas lintas batas harian.
Jika dirangkum, ada beberapa elemen yang diinginkan Thailand sebelum benar-benar menandatangani gencatan senjata baru:
Penghentian menyeluruh operasi ofensif Kamboja di sepanjang garis sengketa, termasuk roket dan artileri ke wilayah yang diklaim Thailand.
Persetujuan eksplisit terhadap misi pemantau ASEAN yang mandiri, dengan mandat jelas dan akses penuh ke zona konflik, sebagaimana telah diusulkan dalam beberapa putaran mediasi sebelumnya.
Komitmen tertulis untuk tidak menambah pasukan atau memindahkan persenjataan berat lebih dekat ke garis depan selama masa gencatan senjata, meminimalkan risiko salah perhitungan di lapangan.
Mekanisme komunikasi langsung antara komandan setempat (hotline militer) guna mencegah insiden kecil berkembang menjadi baku tembak besar, meniru model yang telah digunakan di beberapa perbatasan lain di Asia.
Kesediaan Thailand untuk menuju gencatan senjata, meski masih bersyarat, menunjukkan pintu diplomasi belum sepenuhnya tertutup. Namun, tanpa langkah konkret dari Kamboja dan dukungan nyata dari ASEAN untuk memantau serta menjamin implementasi di lapangan, setiap kesepakatan berisiko kembali menjadi gencatan senjata semu seperti yang berulang kali terjadi dalam satu dekade terakhir.
Pada akhirnya, konflik perbatasan Thailand–Kamboja menjadi cermin sejauh mana kawasan ini mampu menyelesaikan sengketa teritorial yang kompleks tanpa terperosok ke siklus kekerasan yang sama. Bagi ratusan ribu warga yang kini hidup di kamp-kamp pengungsian, komitmen politik kedua pemerintah untuk menghentikan tembakan — dan menjaganya tetap berhenti — jauh lebih penting daripada klaim kemenangan apa pun di meja perundingan.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.