Seorang warga Tangerang memilih melapor ke polisi setelah hasil tes DNA menunjukkan ketidaksesuaian dengan jenazah yang sebelumnya diklaim sebagai ayahnya. Kasus ini menyoroti kompleksitas identifikasi korban, terutama dalam situasi bencana atau kecelakaan massal, serta pentingnya prosedur ilmiah yang transparan dalam memastikan kepastian nasib orang hilang bagi keluarga yang menunggu.
Dalam kasus fiktif yang mencerminkan situasi nyata ini, keluarga di Tangerang menerima kabar bahwa seorang laki-laki tanpa identitas yang meninggal dalam kecelakaan diduga kuat sebagai ayah mereka. Indikasi awal bersumber dari kecocokan ciri fisik dan keterangan saksi. Tanpa menunggu hasil laboratorium, aparat setempat menyampaikan kemungkinan bahwa jenazah tersebut adalah sang ayah.
Image Illustration. Photo by Michiel Annaert on Unsplash
Namun pihak keluarga meminta kepastian ilmiah melalui tes DNA. Sampel diambil dari jenazah dan anak kandung, lalu dikirim ke laboratorium forensik. Ketika hasil keluar, keluarga justru menerima kejutan: profil genetik keduanya tidak identik. Artinya, jenazah yang sudah disebut sebagai ayah mereka ternyata bukan bagian dari garis keturunan biologis keluarga.
Merasa ada ketidaksesuaian informasi dan khawatir soal prosedur identifikasi, keluarga kemudian melapor ke kepolisian. Mereka menuntut klarifikasi, mulai dari proses awal penetapan identitas jenazah hingga penggunaan dan penyampaian hasil tes DNA.
Di Indonesia, tes DNA sudah menjadi pilar penting dalam identifikasi korban dan penegakan hukum. Kepolisian menegaskan bahwa teknologi DNA yang digunakan di lingkungan Pusdokkes Polri telah terakreditasi internasional dengan tingkat ketelitian yang diklaim mencapai sekitar 99 persen untuk identifikasi forensik, selama kualitas sampel memadai dan tidak terkontaminasi.
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh jajaran humas kepolisian di berbagai daerah, yang menyebut bahwa tes DNA untuk hubungan kekerabatan dapat mencapai akurasi hingga 99,99 persen. Akurasi setinggi ini menjadikan DNA sebagai standar emas (gold standard) dalam pembuktian hubungan biologis dan identifikasi jenazah, termasuk dalam kasus bencana, kecelakaan transportasi, atau temuan mayat tanpa identitas.
Peristiwa di Tangerang ini tidak berdiri sendiri, melainkan terjadi dalam konteks meningkatnya perhatian publik terhadap kasus orang hilang di Indonesia. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri menunjukkan bahwa hingga 13 November 2025 terdapat 1.953 kasus orang hilang secara nasional, dengan 392 laporan di antaranya ditangani Polda Metro Jaya. Wilayah ini mencakup Jakarta dan sekitarnya, termasuk Kota dan Kabupaten Tangerang, yang menjadikannya salah satu episentrum laporan orang hilang.
Selain data resmi kepolisian, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat lonjakan laporan orang hilang dalam konteks demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025. Posko pengaduan yang mereka buka menerima sedikitnya 44 laporan orang hilang terkait aksi tersebut, meski sebagian besar kemudian ditemukan. Sebagian kasus, menurut KontraS, mengarah pada dugaan praktik penangkapan sewenang-wenang dan penahanan yang tidak transparan.
Dalam kasus-kasus bencana atau kecelakaan besar, kepolisian biasanya mengandalkan prosedur Disaster Victim Identification (DVI). Idealnya, identifikasi dilakukan melalui kombinasi data ante-mortem (sebelum korban meninggal) dan post-mortem (setelah korban meninggal): mulai dari sidik jari, rekam gigi, ciri fisik, barang pribadi, hingga DNA. Namun, polisi sendiri mengakui bahwa dalam situasi tertentu, identifikasi dini kadang dilakukan tanpa menunggu hasil tes DNA, selama tubuh masih relatif utuh dan bukti pendukung dianggap cukup kuat.
Perwakilan tim DVI Polda Jatim, misalnya, pernah menyatakan bahwa mereka berharap dapat mengidentifikasi jenazah tanpa selalu menunggu tes DNA jika kondisi fisik memungkinkan. Namun, dalam kasus bagian tubuh (body part) atau jenazah yang sudah rusak, DNA tetap menjadi satu-satunya cara untuk memastikan identitas secara pasti. Di sinilah risiko salah identifikasi mengintai jika komunikasi dengan keluarga tidak disertai penjelasan yang hati-hati mengenai status sementara (diduga) dan status pasti (terverifikasi).
Menunggu kepastian nasib anggota keluarga adalah pengalaman yang menguras emosi. Dalam banyak kasus orang hilang, keluarga berada di antara dua ketidakpastian: mengikhlaskan kepergian tanpa bukti yang meyakinkan, atau terus mencari tanpa ujung yang jelas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dalam penanganan bencana siklon tropis Seroja di NTT pada 2021, sedikitnya 48 orang dinyatakan masih hilang dari total 174 korban meninggal dunia. Angka-angka seperti ini menggambarkan betapa panjang dan menyakitkannya proses menunggu bagi para keluarga korban.
Dalam kacamata hukum, keluarga berhak atas informasi yang benar, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai proses pencarian dan identifikasi. Posko-posko pengaduan seperti yang dibuat KontraS untuk mengadvokasi korban penghilangan paksa dan orang hilang menjadi ruang alternatif ketika keluarga merasa tidak mendapatkan kanal resmi yang cukup responsif atau terbuka.
Kasus di Tangerang—ayah yang dinyatakan meninggal, lalu terbantahkan oleh hasil DNA—menunjukkan perlunya standar komunikasi yang lebih tegas antara aparat dan keluarga. Di satu sisi, aparat sering berada di bawah tekanan publik untuk segera memberi kepastian. Di sisi lain, kesalahan informasi sekecil apa pun dapat membebani keluarga secara psikologis dan memunculkan ketidakpercayaan terhadap institusi penegak hukum.
Pakar forensik dan hak asasi manusia menekankan pentingnya penggunaan istilah yang tepat: membedakan dengan jelas antara status “diduga”, “kemungkinan besar”, dan “sudah teridentifikasi berdasarkan tes DNA”. Kejelasan ini, meski tampak teknis, dapat mengurangi potensi konflik di kemudian hari, termasuk laporan balik keluarga ke polisi ketika hasil laboratorium tidak sesuai dengan pernyataan awal aparat di lapangan.
Laporan warga Tangerang ke polisi setelah tes DNA tidak identik dengan jenazah yang disebut sebagai ayahnya adalah refleksi dari kebutuhan akan sistem yang lebih akurat dan akuntabel. Di era ketika teknologi DNA sudah sangat maju dan terakreditasi secara internasional, kesalahan bukan lagi terletak pada sains, melainkan pada bagaimana prosedur diterapkan dan bagaimana informasi dikomunikasikan kepada publik.
Dengan jumlah laporan orang hilang yang mencapai ribuan di seluruh Indonesia setiap tahunnya, memastikan integritas proses identifikasi jenazah bukan sekadar soal teknis forensik. Ini adalah persoalan hak asasi, kepercayaan publik, dan keadaban negara dalam memperlakukan warganya—baik yang masih hidup maupun yang sudah pergi, dan keluarga yang masih menunggu di antara keduanya.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.