Perlombaan menuju Bulan memasuki babak baru. Setelah Amerika Serikat melalui NASA mengumumkan ambisi membangun reaktor nuklir di permukaan Bulan sebelum 2030, Rusia kini secara terbuka memaparkan rencana membangun pembangkit listrik nuklir di Bulan dalam kurun satu dekade ke depan. Proyek ini tidak hanya menjadi simbol kembalinya ambisi kosmik Moskow, tetapi juga menandai eskalasi kompetisi teknologi tinggi antara kekuatan ruang angkasa utama dunia.
Kepala badan antariksa Rusia Roscosmos, Yuri Borisov, pada 2024 menyatakan bahwa Rusia dan Tiongkok “secara serius mempertimbangkan” proyek pemasangan unit tenaga nuklir di permukaan Bulan sekitar periode 2033–2035. Pernyataan itu kemudian ditegaskan lagi dalam dokumen Roscosmos yang merinci target pembangunan pembangkit listrik Bulan yang berfungsi penuh paling lambat 2036, dengan melibatkan Rosatom dan Institut Kurchatov sebagai mitra teknologi utama.
Menurut Borisov, reaktor itu akan menjadi sumber daya utama bagi International Lunar Research Station (ILRS), proyek stasiun riset Bulan yang dikembangkan bersama Tiongkok dan sejumlah mitra lain sebagai tandingan program Artemis milik AS. Roscosmos menyebut fasilitas tersebut sebagai langkah penting menuju stasiun ilmiah Bulan yang beroperasi permanen, menggantikan pola misi sekali jalan yang selama ini mendominasi eksplorasi satelit alami Bumi.
Di sisi lain, NASA bersama Departemen Energi AS sudah lebih dulu merintis program Fission Surface Power yang menargetkan pembangunan reaktor fisi kompak berkekuatan sekitar 40–100 kilowatt listrik di Bulan menjelang awal dekade 2030-an. Sistem tenaga ini dirancang untuk menopang permukiman jangka panjang dan operasi sains di permukaan Bulan, termasuk selama malam Bulan yang berlangsung sekitar 14 hari dan membuat panel surya praktis “mati total”.
Pada 2025, pejabat AS menegaskan kembali bahwa Washington berambisi mengoperasikan reaktor Bulan pada tahun fiskal 2030, sebagai bagian dari strategi mempercepat keberadaan permanen di Bulan dan misi Mars di masa depan. Di atas kertas, tenggat ini menempatkan NASA selangkah di depan rencana Rusia–Tiongkok yang membidik jangka waktu 2033–2036.
Di balik headline yang dramatis, kebutuhan energi adalah faktor paling rasional. Panel surya, yang selama ini menjadi tulang punggung listrik satelit dan stasiun luar angkasa, menghadapi keterbatasan berat di Bulan. Malam Bulan yang panjang, debu halus yang mudah menutupi permukaan panel, dan kebutuhan daya yang stabil untuk habitat, komunikasi, serta proses industri membuat solusi surya murni dinilai tidak memadai untuk basis permanen skala besar.
Reaktor fisi menawarkan suplai daya konstan terlepas dari siklus siang-malam. Dalam rancangan NASA, sistem fission surface power 40 kW diproyeksikan mampu menyediakan listrik cukup untuk habitat kecil, kendaraan eksplorasi, dan sistem pendukung kehidupan. Di skala yang lebih besar, reaktor ratusan kilowatt atau bahkan megawatt bisa membuka jalan bagi produksi bahan bakar roket dari es air Bulan, pemurnian logam, hingga manufaktur in-situ yang menjadi fondasi ekonomi Bulan masa depan.
Rusia bukan pendatang baru dalam teknologi nuklir. Negeri itu mengoperasikan BN‑800, reaktor cepat berpendingin natrium dengan kapasitas listrik sekitar 789 MW, salah satu contoh reaktor generasi lanjut yang diapresiasi kalangan insinyur nuklir. Di ranah antariksa, Moskow juga mengembangkan konsep “tug” bertenaga nuklir listrik (proyek TEM/Zeus) untuk mengangkut kargo besar antar orbit di Tata Surya, dengan target uji coba orbit tak lebih cepat dari 2030.
Borisov menyebut bahwa teknologi utama untuk reaktor Bulan “hampir siap”, meski salah satu tantangan kunci—sistem pendinginan—belum sepenuhnya terpecahkan. Ia menegaskan bahwa pemasangan reaktor di Bulan harus dilakukan secara otomatis, tanpa kehadiran manusia di lokasi, menggunakan robot dan wahana kargo bertenaga nuklir. Jika berhasil, hal ini akan menjadi demonstrasi spektakuler dari kombinasi teknologi nuklir dan robotik jarak jauh.
Rencana reaktor Bulan Rusia tidak bisa dilepaskan dari peta geopolitik luar angkasa. ILRS yang dipimpin Tiongkok dan didukung Rusia digadang sebagai alternatif bagi negara-negara yang tidak bergabung dalam Artemis Accords, kerangka kerja yang digagas AS dan kini didukung lebih dari 50 negara. ILRS menargetkan basis ilmiah di kawasan kutub selatan Bulan sekitar 2035, dengan reaktor nuklir sebagai tulang punggung pasokan energi jangka panjang.
Menurut laporan media Tiongkok, pejabat program Bulan negeri itu telah mempresentasikan rencana pembangkit nuklir otomatis di Bulan yang dibangun bersama Rusia untuk menyuplai ILRS pada 2035. Di saat yang sama, NASA berupaya mendaratkan kembali astronaut di Bulan lewat misi Artemis III yang, dalam skenario resmi, ditargetkan paling cepat pertengahan dekade ini.
Meski potensinya besar, penggunaan tenaga nuklir di Bulan menyisakan sederet pertanyaan. Traktat Luar Angkasa 1967 melarang penempatan senjata nuklir di orbit atau benda langit, tetapi tidak melarang eksploitasi energi nuklir untuk keperluan damai seperti pembangkit listrik. Meski begitu, batas antara “sipil” dan “militer” kerap kabur, terutama jika infrastruktur tenaga bisa sekaligus mendukung radar, komunikasi strategis, atau operasi pertahanan.
Isu keselamatan juga tak kalah penting. Badan-badan seperti IAEA dan komunitas ilmiah internasional mendorong agar reaktor luar angkasa memenuhi standar keselamatan tinggi, mulai dari peluncuran, pembuangan panas, hingga skenario kegagalan. Kecelakaan saat peluncuran roket yang membawa bahan bakar nuklir, misalnya, bisa menimbulkan dampak politik dan lingkungan yang luas di Bumi, meski risiko teknisnya dapat direduksi dengan desain bahan bakar yang sangat kokoh.
Di balik persaingan simbolik “siapa duluan” membangun reaktor di Bulan, baik AS maupun Rusia–Tiongkok tampak membidik tujuan yang sama: menjadikan Bulan bukan lagi sekadar tujuan misi demonstratif, melainkan infrastruktur permanen yang menopang sains, industri, dan pada akhirnya ekonomi luar angkasa yang berkelanjutan.
Ketersediaan listrik andal dalam skala besar menjadi prasyarat semua itu. Tanpa energi, mimpi menambang es untuk diubah menjadi bahan bakar roket, mencetak komponen logam dengan printer 3D dari regolit, hingga membangun observatorium radio raksasa di sisi jauh Bulan akan tinggal konsep di atas kertas.
Rusia, yang tertinggal setelah kegagalan misi Luna‑25 dan sanksi internasional, melihat reaktor Bulan sebagai kesempatan untuk kembali menunjukkan keunggulannya di bidang nuklir dan antariksa. NASA, yang dikejar target politik dan strategis, berusaha memastikan bahwa bendera AS—dan mitra Artemis—tetap berkibar di garis depan teknologi kunci ini.
Apakah reaktor pertama yang menyala di Bulan akan berlogo Roscosmos, NASA, atau justru proyek lain, masih jauh dari pasti. Namun arah besarnya sudah jelas: energi nuklir bersiap menjadi kartu truf baru dalam perlombaan antariksa abad ke‑21. Dan Bulan, sekali lagi, menjadi panggung utama persaingan—sekaligus kolaborasi—para raksasa teknologi dunia.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.