Di tengah arus urbanisasi dan ledakan jumlah kendaraan, China kembali mencuri perhatian dengan inovasi terbaru di bidang rekayasa lalu lintas: robot polisi lalu lintas yang bertugas langsung di jalan raya. Dari kota wisata bersejarah seperti Wuzhen hingga pusat teknologi seperti Hangzhou dan metropoli Chengdu, “robot polantas” mulai membantu mengatur arus kendaraan, memantau pelanggaran, hingga menegur pengguna jalan secara otomatis melalui pengeras suara.
Image Illustration. Photo by Joshua Tsu on Unsplash
Awal November 2025, publik dibuat penasaran ketika sebuah robot setinggi sekitar 1,8 meter berdiri tegak di persimpangan di Wuzhen, kota kanal bersejarah di Provinsi Zhejiang. Robot tersebut mengenakan seragam layaknya polisi lalu lintas dan melakukan berbagai gestur isyarat tangan, tersinkron dengan lampu lalu lintas untuk mengatur arus kendaraan dan pejalan kaki. Robot ini dikembangkan untuk meniru gerakan komando lalu lintas secara penuh dan bekerja terintegrasi dengan sistem manajemen lalu lintas cerdas kota. Di Wuzhen, yang menjadi tuan rumah permanen World Internet Conference, kehadiran robot ini menjadi simbol konkret dari dorongan besar China mengadopsi kecerdasan buatan di ruang publik.
Robot ini terhubung ke sistem lampu lalu lintas, sehingga dapat menyesuaikan gerakan tangan dengan fase lampu merah, kuning, dan hijau. Kamera dan sensornya memungkinkan robot mengenali posisi kendaraan dan pejalan kaki, termasuk ketika ada yang melampaui garis henti beberapa puluh sentimeter saja. Sistem akan segera mengeluarkan peringatan suara, pengalaman yang diakui sebagian warga membuat mereka secara naluriah berhenti tepat di belakang garis dan lebih disiplin.
Di Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, pendekatannya lebih luas lagi. Kota ini menggelar beberapa tipe “robocop” — robot berkaki empat, beroda, dan humanoid — yang berpatroli di ruang publik sekaligus membantu pengaturan lalu lintas. Robot humanoidnya bahkan berdiri di tepi jalan dan melambaikan tangan untuk mengarahkan kendaraan dan mengingatkan pejalan kaki akan keselamatan. Robot-robot ini dibekali navigasi otonomos, penghindar rintangan, transmisi audio-video real time, serta komunikasi jarak jauh untuk mengirim peringatan ke pusat komando atau petugas manusia terdekat.
Pertanyaannya: seberapa efektif teknologi seperti ini dalam meningkatkan keselamatan jalan raya? Sejumlah data menunjukkan arah yang menjanjikan. Secara nasional, Kementerian Keamanan Publik China mencatat bahwa pada 2023 terjadi 436 kecelakaan lalu lintas besar yang masing-masing menewaskan tiga orang atau lebih — turun 12 persen dibandingkan 2019, meskipun dalam periode yang sama jumlah kendaraan melonjak 36 persen menjadi 440 juta unit dan jumlah pengemudi naik 27 persen menjadi 530 juta orang. Tren ini berlanjut sepanjang periode Rencana Lima Tahun ke‑14 (2021–2025), dengan penurunan 34 persen insiden kecelakaan besar dibanding periode 2016–2020, menurut pejabat senior kementerian.
Meski penurunan angka kecelakaan dipengaruhi banyak faktor — dari penegakan hukum hingga perbaikan infrastruktur — riset akademik memberi gambaran bahwa otomatisasi penegakan aturan dapat berperan signifikan. Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Management Science menganalisis penggunaan kamera penegakan lalu lintas berbasis AI di sebuah kota besar di China dan memperkirakan bahwa penerapan secara luas dapat mencegah sekitar 1.190 kecelakaan serta 496 korban luka atau jiwa per tahun, tanpa memindahkan risiko ke persimpangan lain di sekitarnya. Riset ini tidak meneliti robot polantas secara spesifik, tetapi menegaskan bahwa penegakan berbasis AI, termasuk peringatan langsung dan rekaman terus‑menerus, mampu mengubah perilaku berkendara dan meningkatkan keselamatan.
Polisi lalu lintas di kota ini juga memanfaatkan drone untuk memantau jalan layang dan menangani insiden lebih cepat. Sejak awal tahun, drone telah membantu lebih dari 6.200 penanganan kecelakaan dan mogok, memangkas rata‑rata waktu evakuasi kendaraan setelah kecelakaan dari 10 menit menjadi hanya empat menit di ruas‑ruas yang dipatroli. Di tingkat nasional, otoritas keamanan publik menyatakan telah melakukan pemrosesan video untuk kecelakaan kecil di 250 kota, menangani lebih dari 4,8 juta kasus dan secara signifikan mengurangi waktu tunggu di lokasi serta risiko kecelakaan lanjutan. Langkah‑langkah ini dipadukan dengan reformasi regulasi dan standar teknis untuk memperkuat keselamatan.
Bagi kepolisian di kota‑kota padat, robot polantas menawarkan dua keuntungan utama: efisiensi dan keselamatan kerja. Di Chengdu, pihak kepolisian menyatakan bahwa robot patuh bertugas bahkan saat suhu udara menembus 40 derajat Celcius atau di tengah hujan, membawa peralatan hingga 20 kilogram, dan beroperasi nyaris 24 jam dengan kembali sendiri ke stasiun pengisian daya ketika baterai menipis. Robot juga dapat dikirim ke area berisiko tinggi — seperti lokasi konflik kecil atau titik kemacetan berat — untuk mengurangi paparan langsung petugas manusia.
Namun, kehadiran robot bukan tanpa pertanyaan. Sejumlah pakar etika teknologi menyoroti isu privasi terkait penggunaan kamera beresolusi tinggi di ruang publik yang terhubung dengan sistem pengenalan pola perilaku, serta kemungkinan bias algoritmik dalam mendeteksi pelanggaran. Tantangan lain adalah penerimaan sosial: seberapa jauh masyarakat bersedia berinteraksi dan mematuhi instruksi dari mesin, bukan manusia, terutama dalam situasi konflik atau keadaan darurat yang membutuhkan empati dan diskresi.
Di satu sisi, langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya mendorong inovasi, tetapi juga berupaya memastikan penerapan teknologi — termasuk robot lalu lintas — berjalan dalam koridor keselamatan dan akuntabilitas yang jelas. Di sisi lain, pengetatan regulasi ini menjadi pengingat bahwa otomatisasi di jalan raya tidak otomatis berarti sepenuhnya otonom: tanggung jawab manusia, baik pengemudi maupun perancang sistem, tetap berada di garis depan.
Bagi negara‑negara berkembang dengan tingkat urbanisasi tinggi dan masalah kemacetan kronis, seperti Indonesia, eksperimen robot polantas di China menawarkan sejumlah pelajaran. Pertama, teknologi semacam ini paling efektif jika diposisikan sebagai bagian dari sistem manajemen lalu lintas terpadu — terhubung dengan lampu lalu lintas cerdas, pusat komando, dan basis data pelanggaran — bukan sebagai atraksi tunggal di persimpangan tertentu.
Ketiga, faktor kepercayaan publik menjadi krusial. Di Wuzhen dan Hangzhou, banyak warga mengaku refleks lebih patuh ketika melihat sosok robot yang berdiri di jalan, terlebih saat mereka merasakan langsung peringatan yang tegas namun netral. Bagi kota‑kota lain, termasuk di Asia Tenggara, kunci keberhasilan mungkin bukan semata kecanggihan teknis, melainkan bagaimana teknologi itu dikomunikasikan dan diintegrasikan dengan budaya berlalu lintas setempat.
Dari Wuzhen hingga Chengdu, keberadaan robot polantas di China menyiratkan transformasi mendalam dalam cara kota‑kota mengelola ruang jalan. Mesin kini bukan hanya sekadar alat bantu di balik layar, melainkan aktor yang hadir langsung di hadapan pengguna jalan, memberi isyarat, merekam perilaku, dan menegur pelanggaran secara real time.
Namun, masa depan penegakan lalu lintas tampaknya bukan cerita tentang manusia yang digantikan sepenuhnya oleh robot. Justru, pola yang tampak di China adalah kolaborasi: robot dan sistem AI menangani tugas‑tugas berulang, berbahaya, dan berbasis data besar; sementara polisi manusia tetap memegang peran dalam penilaian situasional, mediasi konflik, dan penegakan hukum substantif. Bagi banyak kota yang tengah mencari cara keluar dari kemacetan dan tingginya angka kecelakaan, eksperimen “robot polantas” China menjadi laboratorium hidup yang patut diamati — dengan segala potensi, keterbatasan, dan konsekuensi sosialnya.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.