Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump kembali memperluas larangan masuk bagi warga negara asing. Melalui sebuah proklamasi presiden, Gedung Putih menambahkan dan memfinalisasi daftar delapan negara yang warganya dikenai pembatasan ketat untuk memperoleh visa dan memasuki wilayah AS. Kebijakan yang kerap disebut sebagai “travel ban” ini memicu perdebatan sengit di dalam negeri maupun komunitas internasional—mulai dari isu keamanan nasional hingga tudingan diskriminasi berbasis agama dan kewarganegaraan.
Image Illustration. Photo by Markus Winkler on Unsplash
Daftar terbaru kebijakan ini secara eksplisit menyebut delapan negara yang warganya akan menghadapi penolakan visa atau pembatasan masuk ke AS, yakni Chad, Iran, Libya, Korea Utara, Somalia, Suriah, Venezuela, dan Yaman. Menurut penjelasan resmi pemerintah AS, delapan negara ini dinilai gagal memenuhi standar minimum keamanan dokumen dan berbagi informasi intelijen yang ditetapkan Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS).
Negara-negara yang terkena dampak adalah:
Chad
Iran
Libya
Korea Utara
Somalia
Suriah
Venezuela (terbatas pada pejabat pemerintah dan keluarga inti)
Yaman
Larangan perjalanan ini tidak muncul dari ruang hampa. Kebijakan berawal dari Executive Order 13780 yang ditandatangani Trump pada 6 Maret 2017. Perintah eksekutif tersebut—revisi dari larangan perjalanan pertama—sementara menghentikan penerbitan visa dan masuknya warga dari enam negara mayoritas Muslim, serta menangguhkan program pengungsi selama 120 hari.
Saat masa berlaku awal berakhir, Gedung Putih menggantinya dengan Presidential Proclamation 9645 pada 24 September 2017. Dokumen ini tidak lagi bersifat sementara, melainkan memberlakukan pembatasan jangka panjang dan menyesuaikan daftar negara menjadi delapan, termasuk menambahkan Chad, Korea Utara, dan Venezuela, serta mengeluarkan Sudan dari daftar.
Ringkasnya, pola utama pembatasan dapat digambarkan sebagai berikut:
Korea Utara dan Suriah: larangan penuh bagi imigran dan nonimigran.
Chad, Libya, Yaman: pelarangan imigran dan visa bisnis/turisme (B-1/B-2) dalam berbagai kombinasi.
Somalia: pelarangan imigran; pengunjung nonimigran dikenai pemeriksaan tambahan.
Iran: pelarangan imigran dan sebagian besar nonimigran, kecuali visa pelajar dan pertukaran yang masih diizinkan dengan vetting ketat.
Venezuela: pembatasan hanya menyasar pejabat pemerintah tertentu dan keluarga inti mereka, khususnya untuk visa bisnis dan turis.
Trump berargumen bahwa memberikan status imigran—yang berarti hak tinggal permanen—pada warga dari negara dengan data keamanan yang lemah akan menimbulkan risiko lebih besar dan mahal untuk dikoreksi jika terjadi kesalahan. Ia menegaskan, tujuan utama adalah “meningkatkan kemampuan vetting” demi mencegah masuknya calon teroris atau ancaman keselamatan publik.
Secara angka, dampak kebijakan ini terasa paling besar pada komunitas dari negara mayoritas Muslim. Dalam versi pertama dan kedua travel ban, sekitar 135 juta orang dari tujuh negara terdampak larangan masuk. Dengan penyesuaian menjadi delapan negara, proklamasi terbaru tetap mempertahankan lima negara Muslim—Iran, Libya, Somalia, Suriah, dan Yaman—serta menambah Chad, Korea Utara, dan Venezuela.
Meski terdengar menyeluruh, larangan ini tidak berlaku bagi semua individu dari delapan negara tersebut. Proklamasi secara jelas menyatakan bahwa pemegang green card (penduduk tetap sah), pemilik visa yang masih berlaku pada tanggal efektif, serta mereka yang telah mendapatkan dokumen perjalanan tertentu tetap dapat masuk AS. Selain itu, ada mekanisme waiver atau pengecualian kasus per kasus, misalnya bagi individu yang membutuhkan perawatan medis mendesak, atau yang hubungannya dengan warga atau entitas AS dinilai cukup kuat.
Namun, berbagai laporan dari kelompok hak asasi dan pengacara imigrasi menyebut bahwa pemberian waiver kerap berlangsung sangat ketat dan tidak transparan. Banyak pemohon mengeluhkan standar yang tidak jelas dan waktu proses yang panjang, sementara kehidupan keluarga dan rencana studi mereka tertunda tanpa kepastian.
Pemerintah Trump menegaskan bahwa kebijakan ini murni soal keamanan, bukan agama. Penambahan negara non-Muslim seperti Korea Utara dan Venezuela dipandang oleh sebagian analis sebagai upaya memperkuat argumen bahwa larangan ini tidak mendiskriminasi Muslim. Namun, banyak kelompok hak sipil dan pengamat hukum tetap melihat kebijakan ini sebagai kelanjutan dari janji kampanye Trump tentang “Muslim ban”, dengan komposisi negara yang mayoritas berpenduduk Muslim sebagai bukti utama.
Putusan pengadilan di berbagai tingkat sempat menangguhkan dan memodifikasi pelaksanaan travel ban. Pada akhirnya, Mahkamah Agung AS mengizinkan sebagian besar ketentuan proklamasi untuk berlaku, sambil tetap membuka ruang gugatan hukum terkait motif diskriminatif dan dampak terhadap hak konstitusional para pemohon visa dan pengungsi.
Secara jangka panjang, travel ban terhadap delapan negara ini menandai pergeseran penting dalam kebijakan imigrasi AS: dari rezim yang umumnya membuka pintu bagi pengungsi dan imigran terampil, menuju pendekatan yang mengedepankan kecurigaan dan saringan keamanan yang jauh lebih ketat berdasarkan asal negara.
Bagi warga dari delapan negara, kebijakan ini berarti masa depan yang menggantung. Rencana bertemu keluarga, melanjutkan studi, atau memulai karier di Amerika kini bergantung pada mekanisme pengecualian yang rumit dan tidak selalu konsisten di lapangan. Sementara itu, di tingkat global, travel ban menjadi simbol kuat dari era baru politik imigrasi yang lebih tertutup dan selektif—sebuah tren yang jauh melampaui batas delapan negara dalam daftar larangan hari ini.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.