Di tengah gemerlap perayaan Natal di Basilika Santo Petrus, Vatikan, Paus Leo XIV menggunakan khotbah Natal perdananya pada 25 Desember 2025 untuk mengarahkan sorotan dunia pada penderitaan rakyat Gaza. Dalam pesan yang bernada tegas sekaligus kontemplatif, pemimpin Gereja Katolik pertama yang lahir di Amerika Serikat itu mengecam kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza dan menyerukan dunia untuk keluar dari “ketidakpedulian” terhadap mereka yang terjebak dalam perang, kemiskinan, dan pengungsian.
Image Illustration. Photo by Brian Pilling on Unsplash
Berbicara di hadapan puluhan ribu peziarah yang memadati Basilika dan Lapangan Santo Petrus, Paus Leo XIV menempatkan Gaza di jantung refleksi Natalnya. Dalam khotbah yang kemudian bergema kembali dalam pesan “Urbi et Orbi” di siang hari, ia menggambarkan kehidupan jutaan warga sipil Palestina yang terus terhimpit pasca dua tahun operasi militer Israel sebagai “luka terbuka pada hati kemanusiaan”. Ia menautkan kisah kelahiran Yesus dalam palungan yang sederhana dengan keluarga-keluarga yang kini hidup di tenda, reruntuhan bangunan, atau kamp pengungsian di Gaza.
Dalam pesannya, Paus menegaskan bahwa penderitaan di Gaza tidak bisa dipandang sebagai konflik jauh yang abstrak, melainkan sebagai ujian konkret bagi nurani global. Ia menyebut nama Gaza sejajar dengan zona konflik lain seperti Ukraina, Sudan, Myanmar dan berbagai wilayah Afrika dan Amerika Latin, menandai kesinambungan garis besar kepausannya yang berfokus pada korban perang, migran, dan kaum miskin sebagaimana terlihat pula dalam khotbah Malam Natal yang menekankan bahwa menolak orang miskin berarti menolak Tuhan sendiri.
Seruan Paus Leo XIV datang di tengah situasi kemanusiaan Gaza yang terus memburuk lebih dari dua tahun setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 dan operasi militer balasan Israel. Menurut data Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) yang mengutip Kementerian Kesehatan Gaza, antara 7 Oktober 2023 hingga 23 Juli 2025, sedikitnya 59.219 warga Palestina telah tewas dan 143.045 orang terluka. Proporsi signifikan dari korban adalah perempuan dan anak-anak, menggambarkan dampak luas kekerasan terhadap populasi sipil.
Di sisi lain, serangan Hamas dan kelompok bersenjata lain pada 7 Oktober 2023 menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel dan lebih dari 250 orang dijadikan sandera, memicu eskalasi perang berkepanjangan yang kini telah mengubah jalur sempit Gaza menjadi salah satu kawasan paling hancur di dunia modern.
PBB menyebut bahwa konflik ini telah menimbulkan risiko “kehancuran yang tidak dapat diperbaiki” terhadap hak hidup dan martabat warga sipil Palestina, dan memperingatkan adanya risiko nyata genosida jika kekerasan dan blokade berkepanjangan terus berlangsung tanpa akuntabilitas maupun solusi politik yang kredibel.
Selain korban jiwa, Gaza kini juga menghadapi kerusakan fisik masif yang membuat jutaan warga hidup dalam kondisi yang nyaris mustahil. Laporan bersama Bank Dunia dan PBB pada awal 2024 memperkirakan kerusakan infrastruktur penting di Gaza mencapai sekitar 18,5 miliar dolar AS hingga akhir Januari 2024—setara dengan 97 persen gabungan PDB Tepi Barat dan Gaza pada 2022.
Lebih dari 70 persen nilai kerusakan itu menimpa sektor perumahan, sementara sisanya menggerus infrastruktur layanan publik seperti air, kesehatan, pendidikan, serta bangunan komersial dan industri. Sistem air dan sanitasi dilaporkan hanya berfungsi kurang dari 5 persen kapasitas semula, memaksa warga bergantung pada jatah air yang sangat terbatas untuk bertahan hidup.
Sementara itu, penilaian kerusakan yang lebih mutakhir menunjukkan skala kehancuran yang mengejutkan pada sektor permukiman. Menurut data yang dikutip PBB dari kajian Bank Dunia 2025, sekitar 292.000 unit rumah di Gaza hancur—mencapai hampir 62 persen dari total stok perumahan. Tumpukan puing diperkirakan mencapai 41 hingga 47 juta ton, menghadirkan pekerjaan rekonstruksi bertahun-tahun, bahkan jika konflik benar-benar berhenti hari ini.
Kerusakan fisik itu berkelindan dengan krisis pangan, kesehatan, dan pendidikan yang teramat parah. Laporan awal PBB dan Bank Dunia menyebut bahwa lebih dari setengah penduduk Gaza berada di ambang kelaparan dan seluruh populasi mengalami kerawanan pangan akut. Sekitar 75 persen penduduk terusir dari rumah mereka, banyak yang telah beberapa kali berpindah tempat.
Kementerian Kesehatan Gaza dan lembaga-lembaga PBB juga memperingatkan peningkatan tajam kasus kematian akibat kelaparan dan komplikasi malnutrisi, sementara lebih dari 80 persen fasilitas kesehatan dilaporkan rusak atau hancur. Layanan pendidikan praktis kolaps; ratusan sekolah rusak atau digunakan sebagai tempat penampungan pengungsi, membuat anak-anak terputus dari pendidikan selama lebih dari satu tahun akademik.
Dalam pesan Natalnya, Paus Leo XIV tidak hanya berhenti pada deskripsi penderitaan, tetapi juga menyentuh akar politik konflik. Ia menegaskan kembali keyakinan Tahta Suci bahwa pembentukan negara Palestina yang layak merupakan satu-satunya jalan realistis menuju perdamaian berkelanjutan di kawasan. Dengan bahasa yang hati-hati namun jelas, ia mengaitkan martabat rakyat Palestina, keamanan warga Israel, dan tanggung jawab komunitas internasional dalam satu kerangka keadilan yang tak terpisahkan.
Nada ini sejalan dengan tradisi panjang diplomasi Vatikan yang mengusung solusi dua negara dan menolak kekerasan dari semua pihak. Namun, dalam konteks kehancuran luar biasa di Gaza, penekanan Paus Leo XIV pada urgensi politik terdengar lebih mendesak. Ia menyebut bahwa selama struktur ketidakadilan tetap berdiri—termasuk blokade, ekspansi permukiman, dan impunitas atas pelanggaran hukum humaniter internasional—damai hanya akan menjadi slogan yang hampa.
Pesan Natal dari tahta Santo Petrus secara tradisional menjadi salah satu mimbar moral paling berpengaruh di dunia. Ketika Paus Leo XIV memilih untuk menyebut Gaza, beserta berbagai zona konflik lain, di hadapan jutaan pemirsa global, ia menempatkan isu tersebut di pusat percakapan moral internasional, melampaui batas-batas agama dan politik.
Bagi para diplomat dan pengamat Vatikan, fokus pada Gaza juga mencerminkan gaya kepemimpinannya: menggabungkan bahasa spiritual yang lembut dengan analisis sosial-politik yang cukup tajam. Sebagai Paus pertama yang berasal dari Amerika Serikat, Leo XIV membawa pengalaman panjang bekerja di komunitas migran dan wilayah miskin di Amerika Latin, yang tampaknya membentuk kepekaannya terhadap mereka yang terpinggirkan oleh perang, perbatasan, dan pasar kerja global, sebagaimana tercermin dalam pidato-pidato sebelumnya tentang migran dan pengangguran.
Pada akhirnya, khotbah Natal Paus Leo XIV menjadikan perayaan kelahiran Yesus bukan sekadar momen liturgis, tetapi juga cermin yang memantulkan keadaan dunia. Ketika jutaan keluarga merayakan Natal dalam kehangatan rumah, jutaan lainnya di Gaza dan wilayah konflik lain justru berada di tenda, di antara puing-puing, atau di kamp-kamp pengungsian.
Dengan menempatkan Gaza di pusat pesannya, Paus mengajukan satu pertanyaan tajam kepada komunitas internasional: apakah kita bersedia mengizinkan perang berlarut, kelaparan, dan kehancuran menyusutkan rasa kemanusiaan kita, ataukah kita siap mengubah solidaritas menjadi kebijakan nyata—dari gencatan senjata yang kredibel hingga investasi besar-besaran dalam rekonstruksi dan perdamaian yang adil.
Di tengah statistik korban yang terus bertambah, seruan moral dari Vatikan tidak akan cukup menghentikan rudal atau membangun kembali rumah yang hancur. Namun, dengan menautkan palungan Betlehem pada tenda-tenda pengungsian di Gaza, Paus Leo XIV menjadikan Natal 2025 sebagai pengingat bahwa iman—bagi umat Katolik maupun bagi masyarakat luas—akan selalu diukur dari sejauh mana dunia mau merespons jeritan mereka yang paling menderita.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.