Lapangan Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Mukhlisin di Kabupaten Aceh Tamiang kini berubah wajah. Area yang semula menjadi ruang belajar, kegiatan olahraga, dan interaksi santri, mendadak disesaki gelondongan kayu dan potongan batang berbagai ukuran. Tumpukan itu terbawa arus banjir besar yang melanda kawasan tersebut dan hingga Jumat, 12 Desember 2025, masih belum dibersihkan, menghambat aktivitas belajar 215 santri yang terdampak. Kondisi ini terdokumentasi jelas dalam laporan Kompas TV yang memperlihatkan lapangan pesantren seolah “dikepung” potongan kayu dari berbagai arah.
Image Illustration. Photo by Clevenider Petit on Unsplash
Dalam rekaman video yang beredar, hamparan kayu gelondongan menutup hampir seluruh permukaan lapangan Ponpes Darul Mukhlisin. Sejumlah bagian pondok tampak dikepung tumpukan yang diduga kuat merupakan kayu bawaan arus banjir dari kawasan hulu. Pemerintah daerah hingga kini belum memiliki solusi teknis dan pendanaan yang jelas untuk mengangkat dan memindahkan material kayu dalam skala besar itu, sebagaimana disampaikan dalam laporan jurnalis di lokasi.
Akibatnya, sebanyak 215 santri yang sehari-hari menempuh pendidikan di ponpes ini masih belum dapat kembali bersekolah secara normal karena area kegiatan dan akses mereka tertutup kayu. Kondisi ini menambah deret panjang dampak sosial dari bencana banjir di Aceh Tamiang, yang selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah dengan risiko banjir tinggi di sepanjang aliran Sungai Tamiang.
Kabupaten Aceh Tamiang berada di wilayah timur Aceh dan dialiri Sungai Tamiang, salah satu sungai penting di bagian utara Sumatra. Sungai ini mengalir di kawasan beriklim hutan hujan tropis dengan curah hujan tahunan rata-rata sekitar 3.483 milimeter, menjadikan wilayah alirannya sangat rentan terhadap banjir ketika terjadi hujan lebat berkepanjangan. Data iklim tersebut dikonfirmasi oleh kajian klimatologi pada kawasan Sungai Tamiang yang dirangkum oleh NASA Earth Observations.
Dalam kondisi normal, debit Sungai Tamiang dan anak-anak sungainya dapat ditahan oleh tutupan hutan di hulu. Namun studi dan laporan jangka panjang menunjukkan bahwa kerusakan hutan di kawasan ini telah mengubah karakter aliran sungai: debit air menjadi cepat naik saat hujan deras, namun dangkal di musim kemarau, sebuah pola klasik daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami degradasi tutupan lahan.
Secara nasional, pemerintah pusat menyatakan bahwa laju deforestasi menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni melaporkan di DPR bahwa deforestasi nasional turun dari 216.216 hektare pada 2024 menjadi 166.450 hektare per September 2025, atau menyusut sekitar 23 persen. Untuk Aceh sendiri, laju deforestasi disebut turun sekitar 10,04 persen, dari 11.228 hektare menjadi 10.100 hektare pada periode 2023–2024 ke 2024–September 2025.
Namun penurunan laju deforestasi tidak berarti tekanan terhadap hutan berhenti. Data Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan bahwa sepanjang 2023 Aceh masih kehilangan sekitar 8.906 hektare tutupan hutan, dengan sekitar 4.502 hektare di antaranya berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser, salah satu benteng terakhir hutan hujan tropis Sumatra. Laporan HAkA tersebut juga menyebutkan bahwa luas tutupan hutan tersisa di Aceh pada 2023 diperkirakan sekitar 2,94 juta hektare.
Di tingkat provinsi, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh mencatat bahwa luas kawasan hutan dan perairan Aceh sekitar 3,55 juta hektare, terdiri dari satu juta hektare hutan konservasi, 1,7 juta hektare hutan lindung, dan 710 ribu hektare hutan produksi. Angka deforestasi hutan alam Aceh pada 2021–2022 mencapai sekitar 5.300 hektare, dengan 2.800 hektare terjadi di dalam kawasan hutan dan 2.500 hektare di luar kawasan. Data ini dipaparkan DLHK Aceh sebagai bagian dari upaya menekan kehilangan tutupan hutan yang terus berlangsung.
Fenomena lapangan Ponpes Darul Mukhlisin yang “dikepung” potongan kayu tidak berdiri sendiri. Dalam banyak kasus banjir bandang di Sumatra, tumpukan kayu yang terseret arus kerap menjadi indikator adanya aktivitas pembalakan, legal maupun ilegal, di kawasan hulu. Ketika vegetasi penahan runtuhnya tanah dan kayu di lereng bukit berkurang, hujan deras mengubah lereng menjadi jalur aliran air bercampur material kayu yang kemudian mengarah ke badan sungai dan permukiman.
Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh dalam publikasi analitis terbarunya menegaskan bahwa dalam dua dekade terakhir, deforestasi di provinsi ini berkorelasi dengan meningkatnya frekuensi bencana seperti banjir, longsor, dan kekeringan, sekaligus memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah rawan. Laporan berjudul “Dua Dekade Deforestasi di Aceh: Dari Hilangnya Hutan hingga Menurunnya Kesejahteraan” menyoroti bagaimana hilangnya hutan mengikis fungsi benteng alami terhadap bencana.
Aceh Tamiang sendiri pernah disorot lembaga konservasi dan media nasional sebagai wilayah yang berada “di ambang bencana” akibat rusaknya hutan di hulu. Laporan National Geographic Indonesia menggambarkan bagaimana pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertambangan telah mengubah lanskap kawasan ini dan berkontribusi pada terbentuknya danau-danau baru serta perubahan drastis debit sungai, dari kedalaman normal 1–3 meter menjadi hanya 20–50 sentimeter, namun mudah meluap ketika hujan satu hingga dua jam saja. Laporan itu juga mencatat bahwa antara 1980 hingga 2008, Aceh kehilangan sekitar 914.422 hektare hutan dari total luas hutan 5,67 juta hektare.
Di tingkat provinsi, DLHK Aceh menyebut telah menerapkan sembilan langkah untuk mencegah deforestasi, termasuk penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), peningkatan patroli, pemantauan tutupan hutan, serta kolaborasi dengan aparat penegak hukum untuk menindak pembalakan liar. Upaya ini diklaim ditujukan untuk menahan laju kerusakan hutan yang selama ini terus terjadi di berbagai wilayah Aceh.
Sementara itu, di tingkat nasional, pemerintah menegaskan komitmen menjaga kawasan hutan kunci di Aceh sebagai bagian dari target iklim FOLU Net Sink 2030. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dalam siaran pers resmi, menyebut lebih dari 95 persen dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil—seluas lebih dari 82 ribu hektare di dalam lanskap Ekosistem Leuser yang mencapai 2,6 juta hektare—masih dalam kondisi utuh. Kawasan ini dianggap penting sebagai penyangga ekologis dan cadangan karbon strategis di Aceh.
Kasus Ponpes Darul Mukhlisin menyoroti dimensi lain dari krisis lingkungan: dampaknya terhadap lembaga pendidikan berbasis komunitas yang sering kali menjadi tulang punggung kehidupan sosial di daerah. Dengan 215 santri yang terpaksa menghentikan atau mengurangi kegiatan belajar akibat lapangan dan akses yang tertutup kayu, bencana ini bukan hanya soal infrastruktur rusak, tetapi juga terganggunya hak atas pendidikan dan rasa aman.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban berulang bencana banjir berisiko mengalami gangguan psikologis, penurunan prestasi akademik, dan putus sekolah jika pemulihan fisik dan sosial tidak dilakukan secara simultan. Dalam konteks pesantren, yang kerap berlokasi dekat sungai atau lahan pertanian, tren peningkatan frekuensi banjir akibat perubahan tutupan lahan di hulu menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan ekosistem pendidikan berbasis madrasah dan ponpes di pedesaan.
Penampakan lapangan Ponpes Darul Mukhlisin yang “dikepung” potongan kayu pascabanjir adalah peringatan keras bahwa persoalan Aceh Tamiang tidak berhenti pada penanganan darurat dan pembersihan material. Selama kawasan hulu masih mengalami tekanan pembukaan lahan, baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kegiatan ilegal, pesantren, sekolah, dan permukiman di hilir akan terus berada di garis bahaya setiap musim hujan.
Rehabilitasi daerah aliran sungai, penegakan hukum terhadap pembalakan liar, penataan ruang yang konsisten, serta dukungan nyata kepada lembaga pendidikan terdampak menjadi rangkaian kebijakan yang tak bisa lagi ditunda. Banjir yang membawa gelondongan kayu hingga ke halaman pesantren di Aceh Tamiang adalah gambaran kasatmata bagaimana keputusan tata kelola hutan di hulu berujung langsung pada ruang hidup dan ruang belajar anak-anak di hilir.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.