Ketegangan antara Rusia dan negara-negara Eropa memasuki babak baru ketika Moskow menuduh sejumlah pemimpin Eropa secara aktif berupaya menggagalkan hubungan potensial antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump di masa depan. Dalam beberapa pidato publik terbaru, Putin menuduh para pemimpin Eropa sebagai pihak yang menghalangi setiap peluang rekonsiliasi strategis dengan Washington, seraya menyebut mereka sebagai “babi kecil” atau “swine” yang bergantung pada dukungan Amerika Serikat.
Pernyataan itu muncul dalam konteks perang Rusia-Ukraina yang memasuki tahun keempat dan lonjakan belanja pertahanan di Eropa serta NATO. Banyak analis menilai tudingan Kremlin ini sebagai bagian dari perang narasi yang lebih luas: menekan Eropa, menggoda Trump, dan menguji soliditas aliansi Barat.
Dalam pertemuan dengan pejabat pertahanan di Moskow pada Desember 2025, Putin kembali melontarkan kritik keras terhadap para pemimpin Eropa yang menurutnya menjadi motor utama dukungan terhadap Ukraina dan sanksi terhadap Rusia. Dalam pidato tersebut, ia menyebut sebagian pemimpin Eropa sebagai “swine” dan memprediksi bahwa mereka akan kehilangan kekuasaan seiring berlanjutnya konflik serta tekanan ekonomi di dalam negeri. Laporan mengenai pidato ini pertama kali disorot oleh Financial Times, yang mencatat bahwa Putin secara eksplisit mengisyaratkan dirinya lebih terbuka terhadap upaya mediasi dari Donald Trump ketimbang pemimpin Eropa mana pun.
Dalam narasi Kremlin, Eropa digambarkan sebagai aktor yang bukan hanya memperpanjang perang melalui pasokan senjata ke Ukraina, tetapi juga sebagai pihak yang “membajak” hubungan strategis antara Moskow dan Washington dengan mendesak kebijakan sanksi, penguatan NATO, dan inisiatif hukum internasional terhadap pejabat Rusia. Dengan kata lain, jika hubungan Putin–Trump kembali terjalin, Moskow ingin publik melihat Eropa sebagai penghalang utamanya.
Sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, Uni Eropa telah mengadopsi lebih dari selusin paket sanksi terhadap Rusia, termasuk pembatasan energi, pembekuan aset bank sentral, dan larangan perjalanan bagi ratusan pejabat Rusia. Menurut data Komisi Eropa, blok tersebut membekukan sekitar 200 miliar euro aset bank sentral Rusia yang disimpan di lembaga-lembaga keuangan Eropa, sebagian besar di Belgia. Rencana untuk memanfaatkan aset-aset beku Rusia guna membantu pendanaan Ukraina telah menjadi salah satu isu paling kontroversial di dalam Uni Eropa, tetapi juga sinyal kuat bahwa Eropa siap mengambil langkah hukum dan finansial yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Moskow.
Bagi Kremlin, konsolidasi sanksi dan langkah politik Eropa ini dipersepsikan sebagai bukti bahwa Brussel dan ibu kota Eropa lainnya tidak sekadar mengikuti Washington, tetapi menjadi motor penggerak utama tekanan terhadap Rusia. Dalam kerangka inilah muncul tudingan bahwa Eropa tengah berusaha memastikan tidak ada “normalisasi” hubungan Rusia–AS bahkan jika peta politik di Washington berubah.
Sejak aneksasi Krimea pada 2014 dan terlebih lagi setelah invasi 2022, banyak negara Eropa menaikkan drastis anggaran militer. NATO mencatat bahwa pada 2024, total belanja militer 32 negara anggota mencapai sekitar 1.506 miliar dolar AS, atau 55 persen dari total pengeluaran militer dunia, dengan negara-negara Eropa NATO menyumbang sekitar 454 miliar dolar AS—naik hampir 16 persen dibanding 2023. Data ini dirangkum dari analisis Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) dan pernyataan resmi NATO mengenai belanja pertahanan terbaru.
Pada Juni 2025, negara-negara NATO menyepakati rencana ambisius di KTT Den Haag: menaikkan belanja pertahanan dan keamanan menjadi 5 persen PDB pada 2035, dengan sedikitnya 3,5 persen untuk kebutuhan pertahanan inti dan 1,5 persen untuk ketahanan infrastruktur dan kesiapsiagaan sipil. Kesepakatan yang dikenal sebagai The Hague Investment Plan ini praktis memproyeksikan lonjakan militerisasi Eropa selama satu dekade ke depan—sebuah tren yang oleh Moskow dilihat sebagai bentuk permusuhan jangka panjang, bukan sekadar respons atas perang di Ukraina.
NATO juga melaporkan bahwa pada 2025, semua negara anggota—kecuali Islandia yang tidak memiliki angkatan bersenjata—diperkirakan memenuhi target belanja minimal 2 persen PDB yang telah disepakati sejak KTT Wales 2014. Ini merupakan kali pertama seluruh sekutu mencapai ambang tersebut sejak target itu ditetapkan. Menurut data resmi NATO, pengeluaran pertahanan negara-negara Eropa dan Kanada diproyeksikan melampaui 607 miliar dolar AS pada 2025, naik dari 419 miliar dolar AS pada 2023. Bagi Kremlin, tren ini menegaskan bahwa Eropa tengah mengunci dirinya dalam arsitektur keamanan yang secara eksplisit didesain untuk mengimbangi, bahkan menghalangi, pengaruh Rusia di benua tersebut—termasuk potensi kerja sama strategis dengan Presiden AS mana pun, termasuk Trump.
Di sisi lain, banyak negara Eropa melihat Rusia sebagai aktor utama dalam operasi siber dan kampanye disinformasi yang menargetkan demokrasi Barat—termasuk pemilu di Eropa dan Amerika Serikat. Tuduhan intervensi Rusia dalam pemilu AS 2016 telah didokumentasikan dalam laporan komunitas intelijen dan lembaga legislatif AS, yang menyimpulkan bahwa Moskow menjalankan kampanye siber dan propaganda untuk merugikan Hillary Clinton dan menguntungkan Donald Trump. Temuan ini diabadikan dalam laporan komunitas intelijen AS Januari 2017 serta penyelidikan Komite Intelijen Senat AS yang dirilis beberapa tahun kemudian, yang sama-sama menyimpulkan bahwa Rusia melakukan operasi berlapis di media sosial, peretasan, dan kebocoran dokumen.
Di Eropa, pemerintah Jerman baru-baru ini memanggil duta besar Rusia terkait serangkaian tuduhan sabotase, serangan siber, dan upaya campur tangan dalam pemilu nasional 2025. Berlin menuding unit intelijen militer Rusia (GRU) dan kelompok peretas APT28 sebagai aktor di balik kampanye disinformasi yang disebut “Storm 1516”, yang mencakup pembuatan deepfake, berita palsu, dan testimoni fiktif untuk merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi Jerman. Rangkaian tuduhan ini dilaporkan secara luas oleh kantor berita internasional seperti Associated Press, dan mempertegas persepsi di Eropa bahwa Rusia berusaha melemahkan tatanan politik Barat dari dalam.
Dalam kalkulasi Moskow, Trump menempati posisi unik. Selama masa kepresidenannya (2017–2021), Trump kerap mengkritik NATO dan sekutu Eropa karena dianggap “menumpang gratis” pada payung keamanan AS. Ia berulang kali menekan sekutu untuk menaikkan belanja militer hingga minimal 2 persen PDB, dan bahkan menyebut kemungkinan AS tidak membela negara anggota yang tidak memenuhi target.
Ironisnya, tekanan Trump justru ikut mendorong Eropa untuk berinvestasi lebih besar dalam pertahanan. NATO mencatat bahwa pengeluaran pertahanan negara-negara sekutu melonjak tajam sejak 2014, dan khususnya setelah 2022, saat Rusia menginvasi Ukraina. Pada 2024, misalnya, Al Jazeera melaporkan bahwa negara-negara Eropa anggota NATO secara kolektif menginvestasikan sekitar 380 miliar dolar AS dalam pertahanan—untuk pertama kalinya mencapai 2 persen dari PDB gabungan mereka. Data itu merujuk pada pernyataan resmi Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg yang dikutip oleh Al Jazeera tentang belanja pertahanan 2024. Dengan kata lain, sebagian lompatan militerisasi yang kini dikecam Moskow justru merupakan konsekuensi dari kombinasi agresi Rusia dan tekanan politik dari Trump sendiri.
Sejauh ini, tidak ada bukti publik bahwa pemimpin Eropa secara langsung melakukan intervensi untuk mencegah kontak diplomatik potensial antara Putin dan Trump. Namun, kebijakan kolektif Eropa—dari sanksi keras, dukungan militer ke Ukraina, hingga lompatan belanja pertahanan—secara faktual menciptakan lingkungan strategis yang lebih keras terhadap Rusia, yang pada gilirannya dapat membatasi ruang gerak Trump jika ia berupaya menormalisasi hubungan dengan Moskow di masa depan.
Bagi banyak ibu kota Eropa, prioritas utama adalah menjaga kesatuan transatlantik dan memastikan bahwa perubahan politik di Washington tidak menggoyahkan dukungan bagi Ukraina maupun arsitektur keamanan Eropa. Dalam kerangka itu, perbedaan pandangan antara sejumlah pemimpin Eropa dan Trump—yang berkali-kali menyatakan kekaguman pribadi pada Putin dan keinginan untuk “mengakhiri perang dalam 24 jam”—menciptakan potensi ketegangan baru di dalam kubu Barat sendiri.
Tudingan Rusia bahwa Eropa sengaja merusak hubungan antara Putin dan Trump mencerminkan perang narasi yang semakin intens di tengah konflik berkepanjangan di Ukraina dan pergeseran besar dalam kebijakan keamanan Eropa. Dari perspektif Moskow, Eropa bukan lagi sekadar “ekor” Washington, melainkan arsitek utama kebijakan pengekangan terhadap Rusia, mulai dari sanksi ekonomi hingga lonjakan belanja militer dan inisiatif hukum internasional.
Namun dari sudut pandang banyak negara Eropa dan Amerika Serikat, langkah-langkah ini justru merupakan respons terhadap agresi Rusia, bukan upaya memanipulasi hubungan pribadi antara dua presiden. Di tengah meningkatnya retorika, fakta-fakta di lapangan—perang yang belum berakhir, miliaran dolar bantuan militer, serta komitmen jangka panjang untuk meningkatkan belanja pertahanan—menunjukkan bahwa apa yang sedang dipertaruhkan jauh melampaui hubungan bilateral Putin–Trump: yakni bentuk dan arah tatanan keamanan Eropa dan global dalam beberapa dekade ke depan.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.