Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, surplus dagang barang China dengan dunia melampaui ambang US$1 triliun dalam 11 bulan pertama 2025, meski telah bertahun-tahun menjadi sasaran tarif tinggi dari Amerika Serikat dan negara maju lain. Menurut data Administrasi Umum Bea Cukai China, ekspor naik sekitar 5,4–5,9 persen year-on-year pada November, sementara impor hanya tumbuh sekitar 1,9 persen, menghasilkan surplus bulanan lebih dari US$111 miliar dan mengangkat surplus kumulatif menjadi sekitar US$1,07 triliun, melampaui rekor penuh tahun 2024 sekitar US$990 miliar. Pencapaian ini menegaskan kembali posisi China sebagai “pabrik dunia” dan sekaligus mempertanyakan efektivitas strategi tarif Presiden Donald Trump yang dimaksudkan untuk menekan ekspor Negeri Tirai Bambu.
Image Illustration. Photo by Camillo Corsetti Antonini on Unsplash
Secara garis besar, surplus dagang adalah selisih antara nilai ekspor dan impor barang. Dalam kasus China, selama bertahun-tahun negara ini menikmati surplus yang besar, namun angka 2025 menandai lompatan baru. Data resmi menunjukkan surplus perdagangan barang China untuk 11 bulan pertama 2025 berada di kisaran US$1,07–1,08 triliun, naik lebih dari 20 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Angka itu sudah melampaui rekor penuh tahun 2024 yang sekitar US$992 miliar, ketika ekspor China tumbuh 5,9 persen menjadi US$3,58 triliun dan impor hanya meningkat 1,1 persen menjadi US$2,59 triliun. Dengan kata lain, ketidakseimbangan struktural antara ekspor dan impor China justru melebar, meskipun berbagai tarif dan hambatan dagang diberlakukan terhadap produk-produk China sejak putaran pertama perang dagang dengan AS beberapa tahun lalu.
Artikel di The Washington Post menyoroti bahwa kebijakan tarif, yang selama ini dijual kepada publik Amerika sebagai obat mujarab untuk mempersempit defisit dan “mengembalikan pabrik” ke Amerika, tampak gagal mengubah pola besar perdagangan global. Ekspor China ke AS memang anjlok hampir 29 persen pada November, tetapi pengiriman ke kawasan lain — mulai dari Asia Tenggara hingga Eropa — melonjak dan lebih dari cukup untuk menutup kekurangan tersebut.
Tarif AS memaksa banyak eksportir China untuk mengalihkan fokus. Data bea cukai menunjukkan ekspor ke Amerika Serikat terus merosot dua digit, sementara ekspor ke Eropa, Asia Tenggara, dan pasar berkembang lain justru meningkat tajam. Pola ini terlihat jelas dalam lonjakan pengiriman kendaraan listrik, panel surya, dan produk elektronik ke Uni Eropa dan negara-negara ASEAN, sementara sebagian barang yang dulunya langsung dikirim ke AS kini dialihkan melalui negara ketiga seperti Vietnam dan Meksiko sebelum masuk pasar Amerika.
Dalam 11 bulan pertama 2025, ekspor China diperkirakan mencapai sekitar US$3,4 triliun, sedangkan impor sedikit turun ke kisaran US$2,3 triliun. Perbedaan inilah yang mendorong surplus melampaui US$1 triliun, sebuah rekor yang oleh sebagian ekonom disebut sebagai “belum pernah terjadi dalam sejarah ekonomi modern”. Di sisi lain, beberapa laporan menunjukkan bahwa ekspor ke Uni Eropa dan Asia Tenggara tumbuh masing-masing dengan dua digit pada 2025, terutama untuk segmen kendaraan listrik, baterai, dan produk teknologi tinggi.
Para analis menilai bahwa surplus fantastis ini tidak semata-mata cerminan ekspansi perdagangan global, melainkan hasil dari keberhasilan China menguasai pangsa lebih besar dari “kue” yang relatif stagnan. “Daya saing harga China sangat kuat,” ujar seorang ekonom dari Economist Intelligence Unit di Beijing, sebagaimana dikutip The Washington Post. Menurutnya, lonjakan ekspor bukan karena perdagangan dunia tumbuh pesat, melainkan karena produsen China berhasil merebut pangsa pasar dari pesaing di negara lain.
Selama beberapa dekade, Beijing menggelontorkan subsidi, kredit murah, dan kebijakan industri agresif untuk membangun kapasitas produksi besar-besaran, mulai dari produk sederhana seperti tekstil hingga barang bernilai tambah tinggi seperti kendaraan listrik, baterai, semikonduktor, dan peralatan energi terbarukan. Pada 2024, misalnya, nilai ekspor elektronik China melampaui US$1 triliun, meneguhkan dominasinya di rantai pasok global, dari smartphone hingga perangkat jaringan. Sementara itu, ekspor mobil — terutama kendaraan listrik — menembus sekitar 6,5 juta unit per tahun, menyalip produsen tradisional dari Jepang dan Jerman.
Kurs yuan yang relatif lemah dan lemahnya permintaan domestik juga ikut menjaga surplus tetap tinggi. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat bahwa kelebihan surplus eksternal China beberapa tahun terakhir terutama mencerminkan ketidakseimbangan makro di dalam negeri: tingkat tabungan yang sangat tinggi dan konsumsi rumah tangga yang tertahan. Dengan kata lain, selama rumah tangga dan pemerintah China terus menabung lebih banyak daripada yang mereka belanjakan, surplus dagang besar kemungkinan akan terus berlanjut, terlepas dari tarif atau hambatan dagang jangka pendek.
Sebagai contoh, data Departemen Perdagangan AS menunjukkan bahwa pada 2023 Amerika masih mencatat defisit barang sekitar US$280 miliar dengan China, meski sudah turun dari puncaknya beberapa tahun lalu. Sementara banyak impor beralih dari China ke negara lain seperti Vietnam dan Meksiko — yang dalam banyak kasus menjadi lokasi relokasi pabrik China — defisit total Amerika terhadap dunia tetap besar. Ketidakseimbangan global bergeser secara geografis, tetapi tidak hilang.
Jika AS menjadi pionir tarif terhadap China, Eropa kini menyusul dengan nada yang kian keras. Serbuan kendaraan listrik, baja, panel surya, dan produk teknologi lain dari China memicu kekhawatiran di Berlin, Paris, dan Brussel, yang khawatir industri mereka tidak mampu bersaing dengan barang-barang bersubsidi dan berbiaya rendah dari pabrik-pabrik China.
Beberapa pemimpin Eropa, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, telah mengisyaratkan kemungkinan penerapan tarif atau langkah perlindungan baru jika Beijing tidak menahan ekspor murahnya. Laporan-laporan terbaru menunjukkan Uni Eropa sedang menyelidiki dugaan praktik dumping pada sejumlah produk utama China, mulai dari kendaraan listrik hingga teknologi hijau. Pada saat yang sama, negara berkembang yang bergantung pada sektor manufaktur berbiaya rendah juga merasakan tekanan, karena mereka harus bersaing langsung dengan kapasitas produksi raksasa China dan rantai pasoknya yang sangat efisien.
Bagi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dinamika ini menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, banyak perusahaan China memindahkan sebagian proses produksi ke negara tetangga untuk menghindari tarif langsung AS, menciptakan lapangan kerja dan aliran investasi baru. Di sisi lain, banjir produk murah China di kawasan dapat menekan produsen lokal, mulai dari baja dan kimia hingga elektronik konsumen.
Data perdagangan AS menunjukkan bahwa beberapa negara ASEAN seperti Vietnam dan Malaysia menikmati lonjakan ekspor ke Amerika dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena menjadi titik transit atau basis produksi alternatif bagi perusahaan China. Namun dalam jangka panjang, negara-negara di kawasan perlu menyeimbangkan daya tarik investasi China dengan perlindungan terhadap industri domestik mereka sendiri, termasuk melalui kebijakan antidumping dan penguatan standar teknis.
Pemerintah China secara resmi berulang kali menyatakan komitmennya untuk “menyeimbangkan kembali” perekonomian dari model berbasis ekspor dan investasi menuju konsumsi domestik. Data neraca berjalan 2024 menunjukkan surplus sekitar US$422–424 miliar, atau sekitar 2,2 persen PDB, yang oleh otoritas Beijing dianggap masih dalam “kisaran wajar”. Namun lonjakan surplus barang di atas US$1 triliun pada 2025 menunjukkan bahwa, dalam praktiknya, mesin ekspor tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan, terutama ketika pasar properti lesu dan konsumsi rumah tangga tertahan.
IMF memperkirakan bahwa ketidakseimbangan eksternal global — di mana China dan beberapa negara surplus besar lain berada di satu sisi, sementara Amerika Serikat dan sejumlah negara defisit besar di sisi lain — kembali melebar dalam beberapa tahun terakhir setelah sempat menyempit. Lembaga itu menekankan bahwa solusi berkelanjutan bukan lewat perang tarif, melainkan reformasi domestik: meningkatkan konsumsi di China, konsolidasi fiskal di AS, dan investasi produktif lebih besar di Eropa.
Surplus dagang China yang menembus US$1 triliun menjadi tonggak simbolik baru dalam pergeseran pusat gravitasi manufaktur global. Angka itu menunjukkan bahwa, sejauh ini, tarif dan perang dagang belum mampu mengubah arah besar aliran barang di ekonomi dunia. Produsen China berhasil memanfaatkan skala, efisiensi, dan dukungan kebijakan untuk terus memperluas jejak mereka, bahkan ketika satu pasar utama — Amerika Serikat — berusaha menutup pintu.
Namun tonggak ini juga menandai babak baru ketegangan. Dari Washington hingga Brussel dan sejumlah ibu kota di Asia, kekhawatiran bahwa surplus raksasa China mencerminkan distorsi struktural — bukan sekadar keunggulan kompetitif murni — semakin menguat. Tanpa koreksi di level kebijakan domestik, baik di China maupun mitra dagangnya, dunia berisiko terjebak dalam lingkaran tarif dan tindakan balasan yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan global, tanpa pernah benar-benar menyelesaikan akar persoalan.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.