Di tengah upaya pemulihan pascabencana banjir bandang yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang sejak akhir November 2025, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Muda Sedia Aceh Tamiang berdiri sebagai salah satu simbol rapuhnya infrastruktur kesehatan di daerah rawan bencana. Lumpur yang menutup sebagian besar area rumah sakit memang mulai terangkat, namun layanan kesehatan yang berjalan masih jauh dari kondisi normal.
Banjir bandang yang menghantam Aceh Tamiang merupakan bagian dari rangkaian bencana banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatra—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—yang menewaskan sedikitnya 950 orang dan membuat sekitar 5.000 orang luka-luka, serta lebih dari 850 ribu jiwa mengungsi, menurut data terkini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kabupaten Aceh Tamiang menjadi salah satu episentrum bencana di Aceh, dengan 57 korban meninggal, 22 orang hilang, dan lebih dari 262 ribu jiwa mengungsi per 6 Desember 2025, berdasarkan rekap sementara pemerintah daerah dan BNPB. (data BNPB dan Pemkab Aceh Tamiang)
RSUD Aceh Tamiang sendiri disebut sebagai fasilitas kesehatan yang paling parah terdampak banjir bandang di wilayah tersebut. Lapisan lumpur setebal sekitar 40 sentimeter menutupi hampir seluruh area rumah sakit, dengan peralatan medis, ruang perawatan, dan kendaraan di halaman rumah sakit rusak berat setelah tersapu arus deras. Kondisi ini membuat layanan sempat lumpuh total beberapa hari pertama pascabencana.
Setelah proses pembersihan intensif yang melibatkan relawan, tenaga kesehatan, dan sedikitnya 35 prajurit TNI, sebagian besar lumpur di area utama rumah sakit mulai terangkat. Akses yang sebelumnya tertutup kendaraan-kendaraan terseret banjir kini perlahan terbuka. Namun, normalisasi layanan jauh lebih lambat dibanding pembersihan fisik bangunan.
Sebagian besar tenaga kesehatan RSUD—mulai dari dokter, perawat hingga petugas nonmedis—ikut menjadi korban banjir. Banyak di antara mereka yang rumahnya rusak, kehilangan harta benda, dan harus mengurus keluarga yang juga mengungsi. Hal ini mengurangi kapasitas layanan secara drastis, karena tidak semua pegawai bisa segera kembali bertugas. Di sisi lain, beban pasien justru melonjak, seiring ribuan warga yang mengalami luka, penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, dan penyakit kulit akibat lingkungan yang tercemar pascabanjir—pola yang berulang di banyak bencana hidrometeorologis di Indonesia.
Keterbatasan layanan di RSUD Aceh Tamiang paling terasa bagi kelompok pasien kronis dan rentan. Layanan hemodialisa yang sempat terhenti menjadi ancaman serius bagi pasien gagal ginjal, yang idealnya menjalani cuci darah dua hingga tiga kali per minggu untuk mempertahankan kondisi stabil. Setelah pemulihan darurat, layanan ini kembali dibuka, tetapi dalam kapasitas terbatas dengan jadwal yang disesuaikan dan prioritas bagi pasien yang paling kritis.
Dalam kondisi normal, RSUD kabupaten bergantung pada jaringan rujukan ke rumah sakit provinsi atau nasional untuk kasus-kasus yang memerlukan layanan spesialistik tingkat lanjut. Namun, ketika jalan utama terputus dan jembatan rusak, proses rujukan yang biasanya dapat ditempuh dalam hitungan jam berubah menjadi perjalanan penuh risiko atau bahkan mustahil dilakukan, terutama di tengah hujan yang belum sepenuhnya reda dan potensi banjir susulan.
Di media sosial, beredar luas dokumentasi para relawan dan prajurit TNI yang bahu-membahu mengeruk lumpur, memindahkan peralatan yang tersisa, dan menyemprot lantai rumah sakit dengan air bersih. Pemandangan tersebut menggambarkan bagaimana sistem layanan kesehatan daerah amat bergantung pada solidaritas darurat ketika infrastruktur formal lumpuh.
Dalam konteks perubahan iklim, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologis. Laporan global menyebutkan bahwa sekitar 40 persen bencana dunia dalam dua dekade terakhir terjadi di kawasan Asia-Pasifik, dengan Indonesia menempati posisi tinggi dalam hal jumlah kejadian banjir dan tanah longsor. Di tengah tren ini, kemampuan rumah sakit daerah untuk bertahan dan tetap memberikan layanan minimal menjadi salah satu indikator ketahanan sistem kesehatan nasional.
Hingga pertengahan Desember 2025, RSUD Aceh Tamiang memang telah kembali menerima pasien, tetapi dengan layanan yang masih terbatas dan fokus pada kasus gawat darurat serta pasien kronis prioritas. Sementara lumpur secara fisik mulai surut dari lantai dan koridor rumah sakit, lumpur lain berupa kerentanan struktural dan ketergantungan pada bantuan darurat masih mengendap dalam sistem.
Bencana di Aceh Tamiang memberi peringatan keras bahwa penguatan sistem kesehatan di daerah rawan banjir tidak bisa lagi bersifat reaktif. Dari tata ruang kota, pengelolaan daerah aliran sungai, desain dan lokasi rumah sakit, hingga skema pembiayaan kesiapsiagaan—semuanya perlu dinaikkan kelasnya. Selama itu belum terjadi, setiap musim hujan berpotensi kembali mengulang adegan serupa: rumah sakit berlumpur, layanan terbatas, dan warga yang sakit dipaksa menunggu lebih lama dari yang seharusnya.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.