Eksklusif: Gedung Putih Buka Jalan Kompromi dengan China untuk Ekspor Chip AI Nvidia H200

AI-assistedNewsFrasa

6 Min to read

Pemerintahan Trump di Washington tengah menguji salah satu kompromi paling berani dalam perang teknologi Amerika Serikat–China: membuka kembali ekspor chip kecerdasan buatan (AI) Nvidia H200 ke pasar China, tetapi dengan syarat ketat dan pungutan khusus kepada pemerintah AS. Keputusan ini—yang pertama kali dilaporkan oleh Semafor—berpotensi mengubah peta persaingan AI global, sekaligus menguji batas antara kepentingan keamanan nasional dan ambisi ekonomi Amerika.

Apa yang Sebenarnya Disepakati

Presiden Donald Trump pada awal pekan ini menyatakan bahwa Nvidia diperbolehkan menjual chip AI H200 ke "pelanggan yang disetujui" di China dan sejumlah negara lain, dengan imbalan potongan 25% dari nilai penjualan yang akan mengalir ke kas pemerintah Amerika Serikat. Pengumuman itu menandai pelonggaran signifikan atas rejim kontrol ekspor era Biden yang selama ini memblokir pengiriman chip AI canggih ke China demi mencegah negeri itu mengejar keunggulan komputasi AS.

Menurut laporan Semafor dan dikonfirmasi oleh Reuters, Departemen Perdagangan AS akan menjadi garda depan dalam menyaring siapa saja perusahaan China yang berhak membeli H200. Pengaturan ini juga diproyeksikan berlaku untuk produsen chip lain seperti AMD dan Intel, meski untuk produk yang berada satu tingkat di bawah chip paling mutakhir yang tetap dilarang diekspor. Trump menegaskan bahwa chip Nvidia generasi terbaru berbasis arsitektur Blackwell, serta penerusnya, Rubin, tetap berada di luar jangkauan pembeli China, menjaga jarak teknologi tertentu yang dianggap terlalu sensitif bagi kepentingan nasional AS.

Mengapa H200 Begitu Penting dalam Lomba Senjata AI

Nvidia H200 adalah prosesor GPU data center yang dirancang khusus untuk melatih dan menjalankan model AI berskala sangat besar, termasuk model bahasa generatif dan sistem analitik canggih. Chip ini merupakan penerus H100, yang sudah menjadi "standar emas" di pusat data AI di seluruh dunia, dan menawarkan kombinasi daya komputasi tinggi serta memori bandwidth besar yang krusial untuk beban kerja AI modern. Laporan Institute for Progress, lembaga think tank kebijakan inovasi di Washington, menyebut H200 hampir enam kali lebih kuat dibanding H20—versi "downgrade" yang dibuat khusus untuk mematuhi batasan ekspor ke China. H20 sendiri dikembangkan setelah pemerintahan Biden memperketat parameter teknis chip yang boleh dikirim ke China pada 2023–2024.

Namun kompromi H20 terbukti gagal. Pemerintah China meminta perusahaan domestik untuk menghentikan pembelian H20 dengan alasan keamanan, langkah yang secara efektif memberi ruang lebih besar bagi raksasa lokal seperti Huawei untuk mengisi kekosongan pasokan AI berperforma tinggi. Dalam analisis Semafor, beberapa pejabat Gedung Putih menilai kebijakan itu akhirnya menguntungkan pesaing China ketimbang mengamankan keunggulan teknologi AS, sehingga mendorong pencarian skema baru yang kini terwujud dalam izin ekspor H200 bersyarat.

Taruhan Ekonomi: Pasar China dan Nilai Triliunan Dolar

Bagi Nvidia, kompromi ini membuka kembali salah satu pasar terpenting di dunia. Sebelum kontrol ekspor diperketat, penjualan ke China menyumbang sekitar 20–25% pendapatan data center Nvidia—segmen yang pada tahun fiskal 2025 menghasilkan lebih dari US$70 miliar dan menjadikan perusahaan itu raksasa senilai US$5 triliun di pasar saham. Tidak mengherankan jika saham Nvidia melonjak lebih dari 2% dalam perdagangan setelah jam bursa usai pengumuman rencana pelonggaran ekspor tersebut, menurut laporan Al Jazeera dan media keuangan lainnya.

Dari sudut pandang Gedung Putih, pungutan 25% atas setiap penjualan H200 ke China adalah sweetener politik yang mudah dijual ke publik domestik. Trump mengeklaim kebijakan ini akan "mendukung lapangan kerja Amerika, memperkuat manufaktur AS, dan menguntungkan pembayar pajak," sejalan dengan narasi bahwa negara harus memperoleh "bagian" dari setiap kesepakatan teknologi strategis. Namun beberapa anggota Kongres, termasuk Senator dari Partai Demokrat, mempertanyakan legalitas dan implikasi etis praktik pemerintah mengambil langsung potongan dari transaksi komersial swasta yang sangat spesifik. Kritik itu antara lain disorot oleh liputan The Guardian dan media AS lainnya, yang menilai skema serupa pernah menuai polemik hukum dalam konteks kebijakan luar negeri lain di masa lalu.

Kalkulus Keamanan Nasional dan Lintasan Teknologi China

Pendukung kontrol ekspor keras terhadap China berargumen bahwa akses ke chip kelas H200 akan mempercepat kemampuan Beijing di bidang militer, intelijen, hingga pengawasan domestik berbasis AI. Chip seperti H200 dapat digunakan untuk melatih model visi komputer dan sistem pengenalan wajah berkapasitas sangat besar, yang selama ini sudah menjadi ciri khas infrastruktur keamanan dalam negeri China. Laporan-laporan dari lembaga kajian seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Congressional Research Service (CRS) selama beberapa tahun terakhir secara konsisten menempatkan kendali atas rantai pasok chip canggih sebagai salah satu tuas utama pengaruh strategis AS dalam kompetisi teknologi dengan China.

Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa China tidak diam. Meskipun dibatasi dari chip Nvidia paling canggih, perusahaan seperti Huawei, Alibaba, hingga startup seperti DeepSeek telah merilis model AI yang menembus jajaran papan atas global, memanfaatkan kombinasi chip domestik, optimasi perangkat lunak, dan arsitektur model yang lebih efisien. Laporan Semafor menyebut dua eksekutif senior AI China secara terbuka mengakui bahwa hambatan akses chip AS merupakan "tantangan terbesar" yang mereka hadapi—namun tidak cukup untuk menghentikan laju pengembangan mereka sepenuhnya, terutama dalam horizon jangka panjang.

Diplomasi Chip: Dari Taiwan hingga Mineral Langka

Keputusan melonggarkan ekspor H200 juga tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik yang lebih luas. AS masih sangat bergantung pada Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) untuk memproduksi sebagian besar chip canggih Nvidia dan vendor lain. Sementara China menguasai sebagian besar pasokan mineral langka yang menjadi bahan baku penting baterai dan komponen elektronik berteknologi tinggi. Laporan-laporan resmi dari International Energy Agency dan Badan Survei Geologi AS (USGS) menunjukkan bahwa China mengontrol sekitar 60–70% kapasitas pemrosesan global untuk sejumlah mineral penting seperti kobalt, lithium, dan rare earth elements, sementara TSMC menguasai lebih dari 80% pangsa produksi chip logika paling canggih di dunia.

Dalam kerangka inilah kompromi H200 dipandang sebagai upaya mengelola saling ketergantungan: AS memberi akses terbatas ke teknologi AI penting sambil tetap menyisakan "jarak keamanan" lewat larangan penuh pada chip generasi paling baru. Sebagai gantinya, Washington berharap Beijing tidak semakin agresif menggunakan posisi tawar di sumber daya mineral dan pasar domestiknya sebagai senjata balasan.

Bagaimana China dan Dunia Menyikapi

Respons awal dari Beijing cenderung berhati-hati. Kementerian Luar Negeri China menyatakan keterbukaan untuk kerja sama teknologi yang "adil dan non-diskriminatif", namun media yang didukung negara seperti Guancha menyebut langkah baru Washington sebagai "pelonggaran besar pertama" dari kebijakan pembatasan teknologi era Biden—dan menilainya sebagai kemenangan diplomatik China dalam narasi domestik.

Di ibu kota lain, sinyalnya bercampur. Negara-negara sekutu AS di Eropa dan Asia Timur secara umum menyambut baik setiap langkah yang menjaga Nvidia dan ekosistem chip Barat berada di jantung standar AI global. Namun sebagian pengamat kebijakan industri di Brussel dan Tokyo mengkhawatirkan preseden baru: jika Washington bersedia memperjualbelikan akses ke teknologi strategis demi tarif dan kesepakatan bilateral, ruang koordinasi kebijakan multilateral bisa semakin menyempit.

Penutup: Jalan Tengah yang Penuh Risiko

Kompromi Gedung Putih terkait ekspor Nvidia H200 ke China mencerminkan realitas baru perang chip: kontrol total atas arus teknologi nyaris mustahil dalam ekonomi global yang saling terhubung, namun menyerah begitu saja pada tekanan pasar juga berisiko meruntuhkan keunggulan strategis jangka panjang.

Dengan memberikan kembali sebagian akses ke chip berperforma tinggi, tetapi menahan generasi paling mutakhir dan memungut tarif besar, Washington mencoba menulis ulang formula "engagement dengan batasan" di era AI. Apakah eksperimen ini akan menjaga standar teknologi dunia tetap berpusat pada AS, atau justru mempercepat kemandirian teknologi China, akan sangat ditentukan oleh satu hal: seberapa cepat Beijing dan ekosistem AI-nya bisa memanfaatkan celah baru ini—dan seberapa disiplin Washington mempertahankan garis merah teknologinya sendiri.

You've reached the juicy part of the story.

Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.

Free forever. No credit card. Just great reading.