Tentara Nasional Indonesia (TNI) berada di tengah pusaran perubahan besar: modernisasi alutsista, perpindahan ibu kota negara, hingga ancaman baru di domain siber. Di balik seluruh agenda itu, ada satu konsekuensi organisasi yang jarang dibahas di ruang publik, yakni kebutuhan mencetak lebih banyak perwira dalam beberapa tahun ke depan. Di berbagai rapat dengan DPR dan forum resmi, para pejabat TNI dan Kementerian Pertahanan berulang kali menyinggung kebutuhan penambahan struktur dan personel seiring mengembangnya tugas dan organisasi.
Mengapa TNI perlu mencetak begitu banyak perwira? Apa yang berubah dalam peta pertahanan Indonesia, dan bagaimana implikasinya terhadap profesionalisme militer, belanja negara, hingga rekrutmen generasi muda?
Secara kuantitatif, jumlah prajurit TNI sesungguhnya belum besar jika dibandingkan dengan populasi Indonesia sekitar 270 juta jiwa. Pengamat militer Universitas Nasional Selamat Ginting mencatat, total personel TNI aktif berkisar 500 ribu, atau kurang lebih 0,18 persen dari populasi; masih jauh dari angka satu persen yang kerap dijadikan patokan ideal kekuatan militer negara besar. menurut analisis Ginting yang dikutip media nasional, jumlah ideal prajurit aktif TNI seharusnya dapat mendekati satu juta personel untuk mengawal wilayah seluas Indonesia.
Meski demikian, struktur komando TNI justru terus bertambah, mulai dari pembentukan komando daerah baru, satuan teritorial, hingga rencana kehadiran penuh di Ibu Kota Nusantara (IKN). Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, misalnya, memaparkan rencana bertahap penempatan hingga 65.898 prajurit di IKN sampai 2045, berikut pembangunan kodam khusus, lanud, dan pasmar (pasukan marinir) baru. Rencana ini dijelaskan dalam paparannya yang mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022 tentang Rencana Induk IKN. Dalam skema seperti ini, otomatis dibutuhkan lebih banyak perwira untuk mengisi jabatan komando, staf, dan manajerial di berbagai strata.
Perpindahan ibu kota ke Kalimantan Timur bukan sekadar agenda infrastruktur sipil. Ia juga membawa implikasi langsung ke postur pertahanan. Di sekitar IKN direncanakan berdiri satuan-satuan baru TNI AD, AL, dan AU, termasuk satuan teritorial dan tempur yang akan membutuhkan jajaran komandan kompi, batalyon, hingga perwira staf.
Dalam paparan di Rapat Pimpinan TNI–Polri, Panglima TNI merinci pemindahan tahap pertama ke IKN pada periode 2023–2024 sebanyak 3.554 prajurit, yang mencakup personel Mabes TNI, matra AD, AL, AU, serta prajurit yang berdinas di Kementerian Pertahanan. Data ini dipublikasikan oleh kantor berita ANTARA, yang juga mencatat bahwa pemindahan ini akan berlanjut dalam lima tahap sampai 2045. Setiap kodam, lanud, dan pangkalan marinir baru mengimplikasikan kebutuhan sejumlah perwira, mulai dari perwira pertama (letda–kapten) hingga perwira menengah dan tinggi.
Pada saat yang sama, TNI AD tengah mengembangkan konsep Batalyon Teritorial Pembangunan dengan empat kompi tematik—medis, zeni, pertanian, dan peternakan—yang bertujuan memperkuat ketahanan pangan dan pembangunan di daerah. Pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Khairul Fahmi, menyebut langkah ini sebagai respons atas kebutuhan zaman, menyusul kebijakan rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD dalam satu gelombang besar pada 2025. Ia menilai rekrutmen massal itu relevan dengan peran baru TNI di bidang pembangunan, sebagaimana dijelaskan dalam laporan ANTARA mengenai perekrutan 24.000 tamtama. Penambahan ribuan prajurit di level tamtama dan bintara ini pada ujungnya juga akan menuntut lebih banyak perwira untuk memegang fungsi komando dan pembinaan di tingkat satuan kecil hingga menengah.
Selain dimensi darat, laut, dan udara, TNI juga bersiap memasuki domain baru: siber. Presiden Joko Widodo pada 3 September 2024 memerintahkan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat TNI. Cabang baru ini disiapkan sebagai tulang punggung pertahanan siber negara, dengan tugas mulai dari perlindungan infrastruktur kritis hingga operasi siber ofensif dan defensif. Rencana pembentukan Indonesian Cyber Force ini didokumentasikan dalam berbagai pernyataan resmi pemerintah yang dirangkum dalam basis data ensiklopedik. Jika terealisasi, Angkatan Siber akan menambah satu lapis struktur penuh—dari markas besar hingga satuan operasional—yang semuanya memerlukan perwira dengan keahlian teknis dan kepemimpinan khusus di bidang teknologi informasi, kriptografi, dan intelijen siber.
Dalam praktik di banyak negara, domain siber cenderung memerlukan proporsi perwira yang lebih tinggi dibandingkan unit tempur konvensional, karena sifat pekerjaannya yang sangat teknis, multidisipliner, dan menuntut koordinasi lintas lembaga. Jika pola serupa diadopsi TNI, kebutuhan mencetak perwira—baik melalui akademi militer klasik maupun jalur perwira karier nonakademi—nyaris tak terelakkan.
Dimensi lain yang mendorong kebutuhan perwira adalah meningkatnya intensitas latihan bersama dan interoperabilitas dengan militer negara lain. Salah satu contoh paling kentara adalah latihan gabungan tahunan Super Garuda Shield yang melibatkan Amerika Serikat dan sejumlah negara sekutu lain. Edisi 2024 misalnya, digelar pada 26 Agustus–6 September 2024 di beberapa lokasi di Jawa, dengan partisipasi personel dari sedikitnya 10 negara peserta dan lebih dari 10 negara pengamat. Latihan Super Garuda Shield 2024 didesain untuk meningkatkan kemampuan komando gabungan, operasi amfibi, pertahanan udara, hingga logistik multinasional. Di semua level itu, perwira menjadi kunci perencanaan, pengendalian operasi, serta komunikasi strategis dengan militer asing.
Peningkatan partisipasi dalam latihan multinasional mensyaratkan perwira yang tidak hanya cakap secara taktis, tetapi juga fasih bahasa asing, paham hukum humaniter internasional, dan menguasai teknologi komando-kendali modern. Ini mendorong TNI untuk memperbesar basis perwira terdidik, termasuk dari kalangan sarjana sipil melalui jalur perwira karier, untuk mempercepat pengisian kebutuhan spesialis di bidang hukum, kesehatan, teknologi, logistik, dan hubungan internasional.
Mencetak banyak perwira tentu bukan tanpa konsekuensi. Penambahan korps perwira berarti peningkatan belanja gaji, tunjangan, pendidikan, perumahan dinas, dan fasilitas lain yang secara tradisional melekat pada jabatan perwira. Paparan resmi Kementerian Pertahanan di berbagai forum anggaran rutin menempatkan belanja personel—termasuk gaji prajurit dan pegawai negeri sipil—sebagai salah satu komponen terbesar dalam struktur APBN sektor pertahanan.
Di sisi lain, data layanan data terbuka Kementerian Pertahanan menunjukkan kompleksitas pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan Kemhan dan TNI, termasuk distribusi ribuan pegawai sipil dalam berbagai golongan dan unit organisasi. Penambahan perwira di tubuh militer menuntut pembenahan serius dalam sistem manajemen karier, promosi, dan rotasi, agar tidak terjadi penumpukan jabatan yang justru menggerus profesionalisme dan efektivitas tempur.
Tantangan lain adalah memastikan bahwa peningkatan jumlah perwira tidak mengembalikan TNI ke pola lama sebagai “angkatan kerja serbaguna” yang terlalu mudah masuk ke ranah sipil. Sejak reformasi 1998, berbagai regulasi telah menegaskan pemisahan TNI dari politik praktis dan jabatan sipil struktural. Penambahan perwira, jika tidak diimbangi dengan disiplin institusional, berisiko membuka kembali ruang tarik-menarik kepentingan antara sektor militer dan sipil.
Visi resmi TNI di bawah kepemimpinan Jenderal Agus Subiyanto dirangkum dalam akronim PRIMA: profesional, responsif, integratif, modern, dan adaptif. Visi yang sama berulang kali ia sampaikan ketika menjelaskan penempatan personel di IKN dan rencana penataan organisasi jangka panjang. Dalam pernyataannya yang dikutip ANTARA, Agus menyebut penataan ulang sebaran pasukan dan organisasi sebagai bagian dari upaya membangun TNI yang “well-organized” dan adaptif terhadap tantangan baru, dari IKN hingga domain siber.
Mencetak lebih banyak perwira, dalam konteks itu, bukan semata soal kuantitas. Tantangan terbesarnya justru memastikan kualitas pendidikan, kurikulum, dan pengalaman lapangan para perwira muda benar-benar sejalan dengan kebutuhan nyata di medan tugas—bukan hanya memenuhi bagan struktur organisasi di atas kertas. Di tengah ancaman hibrida yang memadukan propaganda, serangan siber, hingga konflik bersenjata konvensional, Indonesia membutuhkan korps perwira yang mampu berpikir strategis, melek teknologi, dan tetap teguh memegang prinsip demokrasi serta supremasi sipil atas militer.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.