Jakarta – Aparat kepolisian masih terus menyelidiki kasus pengeroyokan dua debt collector atau mata elang yang berujung kericuhan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis, 11 Desember 2025. Insiden itu menewaskan dua orang dan memicu aksi balas dendam berupa perusakan hingga pembakaran sejumlah kios dan kendaraan di sekitar Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Peristiwa bermula saat dua orang mata elang menghentikan seorang pengendara sepeda motor di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk menagih cicilan kendaraan. Aksi penagihan ini kemudian berkembang menjadi cekcok, ketika sejumlah orang yang diduga rekan pengendara motor ikut campur dan menyerang kedua penagih utang tersebut.
Kapolsek Pancoran Kompol Mansur menjelaskan bahwa pelaku pengeroyokan diduga berjumlah sekitar empat hingga lima orang. Satu korban mata elang dilaporkan tewas di tempat, sementara satu lainnya sempat dilarikan ke rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia. Keterangan ini disampaikan kepada media di lokasi kejadian dan dikonfirmasi kembali oleh laporan berita kepolisian setempat yang menyebut para pelaku langsung melarikan diri usai pengeroyokan.
Beberapa jam setelah pengeroyokan, situasi di kawasan Kalibata memanas. Sekelompok orang yang diduga rekan korban mata elang mendatangi lokasi dan melakukan perusakan. Mereka membakar setidaknya sembilan kios pedagang dan enam sepeda motor milik warga di sekitar titik pengeroyokan. Data kerusakan itu diungkap dalam laporan media yang mengutip keterangan aparat di lapangan, yang juga menyebut beberapa kafe mengalami kerusakan kaca akibat lemparan benda keras.
Kapolsek Pancoran Kompol Mansur mengakui kuatnya dugaan bahwa kericuhan tersebut merupakan aksi balas dendam. Solidaritas di kalangan kelompok penagih utang atau mata elang disebut menjadi salah satu pemicu massa melakukan aksi destruktif setelah mengetahui dua rekannya tewas. Penjelasan ini sebelumnya dimuat dalam laporan media yang menggarisbawahi motif balas dendam sebagai latar belakang utama kerusuhan.
Hingga kini, penyidik gabungan dari Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan dan Ditreskrimum Polda Metro Jaya masih mengumpulkan bukti dan keterangan saksi. Polisi menyatakan telah memeriksa sedikitnya enam saksi, terutama warga yang berada di sekitar tempat kejadian perkara.
Dalam keterangan resminya, Kapolsek Pancoran menyebutkan bahwa saksi-saksi tersebut memberikan informasi penting mengenai kronologi pengeroyokan maupun situasi menjelang kericuhan. Fakta pemeriksaan enam orang saksi warga ini dikonfirmasi melalui laporan resmi media yang mengutip langsung aparat kepolisian setempat.
Meski demikian, para pelaku pengeroyokan utama belum tertangkap. Mereka diduga melarikan diri sesaat setelah korban tersungkur di jalan. Penyidik kini mengandalkan rekaman CCTV di sekitar lokasi, keterangan saksi, dan kemungkinan jejak digital untuk mengidentifikasi dan memburu para pelaku. Upaya pelacakan semacam ini menjadi praktik umum dalam penyidikan kasus kekerasan di ruang publik, sebagaimana diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) penyidikan tindak pidana Polri yang mengedepankan pengumpulan barang bukti elektronik dan keterangan saksi.
Untuk mencegah kericuhan susulan, aparat keamanan mengerahkan pasukan Brimob, Sabhara, hingga TNI ke sekitar Kalibata. Sepanjang area parkir di depan Taman Makam Pahlawan Kalibata dijaga ketat oleh satu kompi Brimob dan dua kompi Sabhara, serta dibantu personel Polres dan Polsek.
Penguatan pengamanan ini dilaporkan secara luas oleh media, salah satunya menyebutkan bahwa personel Brimob disiagakan di sepanjang parkiran TMP Kalibata sejak Jumat, 12 Desember 2025. Langkah ini sejalan dengan pola penanganan konflik massa di perkotaan yang menempatkan satuan Brimob sebagai garda terdepan pengendali huru-hara.
Kasus di Kalibata menyoroti kembali keberadaan mata elang, istilah populer untuk debt collector lapangan yang kerap memburu kendaraan bermotor bermasalah di jalan. Praktik penagihan utang oleh pihak ketiga sudah lama menjadi sorotan karena kerap bersinggungan dengan tindakan intimidatif di ruang publik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya berulang kali mengingatkan perusahaan pembiayaan agar memastikan penagihan dilakukan sesuai prinsip perlindungan konsumen dan tidak menggunakan kekerasan. Dalam panduan resminya, OJK menegaskan pelarangan ancaman dan tekanan fisik dalam penagihan utang serta mewajibkan tenaga penagih untuk terdaftar dan diawasi oleh lembaga keuangan yang menggunakan jasa mereka.
Meski demikian, di lapangan konflik sering kali tak terhindarkan. Studi-studi tentang kekerasan jalanan perkotaan di Indonesia menunjukkan bahwa benturan antara kelompok informal—seperti debt collector, komunitas otomotif, hingga warga—sering dipicu oleh perebutan ruang, ketidakjelasan hukum, dan lemahnya pengawasan terhadap praktik ekonomi informal.
Bagi warga sekitar Kalibata, peristiwa ini bukan sekadar berita kriminal. Banyak pedagang kaki lima kehilangan lapak dan barang dagangan akibat pembakaran, sementara pemilik kendaraan yang menjadi korban amukan massa menghadapi kerugian ekonomi yang tak sedikit. Sejumlah video amatir yang beredar di media sosial memperlihatkan suasana mencekam, dengan asap tebal membubung dari deretan kios yang terbakar.
Kerugian material akibat kerusuhan semacam ini umumnya tidak hanya menimpa pihak-pihak yang terlibat langsung, tapi juga pelaku usaha kecil di sekitar lokasi. Riset tentang dampak konflik sosial terhadap usaha mikro dan kecil di perkotaan menunjukkan bahwa gangguan keamanan dapat menurunkan pendapatan harian hingga 50–80 persen pada minggu-minggu awal pascakonflik, terutama bagi pedagang sektor informal yang mengandalkan arus pelanggan harian.
Di sisi lain, publik juga menuntut penegakan hukum yang tegas, baik terhadap pelaku pengeroyokan maupun pelaku kerusuhan. Pengamat hukum pidana menilai bahwa kasus seperti di Kalibata harus dijadikan momentum untuk menata kembali regulasi penagihan utang di ruang publik dan memperkuat pengawasan aparat, agar warga tidak kembali menjadi korban di tengah benturan kepentingan antara penagih dan debitur.
Penyidikan kasus kericuhan Kalibata masih berjalan dan menjadi ujian bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap pelaku secara transparan, sekaligus mengembalikan rasa aman warga. Di tengah padatnya aktivitas dan mobilitas di kawasan Jakarta Selatan, insiden ini mengingatkan bahwa persoalan penagihan utang dan keberadaan kelompok informal bersenjata sosial seperti mata elang tidak bisa dibiarkan tanpa regulasi yang jelas dan pengawasan yang ketat.
Ke depan, sinergi antara kepolisian, pemerintah daerah, regulator jasa keuangan, dan masyarakat sipil akan sangat menentukan apakah tragedi serupa dapat dicegah. Sementara itu, publik menanti hasil penyidikan dan langkah hukum berikutnya sebagai penanda seberapa serius negara melindungi warganya dari kekerasan di ruang publik.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.