Kegagalan Timnas Indonesia U-22 menembus semifinal SEA Games 2025 di Chiang Mai, Thailand, menjadi salah satu episode paling mengejutkan dalam sejarah terbaru sepak bola nasional. Ketua Badan Tim Nasional (BTN) sekaligus manajer tim, Sumardji, bahkan menyebut skuad kali ini sebagai “tim yang paling sulit, paling susah, dan paling tidak masuk akal” setelah tersingkir di fase grup.
Image Illustration. Photo by Tim Mossholder on Unsplash
Komentar keras itu muncul di tengah fakta bahwa persiapan Garuda Muda dinilai jauh lebih matang dibanding edisi-edisi sebelumnya, termasuk program uji coba internasional dan dukungan penuh federasi serta operator liga domestik.
Kejutan terbesar datang ketika Indonesia U-22 kalah 0-1 dari Filipina di laga Grup C SEA Games 2025 di 700th Anniversary Stadium, Chiang Mai, Senin 8 Desember 2025. Kekalahan ini menjadi yang pertama sepanjang sejarah pertemuan Indonesia melawan Filipina di cabang sepak bola putra SEA Games, sekaligus membuka jalan bagi The Azkals U-22 untuk mencetak sejarah lolos ke semifinal untuk pertama kalinya dalam 34 tahun. Gol tunggal Filipina dicetak Ato Banatao pada penghujung babak pertama.
Kekalahan itu menjadi pukulan psikologis besar bagi skuat asuhan Indra Sjafri. Indonesia gagal bangkit dengan kemenangan besar atas Myanmar di laga berikutnya, sehingga tidak mampu mengejar selisih gol dan akhirnya tersingkir di fase grup. Padahal, dalam tujuh edisi terakhir SEA Games, Timnas Indonesia putra selalu berhasil menembus babak semifinal dan bahkan meraih medali emas pada edisi 2023 di Kamboja. Rekam jejak konsisten itu membuat kegagalan kali ini terasa sebagai kemunduran signifikan.
Dalam jumpa pers di Jakarta, Sumardji tidak menutupi kekecewaan dan kebingungannya. Ia menyebut penampilan Timnas U-22 di SEA Games 2025 sebagai sesuatu yang “aneh” dan “tidak masuk akal” meski persiapan dinilai sudah maksimal. Ia juga berulang kali menggambarkan tim ini sebagai yang “paling sulit” ia tangani di level Asia Tenggara.
Ekspresi itu sejatinya sudah terlihat sejak kekalahan dari Filipina. Kamera televisi menangkap momen ketika Sumardji duduk termenung di bangku cadangan, tertunduk lesu usai peluit akhir berbunyi. Dalam wawancara terpisah, ia mengakui kekalahan itu membuatnya “kaget” dan “shock”, serta merasa apa yang terjadi berada di luar nalarnya sebagai manajer tim.
Secara di atas kertas, persiapan Timnas U-22 menuju SEA Games 2025 terlihat ideal. Skuad Garuda Muda menggelar pemusatan latihan jangka menengah dan menjalani sedikitnya empat laga uji coba internasional, termasuk melawan India U-23 dan Mali U-22, sebagai bagian dari pemantapan taktik dan fisik.
Federasi sepak bola Indonesia juga memanfaatkan kalender dengan relatif optimal. BRI Super League 2025/2026 dihentikan sementara selama SEA Games untuk memastikan para pemain U-22 bisa fokus penuh membela tim nasional tanpa terganggu jadwal klub. Selain itu, rombongan tim tiba lebih awal di Chiang Mai, kira-kira satu pekan sebelum laga perdana, untuk beradaptasi dengan kondisi cuaca dan lapangan.
Di level teknis, uji coba melawan Mali U-22 juga memiliki dimensi tersendiri. PSSI menjelaskan laga tersebut didaftarkan sebagai pertandingan tier 2 di luar perhitungan poin FIFA karena mempertemukan dua tim usia muda, sehingga fokus utama adalah pengembangan tim ketimbang peringkat dunia. Pilihan lawan dari konfederasi Afrika juga diharapkan menambah variasi gaya permainan yang dihadapi para pemain muda Indonesia.
Dari sisi komposisi pemain, Timnas U-22 2025 diisi sejumlah nama yang merumput di Eropa dan berlatar belakang diaspora seperti Ivar Jenner, Mauro Zijlstra, dan Dion Markx. Kehadiran mereka semula dipandang sebagai peningkatan kualitas teknis dan pengalaman dibanding edisi-edisi sebelumnya yang lebih didominasi pemain dari liga domestik.
Namun, kualitas individu ternyata tidak otomatis berbanding lurus dengan ketahanan mental di turnamen pendek. Sumardji secara terbuka mengakui bahwa aspek mental menjadi salah satu titik lemah utama, terutama setelah kekalahan perdana dari Filipina yang ia sebut sebagai “di luar nalar” dan “tidak pernah ia bayangkan sebelumnya”. Ia menyebut pekerjaan rumah terbesar adalah mengembalikan mental pemain ke kondisi normal setelah terpukul hasil buruk di laga pembuka.
Kegagalan di SEA Games 2025 tidak hanya memantik kritik terhadap pelatih Indra Sjafri, tetapi juga mengarah ke pengurus federasi. Wakil Ketua Umum PSSI, Zainudin Amali, sempat menjadi sorotan publik karena dinilai berperan dalam proses penunjukan kembali Indra setelah sukses meraih emas di SEA Games 2023. Menanggapi hal itu, Sumardji menegaskan bahwa kegagalan tim adalah tanggung jawab kolektif, bukan kesalahan individu tertentu di federasi. Ia bahkan menyatakan siap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab sebagai manajer tim selama SEA Games 2025.
Di sisi lain, komunikasi publik dari sejumlah pejabat PSSI juga ikut disorot. Misalnya, pernyataan salah satu anggota Komite Eksekutif yang memilih enggan berkomentar terkait kegagalan tim, justru memicu kritik warganet yang menilai sikap tersebut tidak mencerminkan tanggung jawab moral setelah target medali emas tidak tercapai.
Secara statistik dan historis, kegagalan Timnas U-22 di SEA Games 2025 adalah anomali. Tim datang dengan persiapan lebih baik, dukungan struktural lebih kuat, dan materi pemain yang di atas kertas lebih berkualitas. Namun hasil di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Dalam konteks Indonesia, SEA Games 2025 bisa menjadi cermin bahwa investasi di level persiapan dan materi pemain saja belum cukup. Evaluasi menyeluruh—mulai dari pemilihan pelatih, desain program pembinaan, pendekatan psikologis, hingga cara federasi berkomunikasi ke publik—perlu dilakukan secara sistematis dan terbuka, bukan sekadar mencari kambing hitam setelah kegagalan.
Pernyataan Sumardji bahwa Timnas Indonesia U-22 di SEA Games 2025 adalah “tim paling susah” dan “tidak masuk akal” mencerminkan betapa jauhnya jarak antara ekspektasi dan realita. Ungkapan itu bisa dibaca sebagai luapan emosional seorang manajer yang terluka, tetapi juga sebagai sinyal kuat bahwa ada masalah mendasar yang belum terpecahkan di balik layar persiapan tim nasional.
Bagi publik, kegagalan ini menimbulkan kekecewaan setelah euforia emas SEA Games 2023. Bagi federasi, momentum ini seharusnya menjadi titik tolak untuk membenahi sistem—bukan sekadar mengganti personel. Jika tidak, frasa “tidak masuk akal” dikhawatirkan akan kembali terdengar pada turnamen-turnamen berikutnya, setiap kali ekspektasi tinggi tidak diimbangi dengan fondasi yang kokoh di lapangan maupun di luar lapangan.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.