Pernyataan bercanda Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tentang undangan ke acara Partai Golkar—“mau nolak gak berani, saya dibantai nanti”—menggelitik sekaligus mengungkap persoalan serius: seberapa bebas pejabat lembaga negara dari tekanan politik ketika menghadiri agenda partai? Kelakar yang beredar di ruang publik ini menyoroti batas kabur antara jabatan publik yang semestinya independen dan dinamika politik praktis menjelang dan setelah pemilu.
Purbaya Yudhi Sadewa bukan figur sembarangan. Sebelum memimpin LPS, ia dikenal sebagai ekonom yang lama berkarier di PT Danareksa serta pernah menjadi Deputi Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). LPS sendiri adalah lembaga independen yang menjamin simpanan nasabah hingga Rp2 miliar per rekening, dan menjadi salah satu pilar stabilitas sistem keuangan Indonesia. Karena itu, setiap isyarat kedekatan atau tekanan politik terhadap pejabat di lembaga ini akan selalu menarik sorotan publik.
Ucapan bergaya kelakar—“mau nolak gak berani, saya dibantai nanti”—merujuk pada situasi ketika seorang pejabat diundang ke acara partai politik besar seperti Golkar, yang secara elektoral masih menjadi salah satu kekuatan utama di parlemen. Pada Pemilu Legislatif 2024, Golkar menempati posisi kedua nasional dengan sekitar 23,21 juta suara atau 15,29 persen suara sah, hanya terpaut di bawah PDI-P. Posisi strategis Golkar dalam peta kekuasaan membuat segala bentuk kedekatan pejabat dengan partai ini sarat tafsir politik.
Di sejumlah daerah, Golkar bahkan menggeser dominasi PDI-P, seperti di daerah pemilihan Jawa Tengah II (Kudus, Jepara, Demak) dengan perolehan lebih dari 470.000 suara—mengalahkan PDI-P yang berada di posisi kedua. Pencapaian ini menguatkan citra Golkar sebagai partai yang “mengakar” dan piawai membangun jaringan kekuasaan, baik di pusat maupun daerah.
Riset pascapemilu juga menunjukkan basis pemilih Golkar sangat linier dengan dukungan terhadap pasangan capres-cawapres yang diusung partai ini. Analisis yang diterbitkan harian Kompas mencatat lebih dari 70 persen pemilih Golkar mengalihkan dukungan ke pasangan Prabowo-Gibran, sebuah tingkat “kelinearan” dukungan yang jauh lebih tinggi dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
Ucapan Purbaya menggambarkan satu dilema klasik: apakah pejabat lembaga negara boleh, atau sebaiknya menghindar, ketika diundang partai politik? Di satu sisi, pejabat negara kerap hadir dalam forum yang bertajuk diskusi ekonomi, seminar, atau perayaan hari besar partai sebagai narasumber kebijakan. Di sisi lain, kehadiran itu mudah dibaca sebagai sinyal kedekatan politik dan berisiko mengaburkan garis independensi institusi.
Secara normatif, Indonesia memiliki kerangka hukum yang menuntut netralitas pejabat tertentu, terutama aparatur sipil negara (ASN). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN menegaskan pentingnya asas netralitas, yaitu tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu. Meski status pejabat di lembaga independen seperti LPS berbeda dengan ASN biasa, ekspektasi publik terhadap netralitas dan jarak dari partai politik relatif serupa: tidak boleh ada kesan lembaga digunakan untuk kepentingan partisan.
Khusus pada masa pemilu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Kementerian PAN-RB berulang kali menerbitkan pedoman dan surat edaran yang menegaskan larangan ASN terlibat kampanye, menjadi anggota atau pengurus tim sukses, atau menunjukkan keberpihakan terang-terangan di ruang publik. Di lapangan, garis batas antara “hadir sebagai pejabat negara” dan “turut mempromosikan partai” seringkali sangat tipis, terlebih jika acara tersebut dikemas dengan simbol dan narasi partisan.
Frasa “dibantai nanti” jelas disampaikan dalam konteks bercanda, namun sulit dilepaskan dari realitas bahwa pejabat publik di Indonesia kerap berada di bawah tekanan sosial-politik. Tekanan itu bisa datang dari partai, tokoh politik, maupun dari opini publik di media sosial. Penolakan undangan partai bisa saja dibaca sebagai sikap tidak bersahabat, yang berpotensi berdampak pada relasi lembaga, akses komunikasi, hingga dinamika politik anggaran.
Di sisi lain, kehadiran di acara partai juga membawa risiko dibaca sebagai sinyal keberpihakan. Dalam iklim politik yang terpolarisasi, setiap gestur pejabat—dari pilihan forum hingga kalimat sambutan—dapat dengan cepat dipotong, disebar, dan diberi tafsir di media sosial. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan, sekitar 60 persen pemilih aktif menggunakan media sosial, dan ruang digital ini menjadi arena utama pembentukan persepsi politik. Dalam konteks seperti itu, satu kalimat kelakar bisa berkembang menjadi kontroversi berkepanjangan.
Sejumlah survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap partai politik di Indonesia relatif rendah dibandingkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga teknokratis seperti KPK, TNI, atau lembaga keuangan negara. Studi Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023, misalnya, mendapati bahwa tingkat kepercayaan tinggi terhadap partai politik berada di kisaran 20 persen, jauh di bawah lembaga seperti TNI dan Presiden yang bisa melampaui 70 persen. Angka-angka ini menunjukkan adanya jarak psikologis antara publik dan partai, yang membuat isu independensi lembaga negara menjadi sangat sensitif.
Ketika pejabat lembaga keuangan negara tampak terlalu dekat dengan partai besar, publik cenderung cemas bahwa kebijakan yang semestinya teknokratis bisa turut dipengaruhi kalkulasi politik. Padahal, mandat lembaga seperti LPS adalah menjaga stabilitas sistem keuangan dan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan—bukan menjadi alat tawar-menawar kekuasaan.
Di banyak negara, pejabat lembaga keuangan dan regulator diikat oleh kode etik yang ketat terkait kedekatan dengan partai politik. Di Amerika Serikat, misalnya, pejabat Federal Reserve wajib mematuhi aturan etik yang membatasi kegiatan politik partisan dan mengharuskan transparansi aktivitas publik mereka agar tidak merusak persepsi independensi kebijakan moneter. Di Uni Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB) memiliki kode etik yang secara eksplisit mengatur benturan kepentingan dan keterlibatan politik bagi anggotanya.
Indonesia sebenarnya juga tidak kekurangan instrumen etik. Selain aturan formal, banyak lembaga memiliki kode etik internal. Tantangannya adalah memastikan aturan tersebut tidak sekadar menjadi dokumen administratif, tetapi benar-benar diinternalisasi, termasuk dengan membuat panduan praktis: misalnya, kapan pejabat boleh hadir di forum partai, dalam kapasitas apa, dengan batasan seperti apa, dan bagaimana kewajiban pelaporan atau disclosure kepada publik.
Kelakar Purbaya Yudhi Sadewa soal undangan ke acara Golkar sejatinya membuka ruang diskusi lebih luas tentang transparansi dan tata kelola etis pejabat lembaga negara. Di tengah peta politik di mana partai besar seperti Golkar tetap menjadi salah satu kekuatan penentu kebijakan, publik membutuhkan jaminan bahwa lembaga-lembaga strategis tetap bekerja berdasarkan mandat konstitusional dan pertimbangan profesional, bukan karena kedekatan dengan partai tertentu.
Untuk itu, ada beberapa langkah yang kian mendesak dipertimbangkan: penyusunan panduan etik yang lebih rinci terkait relasi pejabat dengan partai politik; kewajiban keterbukaan agenda publik pejabat lembaga independen; serta penguatan budaya kelembagaan yang menempatkan integritas di atas kenyamanan politik. Tanpa itu semua, kelakar seperti “mau nolak gak berani, saya dibantai nanti” akan terus bergaung sebagai cerminan betapa kuatnya bayang-bayang partai atas pejabat negara—dan betapa rapuhnya garis batas antara negara dan politik praktis di mata publik.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.