Moskwa kembali menjadi sorotan dunia setelah dua ledakan mematikan terjadi dalam rentang kurang dari satu pekan. Serangan-serangan ini mempertegas rapuhnya keamanan di jantung politik dan ekonomi Rusia, meski negara itu berada dalam status “negara benteng” sejak invasi ke Ukraina. Lonjakan kembali aksi teror dan pembunuhan bermotif politik di ibu kota memunculkan satu pertanyaan besar: ada apa dengan keamanan Rusia?
Sejak awal 2024, Moskwa dan sekitarnya menghadapi kembali ancaman teror skala besar. Puncaknya, pada 22 Maret 2024, serangan terkoordinasi mengguncang gedung konser Crocus City Hall di Krasnogorsk, wilayah pinggiran Moskwa. Empat pelaku bersenjata otomatis melepaskan tembakan ke arah penonton konser sebelum memicu kebakaran besar di dalam gedung.
Serangan itu menewaskan sedikitnya 149 orang dan melukai lebih dari 600 lainnya, menjadikannya salah satu serangan teror paling mematikan di Rusia sejak pengepungan sekolah Beslan pada 2004. Serangan ke Crocus City Hall diklaim oleh kelompok afiliasi Negara Islam wilayah Khorasan (ISIS-K), yang sebelumnya juga aktif melakukan serangan di Afghanistan dan Asia Tengah. Pihak berwenang Rusia menyebut ini sebagai "aksi teror barbar" dan menetapkan 24 Maret sebagai hari berkabung nasional.
Setahun kemudian, pada peringatan serangan itu, pihak Investigative Committee Rusia menyatakan bahwa serangan tersebut dilihat sebagai upaya untuk “mengganggu stabilitas” politik dalam negeri, dan bahkan mengisyaratkan adanya peran “negara tak bersahabat” tanpa menyajikan bukti terbuka ke publik. Pernyataan itu muncul di tengah fakta bahwa ISIS-K sudah secara terbuka mengaku bertanggung jawab atas operasi tersebut.
Selain serangan massal, Moskwa juga menjadi arena serangan terarah terhadap individu-individu kunci yang terkait perang di Ukraina. Pada 3 Februari 2025, sebuah bom meledak di kompleks apartemen mewah Scarlet Sails, salah satu kawasan elit di Moskwa. Targetnya adalah Armen Sarkisyan, komandan paramiliter pro-Rusia asal Ukraina timur yang telah lama menjadi buronan Kyiv karena perannya dalam kekerasan di Donbas sejak 2014.
Bom yang diduga disembunyikan di dalam sofa itu menewaskan Sarkisyan dan pengawalnya. Aparat keamanan Rusia menggambarkan operasi ini sebagai aksi “pembunuhan terencana dengan baik”, dan mengaitkannya dengan pola serangan rahasia yang dituduhkan ke jaringan pro-Ukraina. Insiden ini menyusul serangkaian pembunuhan tokoh militer dan kolaborator pro-perang Rusia yang sebelumnya diserang dengan cara serupa, baik menggunakan bom mobil maupun perangkat peledak rakitan.
Dalam konteks dua bom mematikan dalam satu pekan di Moskwa—satu menyasar kerumunan sipil, satu lagi menghabisi figur paramiliter pro-Kremlin—pola ancaman di Rusia tampak semakin bercabang: antara terorisme jihadis transnasional dan operasi sabotase atau likuidasi yang berkelindan dengan perang di Ukraina.
Serangan ke Crocus City Hall pada Maret 2024 menjadi titik balik penting. Gedung konser besar yang juga pernah menjadi lokasi ajang internasional seperti Miss Universe 2013 selama ini diasosiasikan dengan citra Rusia sebagai tuan rumah acara global. Dalam hitungan menit, tempat hiburan itu berubah menjadi lokasi pembantaian: empat pria bersenjata masuk dengan pakaian tempur, menembaki penonton, lalu melempar bahan mudah terbakar yang memicu kebakaran besar di atap dan interior gedung.
Menurut data resmi yang kemudian dipublikasikan, sedikitnya 149 orang tewas dan lebih dari 609 terluka. Hampir separuh korban meninggal bukan karena peluru, melainkan karena terjebak asap dan runtuhan saat api melalap struktur bangunan. Peristiwa ini menjadi serangan teror paling mematikan di wilayah Moskwa sejak rangkaian bom apartemen pada 1999 dan memberikan pukulan telak bagi klaim keamanan domestik Kremlin.
Kelompok ISIS-K, cabang Negara Islam yang berbasis di Afghanistan, dengan cepat mengklaim tanggung jawab melalui kantor berita Amaq. Badan intelijen Amerika Serikat menyatakan bahwa mereka sebelumnya telah memperingatkan Moskwa tentang potensi serangan teror yang ditujukan pada “lokasi dengan konsentrasi massa besar”, meski peringatan itu secara terbuka dianggap tidak relevan oleh Presiden Vladimir Putin beberapa hari sebelum serangan. Beberapa analis menilai kejadian ini sebagai kegagalan intelijen yang serius di pihak Rusia, terutama karena peringatan eksternal ternyata sejalan dengan pola serangan yang kemudian benar-benar terjadi.
Pada Agustus 2025, 19 terdakwa, termasuk empat pelaku utama, mulai diadili di pengadilan militer Moskwa dengan pengamanan ekstra ketat. Keempat pelaku lapangan disebut sebagai warga Tajikistan yang diduga direkrut dan diradikalisasi oleh ISIS-K. Proses hukum ini digelar tertutup, sementara organisasi hak asasi manusia mengutuk adanya indikasi penyiksaan terhadap para tersangka, setelah foto dan video pengadilan awal menunjukkan mereka dengan luka-luka yang jelas pada wajah dan tubuh.
Meski ISIS-K telah mengaku bertanggung jawab, aparat Rusia berulang kali mengisyaratkan dugaan adanya keterlibatan Ukraina, atau paling tidak bahwa serangan tersebut “menguntungkan kepemimpinan Ukraina” dalam upaya melemahkan Rusia. Kyiv secara konsisten membantah tuduhan itu. Hingga kini, Moskwa belum mempublikasikan bukti kuat yang dapat mengaitkan pemerintah Ukraina dengan operasi Crocus City Hall. Para pengamat menilai upaya mengaitkan serangan teror dengan Ukraina dan “negara-negara tak bersahabat” Barat sebagai bagian dari strategi Kremlin untuk memperkuat narasi bahwa Rusia dikepung musuh eksternal dan internal sekaligus.
Dua bom mematikan dalam waktu singkat di Moskwa juga memperlihatkan bagaimana berbagai lapisan masyarakat Rusia merasakan tekanan secara bersamaan. Di satu sisi, komunitas migran Asia Tengah—khususnya dari Tajikistan dan Kirgizstan—menghadapi gelombang kecurigaan dan razia setelah terungkap bahwa pelaku Crocus City Hall berasal dari komunitas tersebut. Laporan media independen menyebut adanya peningkatan pemeriksaan polisi, deportasi, dan pembatasan administratif terhadap pekerja migran, padahal ekonomi Rusia sangat bergantung pada tenaga kerja murah dari Asia Tengah.
Di sisi lain, ledakan yang menewaskan Armen Sarkisyan di kompleks apartemen elit Scarlet Sails menandai bahwa bahkan lingkaran dalam elit pro-perang Rusia pun tak kebal dari kekerasan. Pengamat keamanan menyebut rangkaian pembunuhan tokoh militer, propagandis, dan kolaborator pro-Kremlin dalam dua tahun terakhir sebagai bentuk “perang bayangan” yang paralel dengan pertempuran terbuka di Ukraina. Serangan-serangan itu, termasuk pembunuhan jurnalis-propagandis Darya Dugina pada 2022 dan sejumlah perwira militer di wilayah Rusia barat, menunjukkan bahwa medan perang kini meluas hingga ke ruas jalan dan apartemen mewah Moskwa.
Rangkaian ledakan dan serangan teror di Moskwa dalam beberapa tahun terakhir mengirimkan beberapa pesan penting. Pertama, klaim Kremlin bahwa Rusia telah berhasil “menumpas” ancaman teror domestik setelah gelombang kekerasan Chechnya pada awal 2000-an kini terbukti rapuh. Kelompok seperti ISIS-K mampu memanfaatkan celah keamanan, jaringan migran yang rentan, dan fokus aparat pada perang Ukraina untuk menembus jantung ibu kota.
Kedua, bom-bom yang menargetkan figur pro-perang dan kolaborator juga merefleksikan dimensi baru konflik Rusia–Ukraina: dari perang artileri di Donbas menjadi operasi rahasia lintas batas yang merambah kota-kota besar. Selama Moskwa terus menjadi pusat pengambilan keputusan perang, kota ini akan tetap menjadi target logis—baik bagi kelompok jihadis yang ingin menghantam simbol kekuasaan Rusia, maupun bagi jaringan yang berusaha melemahkan mesin perang Kremlin dari dalam.
Ketiga, bagi dunia, dua bom mematikan dalam satu pekan di Moskwa menegaskan bahwa perang Rusia–Ukraina dan kebangkitan kembali ISIS-K bukanlah dua krisis terpisah. Keduanya saling tumpang tindih dalam lanskap keamanan Eurasia yang kian kompleks. Selama Moskwa berusaha menjadikan narasi “dikepung musuh” sebagai pilar legitimasi politik, risiko bahwa setiap ledakan baru akan segera dilekatkan pada lawan geopolitik—bukan semata pada fakta lapangan—akan tetap tinggi. Bagi warga biasa, konsekuensinya sama: rasa aman di ibu kota negara bersenjata nuklir itu kian goyah.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.