Pernyataan terbaru Presiden Rusia Vladimir Putin kembali mengguncang kalkulasi perang di Ukraina. Di hadapan pejabat pertahanan senior di Moskow pada 17 Desember 2025, Putin secara terbuka memperingatkan bahwa Rusia akan memperluas penguasaan wilayah di Ukraina jika upaya perundingan damai yang kini digagas Amerika Serikat gagal, sekaligus meremehkan kekhawatiran negara-negara NATO bahwa Moskow berambisi menyerang aliansi itu. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa Moskow akan mencapai tujuannya “baik lewat kekuatan militer maupun diplomasi”, dan mengklaim hak historis atas wilayah-wilayah yang secara internasional masih diakui sebagai milik Ukraina.
Nada gertakan Putin kali ini terang: jika Kyiv dan negara-negara Barat menolak formula damai yang diajukan—yang pada praktiknya berisi tuntutan pengakuan aneksasi wilayah Ukraina dan pembatasan permanen terhadap hubungan militer Ukraina dengan NATO—Moskow akan berupaya merebut lebih banyak tanah di medan perang. Dalam konferensi pers yang diliput luas, ia menegaskan bahwa Rusia akan memperluas “keuntungan teritorial” bila perundingan yang kini dimediasi Washington gagal memberikan jaminan bahwa klaim Rusia atas Krimea, Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia diakui secara de facto.
Putin juga mengirim sinyal langsung ke NATO: setiap pengerahan pasukan aliansi di wilayah Ukraina akan dianggap sebagai “target sah” bagi militer Rusia. Retorika ini mempertebal kekhawatiran akan eskalasi langsung antara Rusia dan negara-negara anggota NATO, meski Putin sendiri berulang kali menyebut dugaan rencana Rusia menyerang Eropa sebagai “histeria politik” Barat.
Penguasaan ini mencakup hampir seluruh Luhansk, sekitar 80 persen wilayah Donetsk, serta koridor darat yang menghubungkan Rusia dengan Krimea melalui sebagian Zaporizhzhia dan Kherson. Di beberapa sektor front timur, seperti Donbas, Rusia dikabarkan mengontrol hingga sekitar 90 persen wilayah, meski garis kontak terus bergeser seiring operasi ofensif dan kontraofensif kedua belah pihak.
Sepanjang 2024–2025, militer Rusia juga melakukan serangkaian serangan darat terbatas ke wilayah perbatasan Ukraina, termasuk di Sumy Oblast. Salah satu operasi yang banyak disorot adalah penyerbuan ke Kostiantynivka pada Juni 2025 yang memperluas zona pendudukan Rusia di timur laut Ukraina. Ukraina membalas dengan serangan balasan di beberapa sektor, misalnya di Kupiansk di kawasan Kharkiv, namun keberhasilan di medan perang masih sporadis dan kerap diperdebatkan kedua pihak.
Dari total itu, negara-negara anggota NATO menghabiskan sekitar 1,51 triliun dolar AS—sekitar 55 persen dari belanja militer dunia. Amerika Serikat sendiri menyumbang hampir 1 triliun dolar AS atau 37 persen dari total belanja militer global pada 2024, sementara negara-negara Eropa anggota NATO secara kolektif meningkatkan pengeluaran mereka menjadi sekitar 454 miliar dolar AS—naik hampir 9 persen hanya dalam satu tahun.
Tekanan untuk meningkatkan kesiapan menghadapi potensi konflik berkepanjangan dengan Rusia membuat 18 dari 32 anggota NATO telah memenuhi atau melampaui target belanja pertahanan 2 persen dari PDB pada 2024, naik dari hanya 11 negara pada 2023. Pada KTT 2025 di Den Haag, para pemimpin NATO bahkan sepakat menaikkan ambisi: menargetkan alokasi hingga 5 persen dari PDB untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan luas pada 2035—dengan sedikitnya 3,5 persen di antaranya khusus untuk kemampuan militer inti.
Di medan perang, Kyiv berupaya mengubah situasi taktis menjadi leverage diplomatik. Presiden Volodymyr Zelenskyy berulang kali menekankan bahwa kemajuan di garis depan—seperti klaim keberhasilan merebut kembali sebagian besar Kupiansk di timur laut negara itu—penting untuk memperkuat posisi Ukraina dalam negosiasi apa pun di masa depan. Namun Rusia membantah klaim tersebut, menggambarkan upaya serangan balasan Ukraina sebagai kegagalan dan menonjolkan narasi keunggulan militer Moskow.
Dalam dimensi politik, Zelenskyy telah mengisyaratkan kesediaan mempertimbangkan alternatif terhadap keanggotaan NATO—seperti paket jaminan keamanan yang kuat dari AS dan sekutu—namun menolak mentah-mentah tuntutan untuk menyerahkan wilayah yang belum mampu direbut Rusia di medan perang. Bagi Kyiv, garis merahnya jelas: tidak ada pengakuan resmi atas pencaplokan wilayah dan tidak ada penarikan pasukan dari daerah yang masih berada di bawah kendali Ukraina.
Namun di sisi lain, Putin secara terbuka memuji inisiatif mediasi Presiden AS Donald Trump sambil mencerca para pemimpin Eropa pro-Ukraina—yang ia sebut sebagai “babi muda”—dan memprediksi bahwa mereka pada akhirnya akan tersingkir dari kekuasaan seiring kelelahan publik terhadap perang dan biaya ekonomi yang menyertainya. Bagi banyak analis, retorika ini tak sekadar hinaan, melainkan bagian dari strategi jangka panjang Moskow untuk mengikis solidaritas Barat terhadap Ukraina.
Koalisi pendukung Ukraina kini dihadapkan pada dilema berat. Di satu sisi, menerima formula damai versi Rusia berarti mengukuhkan perubahan perbatasan secara paksa dan berpotensi memberi sinyal bahwa agresi militer dapat membuahkan hasil. Di sisi lain, menolak memberi konsesi dapat memperpanjang perang, meningkatkan risiko eskalasi—termasuk konfrontasi langsung antara Rusia dan NATO—serta memperdalam luka ekonomi dan sosial di Eropa.
Bagi Ukraina, risiko yang paling kasat mata adalah hilangnya lebih banyak wilayah jika garis depan kembali bergeser menyusul serangan baru Rusia. Data kontrol wilayah hingga akhir 2025 menunjukkan bahwa meski garis besar medan perang relatif stabil sejak akhir 2022, Rusia masih mampu menambah ribuan kilometer persegi wilayah yang dikuasai melalui ofensif bertahap. Ancaman Putin kali ini—bahwa “lebih banyak wilayah” akan jatuh jika Kyiv dan Barat menolak kesepakatan—mempertegas bahwa medan perang dan meja perundingan akan tetap saling berkaitan erat.
Apakah ancaman Vladimir Putin untuk merampas lebih banyak wilayah Ukraina sekadar gertakan atau cerminan keyakinan bahwa Rusia masih punya cadangan kekuatan militer untuk ofensif baru? Jawabannya berada di persimpangan antara kalkulasi militer, dukungan publik di kedua belah pihak, serta ketahanan politik dan ekonomi Ukraina dan Barat.
Yang jelas, data terbaru tentang belanja militer dan pergeseran kontrol wilayah menunjukkan bahwa perang ini telah mengubah lanskap keamanan Eropa secara fundamental: NATO kian bersenjata, Ukraina menanggung beban militer terbesar relatif terhadap PDB, sementara Rusia bersiap untuk konflik berkepanjangan. Di tengah semua itu, prospek perdamaian yang adil—yang tidak menghukum korban agresi dengan kehilangan wilayah permanen—masih tampak jauh dari pasti.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.