Di tengah tren “clean eating” dan gaya hidup wellness yang mendominasi media sosial, para terapis melaporkan munculnya pola gangguan makan baru yang kian sering mereka lihat di ruang praktik: orthoreksia, sebuah obsesi ekstrem terhadap makanan yang dianggap “bersih” dan “murni” secara kesehatan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada akhir 1990-an oleh dokter asal Amerika Serikat, Steven Bratman, untuk menggambarkan orang-orang yang begitu terobsesi dengan makan sehat hingga justru merusak kesehatan fisik dan mental mereka sendiri.
Orthoreksia (orthorexia nervosa) adalah istilah untuk menggambarkan pola makan yang ditandai oleh fokus berlebihan pada kualitas dan kemurnian makanan—bukan pada jumlah kalori atau berat badan seperti pada anoreksia atau bulimia. Orthoreksia digambarkan sebagai obsesi patologis terhadap makan sehat, dengan aturan diet yang makin lama makin ketat, rasa takut berlebihan terhadap bahan atau kategori makanan tertentu, dan perasaan bersalah atau tercemar ketika melanggar aturan tersebut. Meskipun belum diakui sebagai diagnosis resmi dalam DSM-5, banyak klinisi dan peneliti menganggap orthoreksia sebagai bentuk gangguan makan yang nyata, dengan dampak medis dan psikologis yang serius.
Orthoreksia belum tercantum dalam manual diagnosis psikiatri utama seperti DSM-5 milik American Psychiatric Association. Sejumlah psikiater menilai bahwa gejalanya sering tumpang tindih dengan anoreksia nervosa atau gangguan obsesif-kompulsif (OCD), sehingga sejauh ini diklasifikasikan dalam kategori “unspecified feeding or eating disorder” (USFED). Namun bagi terapis di lapangan, label formal bukanlah isu utama; mereka lebih khawatir pada pasien yang datang dengan pola pikir hitam-putih terhadap makanan, kecemasan berat, dan hubungan sosial yang runtuh karena aturan makan yang kian kaku.
Sejauh ini, belum ada angka prevalensi yang benar-benar pasti. Sejumlah studi menggunakan berbagai kuesioner—seperti ORTO-15, Düsseldorf Orthorexia Scale (DOS), hingga Eating Habits Questionnaire—dan menghasilkan rentang angka yang sangat lebar. Sebuah ulasan literatur menemukan bahwa prevalensi perilaku orthoreksia di berbagai negara dan populasi berkisar dari sekitar 6–7 persen hingga lebih dari 80 persen, tergantung alat ukur dan batas nilai yang digunakan. Studi lain pada sampel mahasiswa di Amerika Serikat menemukan bahwa meski 71 persen responden masuk kategori skor orthoreksia berdasarkan ORTO-15, kurang dari 1 persen yang benar-benar memenuhi kriteria gangguan makan serius dengan gangguan fungsi sehari-hari yang nyata. Temuan ini menegaskan bahwa banyak orang mungkin memiliki kecenderungan perfeksionis soal makanan tanpa semuanya jatuh ke titik gangguan klinis.
Meski angka penelitian belum konsisten, banyak terapis dan klinisi melaporkan bahwa mereka melihat lebih banyak pasien dengan pola pikir orthoreksik dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini terjadi beriringan dengan ledakan konten “clean eating”, diet bebas gluten tanpa indikasi medis, hingga gerakan anti-gula dan anti-“processed food” yang sering dibungkus klaim ilmiah setengah matang.
Media sosial memainkan peran besar dalam pergeseran ini. Sebuah laporan menunjukkan bahwa konten bertema “clean eating” di TikTok dapat menumpuk puluhan juta tayangan, sementara tagar seperti “What I Eat in a Day” mendorong penayangan menu harian yang sering kali sangat restriktif dan dipuji sebagai ideal. Studi lain pada 2017 menemukan hampir separuh pengguna Instagram yang mengikuti akun “makanan sehat” menunjukkan gejala orthoreksia, menandakan korelasi kuat antara paparan konten tersebut dan pola pikir makan yang kaku.
Terapis sering menekankan bahwa orthoreksia hampir selalu berawal dari niat baik: ingin hidup lebih sehat, mengurangi risiko penyakit, atau merasa lebih bertenaga. Pada tahap awal, seseorang mungkin sekadar mengurangi makanan ultra-proses, memperbanyak sayur dan buah, atau mencoba memasak lebih banyak di rumah. Namun, seiring waktu, sebagian orang beralih dari fleksibilitas ke aturan kaku—memasukkan dan mengeluarkan kelompok makanan secara ekstrem, menghabiskan berjam-jam membaca label, hingga menarik diri dari kegiatan sosial yang melibatkan makanan.
Dalam kasus yang parah, obsesi pada kemurnian makanan ini dapat menyebabkan kekurangan gizi, penurunan berat badan signifikan, gangguan menstruasi, atau masalah medis lain, meski asupan kalorinya tampak cukup. Secara psikologis, orthoreksia sering berkaitan dengan perfeksionisme, kecemasan, dan kebutuhan tinggi akan kontrol. Para peneliti mencatat bahwa orthoreksia juga ditemukan pada kelompok berisiko tinggi seperti atlet, pekerja kesehatan, dan individu yang sangat peduli citra tubuh.
Menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk merencanakan, meneliti, atau menyiapkan makanan “sehat”, hingga mengganggu pekerjaan, studi, atau relasi sosial.
Rasa takut berlebihan terhadap bahan atau kelompok makanan tertentu (misalnya semua gula, semua karbohidrat, semua lemak), meski tidak ada indikasi medis seperti alergi atau penyakit khusus.
Kecemasan, rasa bersalah, atau jijik yang intens ketika menyimpang sedikit saja dari aturan makan yang dibuat sendiri.
Menghindari acara sosial, makan di luar rumah, atau situasi di mana tidak bisa mengontrol penuh bahan dan cara memasak makanan.
Merasa moral atau “lebih suci” dibanding orang lain berdasarkan apa yang dimakan atau tidak dimakan.
Salah satu tantangan terbesar dalam menangani orthoreksia adalah membedakan antara perilaku makan sehat yang adaptif dan pola makan yang sudah jatuh ke kategori gangguan. Peneliti menekankan bahwa hingga kini belum ada alat ukur tunggal yang benar-benar valid dan reliabel untuk menilai orthoreksia, sehingga angka prevalensi sangat bergantung pada kuesioner dan ambang skor yang dipakai.
Sebuah tinjauan sistematik terbaru terhadap 62 studi mencatat bahwa prevalensi orthoreksia pada populasi dewasa sangat beragam, mulai dari sekitar 2–3 persen hingga di atas 80 persen, dan menegaskan perlunya kriteria diagnostik yang lebih konsisten sebelum orthoreksia bisa diakui secara resmi sebagai gangguan tersendiri. Tanpa standar yang jelas, banyak kasus berisiko luput dari perhatian dokter umum maupun keluarga, terutama jika berat badan pasien terlihat “normal”.
Pendekatan terapi terhadap orthoreksia umumnya mirip dengan penanganan gangguan makan lain: kombinasi konseling psikologis, terapi kognitif-perilaku, dan pendampingan nutrisi. Terapis berupaya membantu pasien mengidentifikasi pikiran hitam-putih tentang makanan, menantang keyakinan tidak realistis (misalnya, bahwa satu bahan tertentu pasti menyebabkan penyakit berat), dan membangun kembali kepercayaan pada sinyal lapar dan kenyang tubuh.
Pada saat yang sama, edukasi nutrisi berbasis bukti menjadi kunci—termasuk menjelaskan perbedaan antara makan sehat yang fleksibel dan pola makan yang justru berisiko menimbulkan defisiensi vitamin, mineral, atau energi. Banyak ahli menekankan pentingnya pendekatan tanpa menghakimi, mengingat obsesi makan sehat ini sering kali berakar pada kecemasan mendalam terkait kesehatan diri dan keluarga.
Tren wellness dan perhatian pada gizi sebenarnya membawa banyak sisi positif: mendorong masyarakat mengurangi konsumsi gula tambahan, lemak trans, dan makanan ultra-proses, serta memperbanyak makanan utuh. Namun, ketika pesan “makan sehat” digabung dengan ketakutan, perfeksionisme, dan arus informasi menyesatkan di media sosial, sebagian orang justru terseret ke dalam pola pikir orthoreksik yang menguras fisik dan mental.
Para terapis mengingatkan bahwa indikator makan sehat bukan hanya apa yang ada di piring, tetapi juga bagaimana hubungan kita dengan makanan: apakah ada ruang untuk fleksibilitas, kebersamaan, dan kenikmatan, atau semuanya digantikan rasa takut, rasa bersalah, dan isolasi sosial. Di tengah meningkatnya perhatian terhadap orthoreksia, pesan yang mengemuka jelas: kesehatan sejati tidak hanya soal kemurnian menu, melainkan juga keseimbangan antara gizi, kesejahteraan mental, dan kehidupan sosial yang utuh.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.