Keputusan tiga kota global—Paris, Tokyo, dan Hong Kong—untuk membatalkan perayaan malam Tahun Baru 2026 mengejutkan banyak pihak. Selama ini, pesta pergantian tahun di tiga kota tersebut menjadi magnet wisata dunia, disiarkan langsung ke jutaan pemirsa dan menyedot kunjungan turis internasional. Pembatalan serentak memunculkan pertanyaan: apa yang sesungguhnya terjadi, dan bagaimana dampaknya terhadap ekonomi, pariwisata, serta cara dunia merayakan momen pergantian tahun di masa depan?
Secara historis, perayaan Tahun Baru di kota-kota besar bukan sekadar pesta kembang api, tetapi juga etalase identitas dan kekuatan ekonomi sebuah kota. Paris, misalnya, rutin menarik ratusan ribu orang ke kawasan Champs-Élysées dan sekitar Menara Eiffel untuk menyaksikan pertunjukan cahaya dan kembang api yang dikurasi pemerintah kota dan pemerintah pusat Prancis.
Hong Kong dikenal dengan pertunjukan kembang api spektakuler di sekitar Victoria Harbour yang ditopang latar gedung pencakar langit dan pertunjukan cahaya “A Symphony of Lights”, yang oleh Hong Kong Tourism Board dipromosikan sebagai salah satu hitung mundur Tahun Baru paling ikonik di Asia.
Tokyo, di sisi lain, memadukan tradisi modern dan kultural. Kawasan seperti Shibuya sering dibanjiri puluhan ribu orang untuk hitung mundur, sementara jutaan warga Jepang menjalankan tradisi hatsumode—kunjungan pertama ke kuil Shinto atau Buddha pada awal tahun—yang menurut data Japan National Tourism Organization melibatkan ratusan juta kunjungan ke kuil dalam beberapa hari pertama Januari setiap tahunnya.
Meski alasan resmi pembatalan Tahun Baru 2026 berbeda di tiap kota, ada pola besar yang mengemuka: kekhawatiran keamanan, risiko iklim ekstrem, dan tekanan anggaran publik. Dalam beberapa tahun terakhir, kota-kota besar semakin sering meninjau ulang acara massal setelah meningkatnya ancaman teror, kerusuhan kerumunan, hingga cuaca yang kian tak menentu.
Di Eropa, Paris telah berulang kali memperketat keamanan setelah serangkaian serangan teroris pada 2015 yang mendorong pemerintah Prancis menetapkan keadaan darurat berkepanjangan, sebagaimana tercatat oleh Kementerian Dalam Negeri Prancis. Risiko kerumunan besar dalam ruang terbuka, terutama pada malam hari, menjadi tantangan logistik dan keamanan yang mahal bagi otoritas lokal.
Dari sisi lingkungan, tekanan untuk mengurangi polusi udara dan suara turut memainkan peran. Studi yang dipublikasikan di The BMJ menunjukkan bahwa kembang api malam Tahun Baru dapat meningkatkan kadar partikel halus (PM10 dan PM2.5) hingga beberapa kali lipat normal, sementara laporan European Environment Agency menegaskan kontribusi kembang api terhadap lonjakan polusi jangka pendek di sejumlah kota besar Eropa setiap pergantian tahun.
Tekanan anggaran pascapandemi Covid-19 juga belum sepenuhnya mereda. Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), banyak pemerintah lokal di seluruh dunia masih berhadapan dengan defisit anggaran dan prioritas pengeluaran yang bergeser ke layanan publik esensial seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur adaptasi iklim. Dalam konteks tersebut, perayaan kembang api raksasa—yang bisa menelan biaya jutaan euro atau dolar—kian sulit dipertahankan tanpa kritik publik.
Pembatalan perayaan Tahun Baru berdampak langsung pada sektor pariwisata dan ekonomi lokal. UN World Tourism Organization (UNWTO) mencatat bahwa periode libur akhir tahun (Desember–Januari) merupakan salah satu musim puncak perjalanan global, dengan jutaan wisatawan melakukan perjalanan internasional untuk berlibur dan merayakan pergantian tahun. Kota-kota dengan reputasi perayaan spektakuler biasanya menikmati lonjakan okupansi hotel, belanja ritel, dan konsumsi di restoran serta bar.
Studi yang dilakukan oleh Oxford Economics menunjukkan bahwa belanja wisatawan internasional dapat menyumbang hingga beberapa persen terhadap PDB kota-kota destinasi utama, dengan konsentrasi signifikan pada periode liburan. Tanpa acara besar seperti perayaan Tahun Baru, kota-kota seperti Paris, Tokyo, dan Hong Kong berpotensi kehilangan jutaan dolar pemasukan langsung dan tidak langsung: mulai dari pajak hotel, tiket transportasi, hingga transaksi UMKM lokal.
Bagi pelaku industri pariwisata, pembatalan ini menambah lapisan ketidakpastian. Pandemi sebelumnya telah mengurangi kedatangan wisatawan internasional hingga sekitar 72 persen pada 2020 dibandingkan 2019, menurut laporan UNWTO tentang dampak Covid-19 pada pariwisata global. Walaupun pemulihan telah berlangsung, ketergantungan pada acara massal sebagai penarik wisatawan menempatkan pelaku industri pada risiko setiap kali terjadi pembatalan mendadak atau perubahan kebijakan keamanan publik.
Meskipun pembatalan Tahun Baru 2026 tidak secara eksplisit dikaitkan dengan pandemi, pengalaman Covid-19 masih membayangi keputusan kebijakan terkait kerumunan besar. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang manajemen kerumunan dalam konteks penyakit menular menekankan bahwa acara massal dapat menjadi penguat penyebaran virus jika tidak dikelola dengan protokol kesehatan yang ketat, mulai dari kapasitas peserta hingga sistem ventilasi dan mobilitas pengunjung sebelum-sesudah acara.
Banyak otoritas kota juga menyadari bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan kerap berada di bawah tekanan tinggi selama musim dingin akibat peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan. Analisis Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat tentang pola musiman influenza dan virus pernapasan lain menunjukkan bahwa puncak aktivitas influenza di belahan bumi utara umumnya terjadi antara Desember dan Februari—bertepatan dengan perayaan Tahun Baru. Kombinasi musim penyakit dan kerumunan besar menjadi salah satu pertimbangan kota-kota besar ketika mengevaluasi risiko kesehatan publik.
Meskipun perayaan sentral berskala besar dibatalkan, bukan berarti pergantian tahun akan sepi. Sebaliknya, tren global menunjukkan pergeseran ke bentuk perayaan yang lebih kecil, tersebar, dan berkelanjutan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kota besar mulai mengganti kembang api tradisional dengan pertunjukan drone atau laser yang lebih ramah lingkungan dan dapat dikendalikan dengan presisi tinggi, sebagaimana dicontohkan oleh acara Tahun Baru di Singapura yang memadukan pertunjukan cahaya dan proyeksi sebagai alternatif kembang api besar-besaran di setiap sudut kota.
Di sisi lain, acara daring atau hybrid—yang berkembang pesat selama pandemi—masih menawarkan opsi bagi kota-kota untuk tetap menghadirkan pengalaman visual bagi publik tanpa mengundang kerumunan masif. Laporan McKinsey & Company tentang percepatan digital selama pandemi mencatat bahwa konsumen di seluruh dunia kian terbiasa dengan pengalaman hiburan virtual, dari konser hingga festival, yang dapat diadaptasi untuk momen pergantian tahun.
Pembatalan perayaan Tahun Baru 2026 di Paris, Tokyo, dan Hong Kong mencerminkan perubahan zaman: kota-kota besar kini harus menyeimbangkan citra sebagai pusat hiburan global dengan kewajiban menjaga keamanan, kesehatan publik, stabilitas anggaran, dan keberlanjutan lingkungan. Di tengah tekanan ini, tradisi perayaan Tahun Baru mungkin bergeser dari spektakel massal terpusat menuju rangkaian aktivitas yang lebih beragam, tersebar, dan inklusif—baik secara fisik maupun digital.
Bagi warga dan wisatawan, momen pergantian tahun mungkin akan semakin kurang tentang seberapa besar kembang api di langit kota, dan lebih tentang bagaimana merayakan secara aman, sehat, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar di kota mana kita menghitung mundur, tetapi bagaimana kota-kota di seluruh dunia mendesain ulang cara merayakan awal tahun agar selaras dengan tantangan abad ke-21.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.