Kamboja Tarik Semua Atlet dari SEA Games 2025 Imbas Ketegangan dengan Thailand
Keputusan mendadak Kamboja menarik seluruh kontingen dari SEA Games 2025 di Thailand menandai salah satu krisis diplomatik paling serius dalam sejarah pesta olahraga Asia Tenggara. Pengumuman yang disampaikan pada 10 Desember 2025 itu datang hanya sehari setelah upacara pembukaan di Stadion Rajamangala, Bangkok, dan dilakukan di tengah eskalasi konflik bersenjata di perbatasan kedua negara.
Keputusan Mengejutkan Setelah Upacara Pembukaan
Menurut laporan kantor berita internasional, Kamboja secara resmi mengumumkan penarikan penuh delegasi dari SEA Games pada 10 Desember 2025, dengan alasan utama kekhawatiran serius atas keselamatan atlet dan ofisial di tengah pertempuran yang kembali berkobar di sepanjang perbatasan dengan Thailand. Laporan itu menyebutkan bahwa meski sekitar 30 atlet dan ofisial Kamboja telah mengikuti defile dan upacara pembukaan pada 9 Desember, mereka diminta meninggalkan ajang sebelum cabang olahraga apa pun dimulai. Keputusan tersebut mempertegas bagaimana konflik geopolitik kini secara langsung mengganggu salah satu simbol persatuan kawasan, yakni SEA Games.
Konteks ini semakin dramatis mengingat SEA Games 2025 — edisi ke-33 — digelar di Bangkok dan Chonburi, Thailand, dengan partisipasi 11 negara Asia Tenggara, 9.366 atlet, serta 574 nomor pertandingan dari 50 cabang olahraga. Ajang ini awalnya diproyeksikan sebagai pesta olahraga terbesar kedua dalam sejarah SEA Games setelah Phnom Penh 2023.
Dari Pengurangan Cabang ke Penarikan Total
Penarikan total Kamboja dari SEA Games bukanlah langkah yang terjadi dalam semalam. Sejak akhir November 2025, tanda-tanda ketegangan sudah tampak ketika Komite Olimpiade Nasional Kamboja (NOCC) mengirim surat kepada Federasi SEA Games untuk menyatakan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi di delapan cabang olahraga, termasuk sepak bola putra, pencak silat, judo, karate, gulat, wushu, petanque, dan sepak takraw, dengan alasan “kekhawatiran keamanan yang signifikan”. Langkah itu menurunkan jumlah atlet yang diberangkatkan dari 333 menjadi sekitar 150 orang, yang semula direncanakan bertanding di 13 cabang.
Dalam pernyataan resmi, NOCC menekankan bahwa penyesuaian tersebut semata-mata dilakukan demi “memastikan keselamatan dan perlindungan atlet serta ofisial”. Sekretaris Jenderal NOCC Vath Chamroeun menolak mengaitkan pemangkasan cabang itu secara langsung dengan sengketa perbatasan, namun mengakui bahwa pengurangan kontingen akan memudahkan pengawasan keamanan masing-masing anggota tim.
Namun, eskalasi pertempuran di perbatasan pada awal Desember mengubah kalkulasi politik dan keamanan di Phnom Penh. Media regional yang mengutip pejabat olahraga Kamboja melaporkan bahwa Kamboja akhirnya memutuskan menarik diri sepenuhnya dari 12 cabang tersisa — termasuk renang, atletik, esports, anggar, senam, ju-jitsu, kickboxing, taekwondo, berkuda, jetski, triathlon, dan teqball — yang semula masih dipertahankan dengan 110 atlet. Penarikan ini memaksa panitia mengubah jadwal beberapa lomba yang mestinya dimulai pada 11 Desember, terutama di cabang renang, ju-jitsu, taekwondo, dan senam.
Latar Belakang: Konflik Perbatasan yang Memanas
Penarikan Kamboja terjadi di tengah konflik bersenjata yang kembali memanas sepanjang hampir 800 km garis perbatasan kedua negara. Pertempuran yang pecah kembali pada awal Desember digambarkan sebagai yang terburuk sejak bentrokan mematikan selama lima hari pada Juli 2025, yang menewaskan sedikitnya 48 orang. Sengketa terutama berpusat pada sejumlah kawasan kuil dan situs bersejarah di wilayah perbatasan yang garis demarkasinya masih diperdebatkan sejak era kolonial Prancis.
Laporan media internasional dan regional menyebutkan bahwa pertempuran terbaru telah menewaskan lebih dari selusin orang, melukai puluhan lainnya, dan memaksa ratusan ribu warga di kedua sisi perbatasan mengungsi. Financial Times memperkirakan sekitar 500.000 orang telah terdampak dan terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak kekerasan kembali pecah pada awal Desember, menjadikannya salah satu krisis pengungsian terbesar di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir.
Kementerian Kebudayaan dan Seni Rupa Kamboja juga mengecam keras serangan militer Thailand di sekitar kompleks candi Prasat Ta Krabey dan kawasan dekat Kuil Preah Vihear, yang disebut telah merusak situs warisan budaya serta fasilitas konservasi yang didukung proyek kerja sama Kamboja–India. Dalam konteks inilah, penarikan dari SEA Games dibingkai pemerintah Kamboja sebagai langkah perlindungan atas warga negaranya di luar negeri, bukan semata tindakan politis untuk mempermalukan tuan rumah.
Dampak pada Jadwal Pertandingan dan Citra SEA Games
Bagi panitia SEA Games 2025 di Thailand, keluarnya Kamboja menambah satu lagi lapisan kompleksitas di atas tantangan logistik menyelenggarakan 574 nomor pertandingan yang tersebar di sejumlah kota dan venue. Sebelumnya, pengunduran Kamboja dari sepak bola putra telah memaksa panitia mengubah komposisi grup dan jadwal pertandingan, dengan memindahkan Singapura ke Grup A untuk mengisi posisi kosong yang ditinggalkan Kamboja.
Pejabat Otoritas Olahraga Thailand (SAT), Gongsak Yodmani, sebelumnya menegaskan bahwa Thailand telah menyiapkan skenario ganda: memperkuat pengamanan dan melipatgandakan personel jika atlet Kamboja tetap datang, atau menyesuaikan kembali jadwal dan format kompetisi jika mereka memutuskan untuk tidak berpartisipasi sama sekali. Dengan penarikan penuh kini dikonfirmasi, beban itu beralih ke penataan ulang jadwal sejumlah cabang di mana Kamboja semula menjadi salah satu peserta kunci.
Dari sisi citra, absennya Kamboja — yang dua tahun sebelumnya menjadi tuan rumah SEA Games 2023 dan finis di peringkat keempat perolehan medali keseluruhan — memberi bayangan politisasi yang semakin berat atas ajang regional ini. Selama beberapa dekade, SEA Games diklaim sebagai wadah “sport diplomacy” dan persahabatan, namun sengketa terbaru memperlihatkan betapa rapuhnya idealisme itu ketika berhadapan dengan konflik teritorial dan nasionalisme domestik.
Reaksi Regional dan Upaya Mediasi
Krisis Kamboja–Thailand ini juga menguji mekanisme diplomasi ASEAN dan peran komunitas internasional. Amerika Serikat, yang sebelumnya memfasilitasi gencatan senjata pada pertengahan 2025, menyerukan kedua pihak untuk kembali pada kesepakatan deeskalasi yang diteken di bawah kerangka ASEAN pada Oktober lalu. Presiden AS Donald Trump bahkan secara terbuka menyatakan akan kembali menghubungi langsung para pemimpin Thailand dan Kamboja untuk mendorong penghentian tembak-menembak, menyebut konflik ini sebagai ujian baru atas komitmen “perdamaian melalui kekuatan” yang ia gaungkan.
Di kawasan, para pengamat menilai langkah Kamboja menarik diri dari SEA Games berpotensi memicu preseden baru: negara-negara mungkin menjadikan ajang olahraga multinasional sebagai instrumen tawar-menawar politik ketika sengketa bilateral memanas. Sebagian analis memperingatkan bahwa jika krisis ini tidak segera diredakan, edisi-edisi SEA Games berikutnya di Malaysia (2027) dan Singapura (2029) terancam dibayangi isu serupa, terutama jika sengketa perbatasan dan nasionalisme teritorial tidak ditangani secara tuntas di meja perundingan regional.
Apa Artinya bagi Atlet dan Masa Depan SEA Games?
Di balik manuver politik dan diplomatik, yang paling terdampak dari keputusan ini adalah atlet. Bagi banyak atlet Kamboja, SEA Games bukan hanya panggung prestasi, melainkan juga pintu menuju kompetisi level Asia dan dunia. Pada SEA Games 2023 di Phnom Penh, Kamboja meraih total 282 medali — 81 emas, 74 perak, dan 127 perunggu — prestasi terbaik mereka sepanjang sejarah partisipasi di ajang tersebut. Dua tahun kemudian, para atlet yang sama kini harus menyaksikan dari jauh ketika rekan-rekan mereka di kawasan berlaga di Bangkok, tanpa kepastian kapan mereka bisa kembali ke panggung multievent terbesar di Asia Tenggara itu.
Bagi SEA Games sendiri, kasus Kamboja–Thailand menjadi alarm keras bahwa netralitas dan keamanan ajang olahraga tidak bisa lagi dianggap sebagai hal yang otomatis terjamin. Penyelenggara di masa depan mungkin perlu menyusun protokol risiko yang jauh lebih ketat, termasuk skenario kontinjensi jika tuan rumah atau peserta terlibat konflik terbuka. Di sisi lain, ASEAN dihadapkan pada pertanyaan sulit: sejauh mana mereka bersedia dan mampu menggunakan olahraga sebagai sarana rekonsiliasi, bukan medan perpanjangan rivalitas politik.
Penutup: Ketika Lapangan Olahraga Terseret ke Medan Konflik
Penarikan penuh Kamboja dari SEA Games 2025 di Thailand menjadi ilustrasi tajam bagaimana garis batas antara olahraga dan politik kian menipis. Dari pengurangan cabang, pemangkasan kontingen, hingga keputusan meninggalkan ajang sehari setelah upacara pembukaan, rangkaian peristiwa ini merefleksikan perubahan cepat situasi keamanan di perbatasan dan kalkulasi politik di ibu kota kedua negara.
Di lapangan, Thailand tetap berusaha memastikan penyelenggaraan SEA Games berjalan sesuai rencana, dengan ribuan atlet dari 10 negara lain yang masih bertanding memperebutkan ratusan medali. Namun absennya Kamboja, dengan reputasi sebagai tuan rumah edisi sebelumnya sekaligus kekuatan baru di beberapa cabang seperti kun Khmer dan e-sports, meninggalkan kekosongan simbolis yang sulit diabaikan.
Apakah konflik perbatasan ini akan menjadi titik balik menuju perundingan damai yang lebih serius, atau justru menandai babak baru politisasi olahraga di Asia Tenggara, masih akan sangat ditentukan oleh langkah-langkah diplomatik dalam pekan dan bulan mendatang. Untuk saat ini, SEA Games 2025 akan tercatat dalam sejarah bukan hanya karena rekor jumlah nomor pertandingan, melainkan juga karena satu negara anggota ASEAN memilih meninggalkan pesta olahraga demi menghindari bahaya perang yang kian mendekat.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.