Bantuan 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) yang sempat menuai polemik setelah dikabarkan dikembalikan oleh Pemerintah Kota Medan, ternyata tidak jadi dikirim balik ke negara asal. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa bantuan tersebut kini tetap berada di Indonesia dan disalurkan kepada warga terdampak bencana melalui jaringan kemanusiaan Muhammadiyah.
Image Illustration. Photo by Zoshua Colah on Unsplash
Keputusan ini mengoreksi langkah awal pemerintah daerah yang sebelumnya memulangkan bantuan tersebut dengan mengacu pada kebijakan pemerintah pusat terkait penerimaan bantuan asing. Di tengah kritik publik dan derasnya arus informasi di media sosial, kejelasan soal status dan nasib 30 ton beras ini menjadi penting: dari mana sebenarnya bantuan itu berasal, mengapa sempat dikembalikan, dan di mana posisinya sekarang?
Polemik bermula ketika Wali Kota Medan, Rico Waas, mengumumkan bahwa bantuan kemanusiaan sebanyak 30 ton beras yang dikirim dari UEA untuk korban banjir di Medan dikembalikan ke pengirim. Bantuan itu sebelumnya diterima di Gedung PKK Medan dan diklaim berasal dari Pemerintah UEA, lengkap dengan tambahan 300 paket sembako, 300 paket perlengkapan bayi, dan 300 paket perlengkapan ibadah. Pernyataan pengembalian disampaikan Rico setelah dilakukan koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Pertahanan, dengan alasan mengikuti arahan pemerintah pusat yang saat ini menolak bantuan asing untuk penanganan bencana di Sumatra. Keputusan itu kemudian memicu perdebatan luas, mengingat skala bencana banjir yang melanda Medan dan sekitarnya serta masih banyaknya warga yang membutuhkan bantuan logistik dasar.
Kebijakan pengembalian bantuan itu kemudian mendapatkan koreksi di tingkat pusat. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa bantuan 30 ton beras tersebut bukan berasal dari Pemerintah UEA secara pemerintah-ke-pemerintah (G2G), melainkan dari organisasi kemanusiaan Red Crescent (Bulan Sabit Merah) UEA. Dalam konferensi pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Tito menuturkan bahwa klarifikasi ini diperoleh setelah komunikasi langsung dengan Duta Besar UEA di Jakarta, yang menegaskan bahwa pengiriman beras dilakukan oleh lembaga kemanusiaan, bukan oleh pemerintah.
Perbedaan sumber bantuan inilah yang menjadi titik krusial. Pemerintah pusat saat ini memang menerapkan kebijakan ketat terhadap bantuan asing untuk bencana di Sumatra, terutama yang bersifat bantuan antarnegara. Namun, ruang untuk dukungan dari organisasi non-pemerintah internasional masih dimungkinkan selama sesuai dengan koridor regulasi dan mekanisme koordinasi yang berlaku.
Setelah klarifikasi sumber bantuan, pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan proses pengembalian. Tito Karnavian memastikan bahwa 30 ton beras itu tetap berada di Indonesia dan dialihkan penyalurannya melalui jaringan kemanusiaan Muhammadiyah, yang telah aktif membuka posko dan layanan bantuan di wilayah terdampak banjir dan longsor di Sumatra Utara.
Dalam pernyataannya, Tito menyebut bahwa beras tersebut kini resmi diserahkan kepada Muhammadiyah Medical Center untuk kemudian didistribusikan kepada warga terdampak bencana. Ia menegaskan, keputusan ini diambil atas kesepakatan dengan berbagai pihak yang terlibat dalam respons bencana. Pernyataan bahwa "beras ini sekarang sudah ada di tangan Muhammadiyah" menandai berakhirnya ketidakpastian status bantuan dan memberikan kepastian bahwa bantuan akan benar-benar menjangkau korban di lapangan.
Dengan keputusan terbaru pemerintah pusat, 30 ton beras bantuan Red Crescent UEA kini secara de facto berada di bawah pengelolaan jaringan Muhammadiyah. Beras tersebut didistribusikan melalui posko kemanusiaan Muhammadiyah di wilayah banjir Medan dan daerah terdampak lain di Sumatra Utara, yang sejak awal sudah mengoperasikan layanan tanggap darurat, mulai dari dapur umum hingga layanan kesehatan lapangan.
Muhammadiyah sendiri merupakan salah satu organisasi kemanusiaan terbesar di Indonesia dengan pengalaman panjang dalam penanganan bencana, mulai dari tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, hingga berbagai bencana banjir dan gempa dalam dua dekade terakhir. Kapasitas lembaga ini tercermin, antara lain, dari jaringan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang diakui pemerintah dan kerap menjadi mitra resmi dalam operasi tanggap darurat nasional. Penempatan bantuan di tangan Muhammadiyah diharapkan mempercepat distribusi karena lembaga ini sudah memiliki basis relawan, logistik, dan akses langsung ke komunitas terdampak.
Kontroversi 30 ton beras ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kebijakan nasional terkait bantuan asing. Pemerintah pusat, di bawah Presiden Prabowo Subianto, tengah menekankan kemandirian dalam penanganan bencana di Sumatra, termasuk menyatakan penolakan terhadap bantuan negara lain untuk tahap awal respons bencana. Kebijakan penolakan bantuan asing semacam ini bukan hal baru dalam penanganan bencana di Indonesia; misalnya, pada sebagian fase tanggap darurat gempa Lombok 2018 dan gempa Palu 2018, pemerintah juga sempat membatasi skema bantuan internasional untuk menjaga koordinasi dan kedaulatan penanganan di dalam negeri.
Namun, dalam kasus Medan, perbedaan antara bantuan pemerintah asing dan organisasi non-pemerintah tampak belum dipahami secara seragam di tingkat daerah. Kekeliruan mengidentifikasi sumber bantuan—apakah dari pemerintah UEA atau lembaga kemanusiaannya—membuat pemerintah daerah memilih langkah paling hati-hati: mengembalikan seluruh bantuan agar tidak melanggar kebijakan pusat. Baru setelah ada klarifikasi dari Kemendagri dan perwakilan diplomatik UEA, jalur distribusi yang baru disepakati.
Dalam konteks bencana banjir, 30 ton beras bukan sekadar angka. Jika diasumsikan satu keluarga penerima bantuan memperoleh 10 kilogram beras, maka 30.000 kilogram beras dapat menjangkau sekitar 3.000 keluarga terdampak. Dengan rata-rata rumah tangga Indonesia berisi 3–4 orang, bantuan itu berpotensi memenuhi kebutuhan pangan 9.000 hingga 12.000 jiwa untuk beberapa hari masa darurat.
Data resmi menunjukkan bahwa banjir dan longsor di Sumatra Utara dalam beberapa tahun terakhir kerap memaksa ribuan warga mengungsi dan kehilangan akses terhadap pangan dan air bersih. Dalam laporan tahunan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa banjir merupakan jenis bencana paling sering terjadi di Indonesia, dengan lebih dari 1.600 kejadian banjir pada 2023 yang berdampak pada hampir 3 juta jiwa secara nasional, termasuk di Sumatra Utara. Dalam situasi semacam ini, setiap tambahan stok beras dan logistik bisa menjadi pembeda antara ketercukupan dan kekurangan di dapur umum pengungsian.
Kasus bantuan 30 ton beras dari UEA menggarisbawahi pentingnya transparansi dan koordinasi lintas level pemerintahan dalam pengelolaan bantuan bencana. Di satu sisi, pemerintah pusat berhak menetapkan kebijakan makro terkait penerimaan bantuan asing. Di sisi lain, pemerintah daerah berada di garis depan melihat langsung kebutuhan warga dan tekanan sosial di lapangan.
Minimnya komunikasi publik yang jelas pada fase awal membuat ruang spekulasi melebar: dari tudingan politisasi bantuan hingga kritik moral karena mengembalikan bantuan yang sebenarnya dibutuhkan warga. Klarifikasi cepat dari Kemendagri, penegasan bahwa bantuan berasal dari lembaga nonpemerintah, serta pengalihan ke jaringan penyalur tepercaya seperti Muhammadiyah menjadi langkah korektif yang meredam sebagian kegaduhan, namun tetap menyisakan catatan penting mengenai tata kelola komunikasi risiko dan krisis.
Pada akhirnya, pertanyaan utama publik—“di mana sekarang 30 ton beras bantuan UEA itu?”—telah terjawab. Bantuan tersebut tidak jadi dikembalikan ke luar negeri, melainkan tetap berada di Indonesia dan disalurkan melalui Muhammadiyah untuk korban banjir di Medan dan sekitarnya.
Kasus ini menunjukkan betapa sensitifnya isu bantuan kemanusiaan di tengah situasi bencana dan dinamika politik nasional. Di satu sisi, kedaulatan dan kemandirian negara menjadi pertimbangan utama; di sisi lain, hak warga terdampak untuk segera mendapatkan bantuan juga tidak boleh dikesampingkan. Di antara dua kutub itu, akurasi informasi, kejelasan regulasi, dan kecepatan koordinasi menjadi kunci agar bantuan—apa pun sumbernya—tidak berhenti di tengah jalan, tetapi benar-benar sampai ke piring warga yang membutuhkan.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.