Langkah terbaru Gedung Putih di bawah Presiden Donald J. Trump menandai perubahan besar dalam kebijakan federal Amerika Serikat terhadap ganja medis dan produk cannabidiol (CBD). Melalui sebuah lembar fakta resmi yang dirilis 18 Desember 2025, pemerintahan Trump mengumumkan serangkaian kebijakan untuk mempercepat riset ganja medis dan CBD, sekaligus membuka jalan bagi regulasi yang lebih jelas untuk pasien, dokter, dan industri kesehatan.
Image Illustration. Photo by CRYSTALWEED cannabis on Unsplash
Selama beberapa dekade, ganja diklasifikasikan sebagai zat Golongan I (Schedule I) dalam Undang-Undang Zat Terkendali (Controlled Substances Act/CSA), bersama heroin dan LSD. Klasifikasi ini berarti pemerintah federal menganggap ganja tidak memiliki manfaat medis yang diterima dan berpotensi tinggi disalahgunakan.
Ironisnya, di tingkat negara bagian, tren justru bergerak sebaliknya. Per akhir 2025, 40 negara bagian plus District of Columbia telah melegalkan ganja medis melalui skema regulasi lokal, sementara puluhan juta warga Amerika menggunakannya untuk beragam kondisi kesehatan. FDA sendiri sebelumnya sudah menyetujui beberapa obat turunan cannabinoid, termasuk Epidiolex, obat berbasis CBD yang disetujui pada 2018 untuk mengobati dua jenis epilepsi langka.
Melalui Perintah Eksekutif terbarunya, Presiden Trump mengarahkan Jaksa Agung untuk mempercepat proses mengubah status ganja dari Schedule I ke Schedule III di bawah CSA. Perubahan ini, apabila tuntas, akan menempatkan ganja pada kategori yang sama dengan obat-obatan seperti kodein dan beberapa steroid, yang diakui memiliki manfaat medis namun tetap diawasi penggunaan dan distribusinya.
Pergeseran ke Schedule III memiliki implikasi besar bagi komunitas riset. Status Schedule I selama ini menciptakan hambatan administratif berat: peneliti harus melalui prosedur perizinan berlapis, akses ke bahan ganja yang disetujui federal sangat terbatas, dan pendanaan publik pun relatif kaku. Dengan klasifikasi baru, proses persetujuan studi klinis dan distribusi produk untuk riset diharapkan menjadi lebih efisien, serupa dengan skema yang berlaku untuk obat-obatan Schedule III lainnya.
Fakta yang dirilis Gedung Putih menyoroti seberapa luas ganja medis telah terintegrasi dalam praktik klinis di tingkat negara bagian. Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan (HHS) menemukan bahwa sekitar 30.000 tenaga kesehatan berlisensi di Amerika Serikat memiliki wewenang merekomendasikan ganja medis kepada lebih dari enam juta pasien terdaftar untuk sedikitnya 15 kondisi medis. Angka ini menunjukkan bahwa praktik penggunaan ganja sebagai terapi telah melampaui kerangka hukum federal yang masih tertinggal.
FDA, setelah meninjau lanskap praktik medis di negara bagian, melaporkan adanya dukungan ilmiah yang kredibel untuk penggunaan ganja dalam menangani anoreksia terkait kondisi medis, mual dan muntah, serta nyeri. Nyeri kronis sendiri diperkirakan memengaruhi hampir satu dari empat orang dewasa di AS, dan lebih dari sepertiga lansia. Sekitar 60% pengguna ganja medis melaporkan bahwa mereka menggunakan tanaman ini terutama untuk mengelola nyeri kronis.
Penggunaan meningkat pula di kelompok usia lanjut. Menurut data yang sama, sekitar satu dari sepuluh lansia di AS menggunakan ganja dalam satu tahun terakhir, dengan sejumlah penelitian yang menunjukkan perbaikan kualitas hidup terkait kesehatan dan pengurangan nyeri pada sebagian pengguna lanjut usia. Namun, lebih dari separuh orang tua yang menggunakan ganja mengaku belum pernah mendiskusikan penggunaannya dengan tenaga kesehatan mereka, menyoroti kesenjangan informasi klinis yang ingin diisi oleh kebijakan baru ini.
Jika ganja tanaman utuh masih berada dalam ranah kontrol ketat, situasi sedikit berbeda untuk produk berbasis rami (hemp) yang kadar THC-nya kurang dari 0,3%. Sejak Farm Bill 2018 melegalkan rami industri dan cannabidiol yang berasal dari rami di tingkat federal, pasar produk CBD berkembang pesat, dari minyak tetes hingga makanan dan kosmetik.
Lembar fakta Gedung Putih mencatat bahwa satu dari lima orang dewasa AS dan hampir 15% lansia melaporkan penggunaan CBD dalam setahun terakhir. Sejumlah studi menunjukkan pasien dengan nyeri kronis melaporkan perbaikan gejala dengan CBD, meski bukti klinis jangka panjang dan uji coba terkontrol acak masih terbatas.
Masalah utama saat ini adalah ketiadaan jalur regulasi FDA yang jelas untuk produk CBD non-resep. Hasil pengawasan acak FDA beberapa tahun terakhir menunjukkan variasi besar pada kadar CBD aktual dalam produk komersial dibanding label, bahkan ditemukan kontaminan seperti pestisida atau kandungan THC di atas batas. Di sisi lain, CBD dalam sediaan farmasi murni—seperti Epidiolex—telah melalui uji klinis ketat dan ditempatkan dalam jadwal yang lebih longgar (Schedule V) oleh DEA setelah persetujuan FDA.
Melalui Perintah Eksekutif baru, pemerintahan Trump meminta HHS mengembangkan metode riset berbasis data dunia nyata (real-world evidence) untuk menilai keamanan dan efektivitas produk cannabinoid berbasis rami, sekaligus bekerja sama dengan Kongres untuk merumuskan kerangka hukum bagi akses yang aman terhadap produk full-spectrum CBD sambil membatasi produk yang berisiko bagi kesehatan publik.
Salah satu fokus utama kebijakan ini adalah mengisi celah pengetahuan terkait efek jangka panjang ganja dan CBD, terutama pada kelompok rentan seperti remaja, dewasa muda, dan lansia dengan banyak komorbiditas. Dengan status Schedule III, lembaga akademik dan rumah sakit riset diperkirakan dapat lebih mudah melakukan studi longitudinal besar—bukan hanya uji klinis terkontrol, tetapi juga kohort observasional yang mencerminkan penggunaan di dunia nyata.
Selama ini, bukti manfaat ganja medis dan CBD sering kali datang dari studi kecil, laporan kasus, atau data dari negara bagian yang mengizinkan ganja medis. Badan seperti National Academies of Sciences pada 2017 menyimpulkan bahwa ada bukti kuat ganja efektif untuk nyeri kronis pada orang dewasa, namun menekankan perlunya penelitian lanjutan terkait risiko dan interaksi obat. Kebijakan baru di tingkat federal berpotensi memperkuat basis bukti ini dengan studi yang lebih sistematis dan representatif secara nasional.
Gedung Putih menempatkan kebijakan ganja medis dan CBD ini dalam konteks agenda kesehatan yang lebih luas. Dalam lembar fakta yang sama, pemerintahan Trump menyoroti langkah-langkah lain, mulai dari kesepakatan dengan produsen farmasi untuk menurunkan harga obat, transparansi harga layanan kesehatan, hingga investasi besar dalam infrastruktur kesehatan di wilayah pedesaan. Pendekatan pada ganja medis dan CBD diposisikan sebagai bagian dari upaya memastikan pasien—terutama lansia dan veteran—memiliki akses pada terapi yang efektif dengan landasan bukti ilmiah yang kuat.
Reskedul ganja ke Schedule III dan dorongan riset CBD jelas disambut positif oleh banyak peneliti dan pasien. Langkah ini dapat mendorong pengembangan obat baru turunan cannabinoid, memperluas pilihan terapi untuk nyeri kronis, epilepsi, gangguan gerak, hingga beberapa kondisi psikiatri yang selama ini memiliki opsi pengobatan terbatas. Di sisi industri, kepastian regulasi akan membuka pintu investasi baru dalam uji klinis dan produksi farmasi berbasis cannabinoid standar tinggi.
Namun, para ahli kesehatan masyarakat mengingatkan bahwa perlu kehati-hatian agar lonjakan akses tidak melampaui bukti ilmiah yang tersedia. Risiko penyalahgunaan, interaksi obat, dan dampak jangka panjang terhadap fungsi kognitif—terutama pada pengguna muda—masih menjadi area penelitian aktif. Kebijakan baru akan diuji sejauh mana ia mampu menyeimbangkan kebutuhan pasien terhadap terapi baru dengan perlindungan keselamatan publik, dan apakah pemerintah federal benar-benar akan mendukung pendanaan riset dalam skala yang diperlukan.
Untuk saat ini, satu hal menjadi jelas: dengan mengakui manfaat medis ganja dan mempercepat riset CBD, pemerintahan Trump menggeser perdebatan nasional dari pertanyaan “apakah ganja punya manfaat medis” menjadi “bagaimana memanfaatkannya secara aman, efektif, dan bertanggung jawab”. Jawaban atas pertanyaan kedua inilah yang kini menjadi pekerjaan rumah bagi ilmuwan, regulator, politisi, dan masyarakat luas.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.