Bomber Nuklir Rusia Gabung Patroli China Dekat Jepang: Pamer Kekuatan di Langit Asia Timur

AI-assistedNewsFrasa

7 Min to read

Rusia dan China kembali mengirim pesan tegas ke Tokyo dan sekutunya. Dua pembom strategis Tu-95 milik Rusia yang mampu membawa hulu ledak nuklir bergabung dalam patroli udara jarak jauh dengan dua pembom H-6 milik China di sekitar Jepang pada 10 Desember 2025, memicu respons cepat dari Pasukan Bela Diri Udara Jepang (JASDF) yang segera mengerahkan jet tempur untuk mengawasi pergerakan mereka. Patroli gabungan ini disebut Kementerian Pertahanan Jepang sebagai “pamer kekuatan yang jelas diarahkan kepada Jepang”, di tengah memburuknya hubungan Tokyo–Beijing dan semakin eratnya kemitraan militer Beijing–Moskow.

Rincian Manuver: Delapan Jam Patroli di Sekitar Jepang

Menurut Kementerian Pertahanan Jepang, dua pembom strategis Tu-95 Rusia terbang dari Laut Jepang menuju Laut China Timur untuk bertemu dengan dua pembom H-6 China sebelum melakukan “penerbangan gabungan jarak jauh” di atas Samudra Pasifik bagian barat, di lepas pantai Shikoku. Dalam fase berikutnya, empat jet tempur J-16 China mengawal formasi pembom saat mereka terbang bolak-balik di antara Pulau Okinawa dan Pulau Miyako, sebuah rute yang kerap digunakan militer China untuk menunjukkan kemampuan menembus rantai pulau pertama di Pasifik Barat.

Japan Times melaporkan bahwa patroli ini merupakan bagian dari patroli strategis ke-10 yang dilakukan kedua negara sejak 2019, dan berlangsung bersamaan dengan aktivitas pesawat peringatan dini Rusia A-50 dan dua jet tempur Su-30 di Laut Jepang. Kementerian Pertahanan China secara terpisah menegaskan bahwa patroli tersebut merupakan bagian dari “rencana kerja sama tahunan” antara kedua militer, dilakukan di atas Laut China Timur dan Pasifik barat, tanpa memasuki wilayah udara teritorial negara lain.

Reaksi Jepang: “Ancaman Serius” Bagi Keamanan Nasional

Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi menyebut patroli pembom nuklir Rusia–China ini sebagai “keprihatinan serius bagi keamanan nasional Jepang” dan menilai operasi tersebut “jelas dimaksudkan sebagai demonstrasi terhadap Jepang”. Dalam pernyataan di media sosial, ia menggarisbawahi bahwa frekuensi dan skala patroli gabungan menunjukkan ekspansi dan intensifikasi aktivitas militer kedua negara di sekitar Jepang, memaksa Tokyo untuk rutin mengerahkan jet tempur guna mengamankan wilayah udaranya.

Kementerian Pertahanan Jepang mencatat bahwa ini bukan insiden tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang menghadapi lonjakan signifikan dalam jumlah scramble (pengerahan darurat) jet tempur untuk mengidentifikasi pesawat asing di sekitar wilayah udaranya. Pada tahun fiskal 2023, JASDF melakukan lebih dari 800 scramble, dengan sekitar 66% diarahkan kepada pesawat China dan 30% kepada pesawat Rusia. Data ini menegaskan bahwa China dan Rusia kini menjadi dua sumber utama tekanan militer udara terhadap Jepang di kawasan.

Pesan dari Moskow dan Beijing: Solidaritas Strategis dan Peringatan ke AS

Patroli gabungan pembom strategis bukan sekadar latihan teknis. Sejak pertama kali dilakukan pada 2019, penerbangan semacam ini telah menjadi simbol kedekatan strategis antara Beijing dan Moskow, terutama setelah keduanya menandatangani deklarasi “kemitraan tanpa batas” pada Februari 2022, tepat sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Analis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai patroli gabungan – termasuk yang dilakukan dekat Alaska pada Juli 2024 – sebagai sinyal bahwa kedua negara siap memperluas kerja sama hingga ke domain kekuatan nuklir strategis, sekaligus menguji respons Amerika Serikat dan sekutunya.

Dalam insiden dekat Alaska itu, dua pembom Xian H-6K China dan dua Tu-95MS Rusia terdeteksi di Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Alaska, memicu respons jet tempur F-16 dan F-35 AS serta CF-18 Kanada. Meski tetap di luar wilayah udara kedaulatan, patroli tersebut menunjukkan kesediaan kedua negara untuk mengoperasikan pembom nuklir mereka jauh dari basis domestik, termasuk dari wilayah mitra, demi efek geopolitik maksimum. Laporan yang dikompilasi analis pertahanan juga menyebut bahwa hingga pertengahan 2024 setidaknya telah dilakukan sembilan patroli bersama, kebanyakan di atas Laut Jepang dan Laut China Timur, sebelum kemudian merambah hingga dekat Alaska.

Dimensi Nuklir: Tu-95 dan H-6, Tulang Punggung Deterrence

Baik Tu-95 Rusia maupun H-6 China digolongkan sebagai pembom strategis berkemampuan nuklir. Tu-95, yang mendapat kode NATO “Bear”, telah menjadi salah satu platform utama pencegahan nuklir udara Rusia sejak era Perang Dingin. Pesawat ini mampu membawa rudal jelajah jarak jauh dengan hulu ledak nuklir maupun konvensional. Di sisi lain, H-6 – turunan dari pembom Soviet Tu-16 yang diproduksi secara lisensi dan kemudian dikembangkan secara mandiri – telah di-upgrade dalam beberapa varian, termasuk H-6K dan H-6N yang memiliki jangkauan lebih jauh dan kemampuan serangan stand-off, menjadikannya salah satu komponen kunci triad nuklir China yang sedang tumbuh.

Pada patroli strategis ke-9 yang digelar November 2024, China untuk pertama kalinya mengerahkan H-6N yang mampu melakukan pengisian bahan bakar di udara. Media resmi militer China menyebut kemampuan ini secara signifikan memperluas jangkauan patroli dan cakupan daya gentar, menyamai atau bahkan melampaui jangkauan Tu-95 Rusia dalam operasi gabungan.

Respons Amerika Serikat dan Sekutu: Latihan Balasan dan Penegasan Komitmen

Peningkatan aktivitas pembom Rusia–China di sekitar Jepang dan bahkan dekat wilayah AS telah memicu serangkaian manuver balasan. Sehari setelah patroli gabungan terbaru di dekat Jepang, Amerika Serikat mengirim dua pembom B-52 yang juga berkemampuan nuklir untuk terbang bersama jet tempur F-35 dan F-15 Jepang di atas Laut Jepang, sebuah sinyal dukungan eksplisit terhadap Tokyo dan pesan ke Beijing–Moskow bahwa aliansi AS–Jepang tetap solid. Pemerintah Jepang menyatakan latihan bersama ini dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan respons gabungan dan menunjukkan bahwa setiap upaya mengubah status quo kawasan dengan kekuatan militer tidak akan dibiarkan begitu saja.

Peta Risiko di Langit Asia Timur: ADIZ yang Semakin Padat

Selain Jepang, patroli udara Rusia–China kerap memotong Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) negara lain di kawasan. Pada hari yang sama dengan patroli terbaru dekat Jepang, Korea Selatan melaporkan bahwa tujuh pesawat Rusia dan dua pesawat China keluar-masuk ADIZ-nya tanpa notifikasi sebelumnya, sehingga memicu scramble jet tempur Seoul. China dan Rusia berkeras bahwa semua penerbangan dilakukan sesuai hukum internasional di atas perairan internasional, namun bagi Seoul dan Tokyo, pola berulang ini memperlebar risiko salah perhitungan dan insiden tak disengaja di udara yang dapat dengan cepat meningkat menjadi krisis.

Implikasi Strategis: Menuju Normal Baru Konfrontasi Udara?

Bagi Jepang, patroli pembom Rusia–China yang semakin sering bukan lagi sekadar gangguan periodik, melainkan bagian dari “normal baru” lingkungan keamanan yang jauh lebih berat. Tokyo menanggapinya dengan peningkatan anggaran pertahanan menjadi sekitar 2% dari PDB pada akhir dekade ini, yang jika tercapai akan menempatkan Jepang di posisi tiga besar pengeluaran militer dunia setelah Amerika Serikat dan China. Rencana itu tercermin dalam Strategi Keamanan Nasional Jepang yang diperbarui, yang secara eksplisit menyinggung ancaman dari China dan Rusia sebagai faktor pendorong modernisasi militer dan penguatan aliansi dengan AS.

Di tingkat regional, manuver ini menambah satu lapis kompleksitas di atas ketegangan yang sudah ada terkait Taiwan, Laut China Timur, dan sengketa Kepulauan Senkaku/Diaoyu. Setiap patroli pembom nuklir – meski dilakukan di luar wilayah udara nasional – membawa bobot simbolik yang jauh lebih besar daripada sekadar latihan biasa, karena mengaitkan langsung dinamika regional Asia Timur dengan arsitektur deterrence nuklir global.

Penutup: Pamer Kekuatan yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua

Patroli gabungan pembom nuklir Rusia dan China di sekitar Jepang jelas dimaksudkan sebagai pamer kekuatan – baik untuk mengirim sinyal ke Tokyo dan Washington, maupun untuk meneguhkan citra solidaritas strategis Beijing–Moskow di tengah tekanan Barat. Namun, di balik kalkulasi geopolitik itu, ada risiko nyata: semakin padatnya langit Asia Timur oleh pesawat bersenjata berat meningkatkan peluang salah perhitungan dan kecelakaan yang dapat memicu eskalasi di luar kendali.

Bagi Jepang dan negara-negara lain di kawasan, tantangannya adalah menyeimbangkan respons tegas terhadap setiap pamer kekuatan semacam ini dengan mekanisme komunikasi dan dekonfliksi yang memadai. Sebab, di era ketika pembom nuklir berpatroli di sepanjang garis-garis sengketa, margin kesalahan menjadi semakin tipis – dan konsekuensinya kian besar, melampaui batas-batas Asia Timur.

You've reached the juicy part of the story.

Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.

Free forever. No credit card. Just great reading.