Di sebuah tenda plastik di dekat perbatasan Thailand, suara dentuman artileri terdengar samar di kejauhan. Di dalamnya, Sopheap (bukan nama sebenarnya), 34 tahun, memeluk erat anak bungsunya. Ia baru saja menghabiskan malam tanpa tidur, dihantui mimpi buruk tentang ledakan dan teriakan. Setelah berminggu-minggu hidup di pusat pengungsian yang penuh sesak, ia mengaku lebih takut dengan ketidakpastian masa depan daripada suara senjata.
“Kami lari dari perang, tapi di kamp ini kami tetap merasa diburu,” ujarnya pelan. “Sebagian tetangga saya memilih keluar dari sini, kembali ke desa atau menyebrang sendiri mencari tempat lain. Mereka bilang, ‘lebih baik mati di rumah sendiri’.”
Dalam beberapa pekan terakhir, pertempuran sengit di sepanjang perbatasan Kamboja–Thailand kembali memaksa puluhan ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka. Laporan berbagai lembaga kemanusiaan menunjukkan ratusan ribu warga mengungsi dari provinsi-provinsi perbatasan, banyak di antaranya menuju kamp-kamp darurat yang didirikan pemerintah dan organisasi bantuan internasional. Pemerintah Kamboja dilaporkan telah mendirikan lebih dari 100 pusat evakuasi di sedikitnya enam provinsi, yang menampung sekitar 130.000 orang terlantar hanya dalam hitungan hari. Angka itu kemungkinan terus bertambah seiring berlanjutnya pertempuran.
Kamboja bukan negara yang asing dengan tragedi pengungsian massal. Pada puncak krisis kemanusiaan akhir 1970-an, sekitar 750.000 warga Kamboja diperkirakan berada di Thailand atau di sepanjang perbatasan, sebagian besar di kamp-kamp pengungsian darurat. Kamp seperti Sa Kaeo dan Khao-I-Dang menjadi simbol eksodus besar-besaran tersebut.
Kamp Khao-I-Dang di Thailand, misalnya, semula dirancang untuk menampung 300.000 orang. Pada Maret 1980, kamp ini menampung sekitar 160.000 pengungsi Kamboja. Di titik lain, sekitar 370.000 pengungsi dan warga terlantar Kamboja akhirnya dipulangkan ke tanah air pada awal 1990-an di bawah pengawasan PBB. Namun, trauma yang ditinggalkan periode tersebut tak lekang oleh waktu.
Kini, ketika konflik perbatasan kembali memanas, ingatan kolektif terhadap masa-masa kelam itu ikut bangkit. Para pengungsi yang berusia lanjut mengaku teringat lagi pada pemandangan barisan manusia yang dipaksa berjalan menuruni lereng gunung Dangrek, atau cerita tentang kamp-kamp yang diserang dan dipaksa tutup secara tiba-tiba di era Perang Dingin. Ketakutan bahwa sejarah bisa terulang menjadi alasan kuat mengapa sebagian orang lebih memilih kabur dari pengungsian, meski berisiko tinggi.
Kamp-kamp pengungsian di Kamboja saat ini dihadapkan pada tantangan klasik: kelebihan kapasitas dan kekurangan sumber daya. Di beberapa lokasi, bantuan makanan masih mengandalkan mi instan dan beras, sementara stok air bersih dan fasilitas sanitasi belum memadai. Petugas kesehatan setempat memperingatkan potensi merebaknya penyakit diare dan infeksi pernapasan, terutama di antara anak-anak dan lansia.
Situasi ini makin rumit dengan kembalinya ratusan ribu pekerja migran asal Kamboja dari Thailand dalam beberapa tahun terakhir, yang menambah beban sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan. Laporan lembaga kemanusiaan menyebutkan bahwa lebih dari 800.000 pekerja Kamboja yang sebelumnya bekerja di Thailand pulang dalam waktu singkat akibat perubahan kebijakan dan kondisi keamanan. Banyak di antara mereka sekarang tinggal di wilayah yang sama dengan para pengungsi baru, memperebutkan sumber daya yang terbatas.
Dalam kondisi seperti ini, rasa takut di kalangan pengungsi bersifat berlapis. Mereka bukan hanya takut akan serangan lintas batas, tetapi juga panik terhadap kemungkinan kelaparan, sakit tanpa perawatan, dan ketiadaan perlindungan hukum. Beberapa keluarga mengaku khawatir tentang keamanan perempuan dan anak di kamp yang penerangan dan pengawasannya terbatas pada malam hari—kekhawatiran yang juga tercatat dalam berbagai studi mengenai kerentanan pengungsi di kamp-kamp kawasan Asia Tenggara.
Di balik angka-angka pengungsian, ada luka psikologis yang kerap luput dari perhatian. Sejumlah penelitian tentang komunitas pengungsi Asia Tenggara, termasuk warga Kamboja, menunjukkan tingginya tingkat gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan depresi di kalangan penyintas perang dan kekerasan politik.
Sebuah studi klasik tentang pengungsi Indocina menemukan bahwa pasien asal kawasan ini, termasuk Kamboja, rata-rata mengalami sekitar 10 peristiwa traumatis dan lebih dari dua pengalaman penyiksaan sepanjang hidup mereka. Banyak dari mereka didiagnosis dengan kombinasi gangguan afektif berat dan PTSD, disertai disabilitas medis dan sosial yang berkepanjangan.
Tinjauan riset yang lebih baru mengenai pengungsi Asia Tenggara di negara ketiga menunjukkan bahwa prevalensi PTSD di kalangan kelompok ini bisa mencapai 45–86 persen, dengan tingkat depresi berkisar 20–80 persen. Angka-angka ini menggambarkan betapa dalamnya dampak psikis konflik berkepanjangan terhadap masyarakat Kamboja, bahkan setelah mereka meninggalkan zona perang.
Di kamp-kamp pengungsian terkini, gejala itu kembali terlihat: sulit tidur, serangan panik saat mendengar suara keras, hingga keengganan anak-anak bermain di luar tenda karena takut serangan udara. Konselor lokal dan relawan kemanusiaan mengakui bahwa layanan kesehatan jiwa masih jauh dari memadai, sementara kebutuhan sangat besar. Minimnya dukungan psikososial turut mendorong sebagian pengungsi mengambil keputusan spontan meninggalkan pengungsian, berharap bisa menemukan ketenangan di desa asal atau di jaringan keluarga di wilayah lain.
Selain gelombang pengungsi baru, Kamboja juga bergulat dengan masalah lain yang kurang terlihat: kelompok-kelompok tanpa kewarganegaraan yang hidup di pinggiran sistem hukum. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan sekitar 75.031 orang di Kamboja teridentifikasi sebagai kelompok yang membutuhkan perlindungan paksa hingga akhir 2024, dengan sekitar 75.000 di antaranya dikategorikan sebagai orang tanpa kewarganegaraan yang membutuhkan perlindungan internasional. Situasi ini membuat penanganan gelombang pengungsian baru menjadi makin kompleks.
Bagi mereka yang tidak memiliki dokumen kewarganegaraan yang jelas, mengungsi berarti mempertaruhkan kemungkinan ditolak di perbatasan, ditahan sebagai “imigran ilegal”, atau dipulangkan paksa tanpa proses yang transparan. Ketidakpastian status inilah yang membuat sebagian pengungsi memilih untuk tidak mendaftarkan diri secara resmi di kamp-kamp, lalu kabur sebelum nama mereka tercatat dalam sistem. Praktik ini membuat angka pengungsi sesungguhnya berpotensi jauh lebih tinggi dari data resmi pemerintah dan lembaga internasional.
Ada sejumlah alasan yang mendorong pengungsi Kamboja meninggalkan pengungsian, meski mengetahui risiko yang menanti di luar.
Ketakutan akan serangan lanjutan: beberapa kamp berada relatif dekat dengan garis tembak, menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka dapat menjadi sasaran serangan atau terjebak bila konflik meluas.
Kondisi hidup yang buruk: kepadatan, kurangnya makanan bergizi, air bersih, dan layanan kesehatan membuat banyak keluarga menilai kamp bukan tempat aman untuk jangka panjang, terutama bagi ibu hamil dan anak kecil.
Trauma masa lalu: pengalaman pemulangan paksa dan kekerasan di kamp-kamp perbatasan pada era sebelumnya menimbulkan ketidakpercayaan terhadap otoritas dan aktor bersenjata, termasuk yang mengelola kamp.
Tekanan ekonomi: sebagian pengungsi merasa harus kembali lebih cepat untuk menyelamatkan ladang, ternak, atau pekerjaan, atau bergabung dengan keluarga yang masih bertahan di desa-desa yang nyaris kosong.
Keputusan kabur dari kamp sering kali diambil dalam hitungan jam, tanpa rencana jelas. Mereka yang pergi biasanya mengandalkan informasi dari kerabat, kabar dari media sosial, atau rumor lokal tentang rute aman dan desa yang relatif tenang. Dalam kondisi demikian, mereka menjadi kelompok yang paling sulit dijangkau bantuan resmi dan paling rentan terhadap eksploitasi, perdagangan manusia, hingga kekerasan bersenjata baru.
Kisah Sopheap dan ribuan pengungsi Kamboja lainnya menyoroti satu pesan utama: perang tidak pernah berakhir ketika senjata berhenti menyalak. Bagi komunitas yang pernah mengalami genosida, pengungsian massal, dan puluhan tahun ketidakstabilan politik, setiap konflik baru menghidupkan kembali ketakutan lama dan menambah lapisan trauma baru.
Bagi pemerintah Kamboja dan negara-negara tetangga, tantangannya bukan hanya menghentikan tembakan di garis depan, tetapi juga memastikan sistem perlindungan yang kuat bagi warga sipil: kamp yang aman dan layak huni, mekanisme pendaftaran yang menghormati hak asasi, serta jalur yang jelas bagi mereka yang ingin pulang secara sukarela ketika situasi memungkinkan. Bagi komunitas internasional, dukungan tidak bisa berhenti pada pengiriman tenda dan paket beras; investasi pada layanan kesehatan jiwa, reintegrasi sosial, dan penyelesaian status kewarganegaraan adalah kunci untuk memutus siklus pengungsian berulang.
Di tengah bunyi dentuman yang kembali terdengar, Sopheap masih belum tahu kapan bisa pulang. Namun satu hal pasti: bagi dirinya dan jutaan warga Kamboja lainnya, masa depan yang aman bukan hanya soal bebas dari perang, tetapi juga bebas dari rasa takut untuk terusir lagi—baik dari rumah sendiri maupun dari pengungsian yang seharusnya melindungi mereka.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.