Inflasi di Inggris turun lebih besar dari perkiraan menjadi 3,2% (year-on-year), memicu harapan bahwa tekanan harga yang menghantam rumah tangga selama dua tahun terakhir mulai mereda. Angka terbaru ini sekaligus menghidupkan kembali spekulasi bahwa Bank of England (BoE) dapat segera memangkas suku bunga acuannya.
Image Illustration. Photo by Marek Studzinski on Unsplash
Penurunan inflasi ke kisaran 3,2% bukan sekadar angka di atas kertas. Ia mencerminkan perubahan nyata pada harga kebutuhan sehari-hari—mulai dari bahan makanan hingga pakaian—dan menjadi indikator penting arah kebijakan moneter Inggris dalam beberapa bulan ke depan.
Kantor Statistik Nasional Inggris (Office for National Statistics/ONS) melaporkan bahwa indeks harga konsumen (Consumer Prices Index/CPI) naik 3,2% dalam 12 bulan hingga Maret 2024, turun dari 3,4% pada Februari. Angka ini sedikit lebih tinggi dari proyeksi ekonom sebesar 3,1%, tetapi menandai kelanjutan tren penurunan tajam dari puncak inflasi di atas 11% yang terjadi pada Oktober 2022.
Dalam pemberitaan terbaru, sejumlah media internasional menyoroti bahwa laju inflasi sekitar 3,2% kini kembali muncul sebagai level penting: dalam beberapa bulan terakhir inflasi Inggris sempat kembali melambat ke sekitar 2,8% pada Februari 2025 sebelum bergerak lagi, menunjukkan betapa rapuhnya proses penurunan harga di tengah gejolak energi dan pangan global.
Di balik penurunan inflasi menuju 3,2%, salah satu faktor penentu yang konsisten adalah melambatnya kenaikan harga makanan. Data ONS menunjukkan bahwa inflasi untuk kategori makanan dan minuman non-alkohol turun dari sekitar 5,0% menjadi 4,0% pada Maret 2024, jauh lebih rendah dibandingkan lonjakan dua digit yang sempat terjadi sepanjang 2022–2023.
Harga barang-barang konsumsi lain, seperti furnitur dan peralatan rumah tangga, bahkan mengalami penurunan tahunan tipis, mencerminkan lemahnya daya beli dan persaingan harga yang semakin ketat di ritel. Sementara itu, harga energi rumah tangga—yang sempat memicu ledakan inflasi ketika tarif listrik dan gas melambung—secara bertahap menurun setelah regulasi tarif dan koreksi harga pasar internasional.
Meski headline inflation turun, inflasi inti (core inflation) yang mengecualikan komponen bergejolak seperti energi dan makanan tetap berada pada level yang mengkhawatirkan. ONS melaporkan bahwa core CPI masih sekitar 4,2% pada Maret 2024, hanya sedikit turun dari bulan sebelumnya.
Sektor jasa, yang sangat dipengaruhi oleh biaya tenaga kerja, masih mencatat inflasi sekitar 6% per tahun dalam periode yang sama—jauh di atas target 2% Bank of England. Kenaikan upah yang tetap kuat, terutama di sektor jasa berupah rendah seperti perhotelan dan ritel, membuat harga layanan sulit turun cepat meskipun harga energi dan beberapa barang sudah mulai terkoreksi.
Bagi rumah tangga Inggris, turunnya inflasi ke 3,2% tidak otomatis berarti harga kembali ke level pra-krisis. Inflasi yang lebih rendah hanya menunjukkan bahwa harga naik dengan laju yang lebih lambat, bukan bahwa harga turun. Setelah dua tahun mengalami lonjakan biaya hidup, banyak keluarga masih berjuang menyesuaikan anggaran untuk kebutuhan dasar seperti sewa, energi, dan bahan pangan.
Survei lembaga-lembaga konsumen di Inggris menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang melaporkan kesulitan menutupi pengeluaran bulanan tetap tinggi, meski laju inflasi menurun. Di sisi lain, mulai pulihnya pertumbuhan upah riil—yakni upah yang disesuaikan dengan inflasi—memberi sedikit ruang bernapas. Ketika inflasi melandai di kisaran 3% dan upah nominal masih tumbuh di atas 4–5%, pendapatan riil masyarakat perlahan membaik.
Turunnya inflasi memberi tekanan baru pada Bank of England untuk mengubah kebijakan suku bunga tinggi yang selama ini digunakan untuk menjinakkan inflasi. Setelah menaikkan suku bunga hingga 5,25% sejak akhir 2021, BoE mulai menurunkannya secara bertahap pada 2025 seiring meredanya inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa bulan terakhir, pasar keuangan berkali-kali memposisikan diri untuk pemangkasan suku bunga lebih lanjut ketika inflasi kembali mendekati kisaran 3,2%.
Namun, bagi para pembuat kebijakan, gambaran tidak sesederhana angka headline inflation. Core inflation yang masih tinggi, upah yang terus tumbuh di atas produktivitas, dan biaya jasa yang kaku adalah alasan utama mengapa BoE tetap berhati-hati. Jika suku bunga diturunkan terlalu cepat, ada risiko inflasi kembali naik di atas target 2% dalam beberapa tahun ke depan.
Meskipun inflasi turun ke sekitar 3,2%, Inggris masih cenderung memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibandingkan beberapa negara maju lain di kelompok G7. Data terbaru menunjukkan bahwa inflasi zona euro dan Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir telah bergerak mendekati 2–3%, sementara Inggris berkali-kali tertahan di kisaran di atas 3%. Laporan-laporan ekonomi menyoroti bahwa inflasi Inggris kerap menjadi yang tertinggi di antara negara-negara G7, antara lain karena pasar tenaga kerja yang ketat, kenaikan pajak tertentu, dan ketergantungan yang besar pada impor energi.
Kantor tanggung jawab anggaran Inggris (Office for Budget Responsibility/OBR) dan para ekonom memperkirakan bahwa inflasi akan terus melandai dalam jangka menengah. Dalam skenario dasar, inflasi diproyeksikan kembali ke target 2% sekitar 2026, dengan catatan tidak ada guncangan baru dari harga energi global atau kebijakan fiskal domestik.
Namun, berbagai risiko masih mengintai. Konflik geopolitik yang memperburuk rantai pasok, volatilitas harga minyak dan gas, serta perubahan kebijakan perdagangan pasca-Brexit dapat kembali mendorong biaya impor. Di dalam negeri, kebijakan kenaikan upah minimum dan reformasi pajak juga berpotensi menambah tekanan biaya bagi pelaku usaha, yang pada akhirnya bisa diteruskan ke konsumen.
Turunnya inflasi Inggris ke sekitar 3,2% adalah kabar baik yang sudah lama ditunggu—baik oleh rumah tangga, pelaku usaha, maupun pasar keuangan. Penurunan ini mencerminkan berkurangnya tekanan harga pada makanan dan energi, serta mulai mampunya kebijakan moneter ketat menjinakkan inflasi setelah periode guncangan besar.
Namun, di balik headline yang menggembirakan, tantangan struktural masih besar. Inflasi inti yang tetap tinggi, sektor jasa yang mahal, dan posisi Inggris yang relatif tertinggal dibanding negara G7 lain menunjukkan bahwa perjuangan melawan inflasi belum selesai. Bagi Bank of England, pemerintah, dan pelaku pasar, pertanyaannya bukan lagi apakah inflasi sedang turun—tetapi seberapa berkelanjutan penurunan ini, dan kapan waktu tepat untuk mengendurkan rem suku bunga tanpa memicu gelombang inflasi baru.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.