Oleh-oleh Prabowo dari Pakistan: Dokter dan Profesor Kesehatan Segera Masuk Indonesia
Kunjungan resmi Presiden terpilih Prabowo Subianto ke Pakistan baru-baru ini disebut membawa “oleh-oleh” penting bagi sektor kesehatan Indonesia: rencana masuknya dokter dan profesor kesehatan dari negeri Asia Selatan itu untuk memperkuat layanan dan pendidikan kedokteran di Tanah Air. Di tengah krisis rasio tenaga medis dan beban penyakit yang kian kompleks, manuver diplomasi kesehatan ini berpotensi menjadi salah satu langkah paling strategis menuju perbaikan sistem kesehatan nasional.
Krisis Tenaga Dokter di Negeri Berpenduduk Hampir 290 Juta
Indonesia saat ini menghadapi defisit dokter yang serius. Kementerian Kesehatan pada 2024 mencatat rasio dokter di Indonesia hanya sekitar 0,47 per 1.000 penduduk—jauh tertinggal dibanding sejumlah negara kawasan dan menempatkan Indonesia di peringkat ke-147 dunia. [data Kementerian Kesehatan] Sementara itu, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Sosial melaporkan jumlah penduduk Indonesia per September 2025 telah mencapai sekitar 287,6 juta jiwa. [data BPS-Kemensos 2025] Dengan populasi sebesar itu, kekurangan dokter berdampak langsung pada akses dan mutu layanan kesehatan, terutama di luar Jawa dan daerah terpencil.
Kemenkes menghitung Indonesia masih kekurangan lebih dari 124 ribu dokter umum untuk mencapai target 1 dokter per 1.000 penduduk dan sekitar 29 ribu dokter spesialis untuk memenuhi rasio ideal 0,28 dokter spesialis per 1.000 penduduk. [Kemenkes & Bappenas] Ketimpangan sebaran tenaga medis pun nyata: lebih dari 55 persen penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara wilayah timur Indonesia masih kekurangan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Mengapa Pakistan? Jejak Panjang Pendidikan Kedokteran
Pilihan menggandeng Pakistan sebagai mitra kesehatan bukan tanpa alasan. Negara berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa itu memiliki tradisi panjang dalam pendidikan kedokteran dan kesehatan masyarakat. Sejumlah universitas kedokteran di Pakistan secara rutin masuk daftar institusi medis terakreditasi yang diakui lembaga internasional seperti World Directory of Medical Schools dan lembaga pendidikan tinggi regional. [World Directory of Medical Schools]
Pakistan juga dikenal memiliki komunitas dokter spesialis yang besar dan diaspora medis yang tersebar di berbagai negara, termasuk di Inggris, Timur Tengah, dan Amerika Utara. Banyak di antara mereka berpengalaman bekerja di sistem kesehatan publik yang harus menangani beban pasien tinggi dengan sumber daya terbatas—kondisi yang tidak jauh berbeda dengan sejumlah rumah sakit pemerintah di Indonesia.
Skema Masuknya Dokter dan Profesor Asing: Dari Klinik ke Kampus
Secara garis besar, ada dua jalur utama yang digadang-gadang akan menjadi wadah kehadiran dokter dan profesor kesehatan dari Pakistan di Indonesia: layanan klinis dan pendidikan kedokteran. Pemerintah Indonesia sebelumnya telah membuka ruang bagi dokter asing terbatas, terutama dalam skema kolaborasi rumah sakit pendidikan dan program transfer teknologi medis, meski dengan regulasi ketat mengenai registrasi dan lisensi. [UU Praktik Kedokteran & regulasi KKI]
Dalam konteks kerja sama dengan Pakistan, dokter spesialis tamu berpotensi ditempatkan di rumah sakit pendidikan milik pemerintah maupun swasta rujukan nasional. Mereka bisa berperan sebagai visiting consultant untuk kasus-kasus kompleks—misalnya bedah kardiotoraks, onkologi, atau subspesialisasi lain yang masih langka di daerah—sekaligus membimbing dokter residen Indonesia dalam program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (PPDS hospital-based) yang mulai digencarkan pemerintah sejak 2024. [program PPDS berbasis rumah sakit]
Sementara itu, profesor kesehatan dari Pakistan dapat dilibatkan sebagai pengajar tamu di fakultas kedokteran, fakultas kesehatan masyarakat, dan program studi keperawatan atau kebidanan. Bentuk kerja sama dapat berupa kuliah bersama (joint teaching), pembimbingan tesis dan disertasi, penelitian kolaboratif, hingga pengembangan kurikulum berbasis kompetensi global—misalnya di bidang epidemiologi, penyakit menular, atau kesehatan ibu dan anak.
Peluang bagi Daerah 3T dan Rumah Sakit Pendidikan Baru
Kehadiran tenaga kesehatan dan akademisi asing berpotensi paling terasa di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), serta di rumah sakit pendidikan baru yang tengah dikembangkan pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, Kemenkes mendorong konversi rumah sakit rujukan daerah menjadi rumah sakit pendidikan untuk mempercepat pencetakan dokter spesialis di luar kota-kota besar. Langkah ini diambil karena distribusi dokter spesialis sangat timpang: sebagian besar terkonsentrasi di kota besar di Jawa, sementara di banyak kabupaten hanya terdapat satu atau dua spesialis, bahkan tidak ada sama sekali untuk bidang tertentu.
Di sisi lain, Indonesia sedang menikmati bonus demografi: tahun 2024 tercatat ada sekitar 64,22 juta pemuda berusia 16–30 tahun, atau sekitar seperlima dari total penduduk. [Statistik Pemuda Indonesia 2024] Namun, kapasitas pendidikan kedokteran dan spesialis dalam negeri masih terbatas, rata-rata hanya sekitar 12.000 lulusan dokter umum per tahun dari 117 fakultas kedokteran. [data fakultas kedokteran Indonesia] Di sinilah kolaborasi dengan profesor dan dokter dari Pakistan bisa menjadi katalis: membantu mengakselerasi pendidikan spesialis di wilayah yang selama ini minim dosen dan klinisi senior.
Tantangan Regulasi, Standar Kompetensi, dan Resistensi Profesi
Meski peluangnya besar, masuknya dokter dan profesor kesehatan asing ke Indonesia tak lepas dari sejumlah tantangan. Regulasi praktik kedokteran mewajibkan setiap dokter, termasuk asing, untuk memiliki registrasi dan izin praktik, serta memenuhi standar kompetensi dan bahasa medis yang memadai. Kolegium dan organisasi profesi seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selama ini menekankan pentingnya perlindungan pasien dan kesetaraan standar pendidikan antara lulusan luar dan dalam negeri.
Selain itu, resistensi sebagian tenaga medis lokal tak bisa diabaikan. Kekhawatiran mengenai kompetisi lapangan kerja, perbedaan standar praktik, hingga potensi komersialisasi layanan kesehatan sering mencuat setiap kali isu dokter asing mengemuka. Pemerintah perlu memastikan bahwa kerja sama ini berbasis transfer pengetahuan dan penguatan kapasitas, bukan sekadar “impor tenaga kerja murah”.
Momen Menentukan: Diplomasi Kesehatan di Era Baru Pemerintahan
Kunjungan Prabowo ke Pakistan dan rencana mendatangkan dokter serta profesor kesehatan dari negara tersebut menandai babak baru diplomasi kesehatan Indonesia. Di tengah kompetisi geopolitik global, kerja sama Selatan-Selatan di bidang kesehatan bisa menjadi alternatif strategis—lebih setara secara ekonomi, sekaligus relevan secara konteks karena kedua negara sama-sama bergulat dengan tantangan penyakit menular, beban ganda penyakit tidak menular, dan keterbatasan sumber daya.
Bagi Indonesia, keberhasilan inisiatif ini akan sangat ditentukan oleh desain kebijakan di tingkat teknis: seberapa cepat regulasi dapat disesuaikan tanpa mengorbankan keselamatan pasien, seberapa kuat komitmen untuk menempatkan ahli asing di daerah yang benar-benar membutuhkan, dan seberapa cermat pemerintah memastikan bahwa tenaga asing berperan sebagai mentor dan penguat sistem, bukan pengganti tenaga lokal.
Penutup: Dari "Oleh-oleh" Simbolik ke Reformasi Sistemik
Jika diolah dengan hati-hati, “oleh-oleh” Prabowo dari Pakistan ini bisa melampaui sekadar simbol politik luar negeri. Di atas kertas, Indonesia membutuhkan puluhan ribu dokter dan dokter spesialis baru, sementara kapasitas pendidikan nasional belum mampu mengejar kebutuhan tersebut dalam waktu singkat. Memanfaatkan jejaring internasional—termasuk dengan Pakistan—dapat menjadi jembatan sementara menuju kemandirian tenaga kesehatan.
Namun, pada akhirnya, keberlanjutan kebijakan akan bergantung pada keseriusan pemerintah membangun ekosistem pendidikan dan layanan kesehatan yang kuat di dalam negeri: memperbanyak rumah sakit pendidikan, memperbaiki insentif bagi dokter di daerah, serta memastikan bahwa setiap kerja sama internasional berujung pada peningkatan kualitas, akses, dan keadilan layanan kesehatan bagi hampir 290 juta penduduk Indonesia.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.