Pemimpin Polisi Inggris Desak Penghentian Non-Crime Hate Incidents: Pergeseran Besar antara Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan Korban

AI-assistedNewsFrasa

6 Min to read

Kategori pencatatan non-crime hate incidents (NCHI) di Inggris dan Wales berada di ambang perubahan besar. Para pemimpin kepolisian nasional disebut akan merekomendasikan agar skema ini dihapus dan diganti dengan sistem baru yang disebut lebih “berbasis akal sehat”, dengan fokus hanya pada kasus-kasus paling serius yang diklasifikasikan sebagai perilaku anti‑sosial.

A group of police officers standing next to each other

Image Illustration. Photo by Dylan4photography on Unsplash

Rekomendasi tersebut muncul di tengah perdebatan panjang soal keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan kelompok minoritas dari ujaran kebencian. Rencana ini juga menandai pergeseran politik dan operasional yang penting bagi kepolisian, yang selama bertahun-tahun diminta untuk mencatat insiden bernuansa kebencian meski tidak memenuhi ambang pelanggaran pidana.

Apa Itu Non-Crime Hate Incident?

Dalam praktik kepolisian Inggris dan Wales, non-crime hate incident adalah catatan tentang tindakan atau ucapan yang dipersepsikan menunjukkan permusuhan terhadap karakteristik tertentu seperti ras, agama, orientasi seksual, disabilitas, atau identitas transgender, namun tidak mencapai ambang tindak pidana. Dalam pedoman resmi, kriteria persepsi ini berlaku bukan hanya bagi korban, tetapi juga bagi saksi atau bahkan pihak ketiga yang melaporkan.

Praktik pencatatan NCHI berakar pada temuan Laporan Stephen Lawrence tahun 1999, yang menyerukan sistem pelaporan dan pencatatan menyeluruh atas insiden rasial setelah pembunuhan remaja kulit hitam Stephen Lawrence pada 1993. Sejak itu, cakupan NCHI meluas ke seluruh karakteristik yang dilindungi dalam hukum kejahatan kebencian Inggris: ras, agama, disabilitas, orientasi seksual, dan identitas transgender.

Mengapa Polisi Kini Ingin Menghapus NCHI?

Menurut laporan awal, tinjauan yang dilakukan Dewan Kepala Kepolisian Nasional (National Police Chiefs’ Council/NPCC) dan College of Policing akan merekomendasikan agar kategori NCHI dihapus dan diganti dengan sistem intelijen yang lebih sempit, hanya mencatat kasus yang jelas menimbulkan risiko signifikan dan diklasifikasikan sebagai perilaku anti‑sosial serius. Rekomendasi ini disebut akan diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri, Shabana Mahmood, awal tahun 2026.

Kepala‑kepala kepolisian berargumen bahwa sistem saat ini tidak lagi “fit for purpose” dan menyita terlalu banyak waktu petugas untuk menangani laporan yang seharusnya dapat dialihkan ke lembaga lain atau ditangani melalui mekanisme komunitas. Kepala inspektorat kepolisian, Andy Cooke, sebelumnya secara terbuka menyatakan bahwa ia “tidak lagi yakin NCHI diperlukan” dan intelijen bisa dihimpun dengan cara lain yang menimbulkan lebih sedikit kekhawatiran publik.

Ketegangan antara Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan Korban

Kontroversi seputar NCHI selama ini berpusat pada kekhawatiran bahwa pencatatan insiden non‑pidana akan mengikis kebebasan berekspresi yang dijamin dalam hukum hak asasi dan hukum domestik Inggris. Pemerintah sendiri mengakui adanya kekhawatiran tentang keterlibatan polisi dalam laporan “sepele atau irasional” yang tidak memenuhi ambang kejahatan, dan pada 2023 memperkenalkan kode praktik baru untuk menaikkan ambang pencatatan.

Dalam Kode Praktik Non-Crime Hate Incidents yang diadopsi berdasarkan Police, Crime, Sentencing and Courts Act 2022, polisi hanya diperbolehkan mencatat data pribadi jika peristiwa tersebut menimbulkan “risiko nyata” terjadinya kerugian signifikan atau potensi tindak pidana di masa depan terhadap kelompok dengan karakteristik dilindungi. Namun, bahkan setelah ambang itu dinaikkan, kritik dari kelompok kebebasan sipil dan sebagian politisi tetap berlanjut.

Dari Basis Data Kejahatan ke “Intelijen” Terbatas

Rencana perubahan terbaru mengusulkan agar insiden yang saat ini dikategorikan sebagai NCHI tidak lagi dicatat di basis data kejahatan, melainkan dikelola sebagai laporan intelijen dengan daftar periksa berbasis akal sehat untuk menilai apakah insiden cukup serius untuk diarsipkan. Hanya sebagian kecil yang paling serius diduga akan tetap direkam, dan itu pun di bawah kategori perilaku anti‑sosial, bukan kejahatan kebencian.

College of Policing sendiri telah memperbarui panduan resmi tentang kejahatan kebencian dan NCHI untuk menekankan bahwa insiden yang sepele, irasional, atau tanpa dasar permusuhan tidak boleh dicatat, dan bahwa pencatatan harus dilakukan dengan cara yang “paling tidak invasif” guna mencegah efek mengerikan (chilling effect) terhadap debat sah.

Bagaimana Data NCHI Digunakan, dan Mengapa Itu Diperdebatkan?

Secara resmi, data NCHI digunakan untuk memantau ketegangan komunitas dan mengidentifikasi pola perilaku yang mungkin meningkat menjadi kejahatan kebencian atau kerusuhan sipil. Penelitian dan data pemerintah menunjukkan bahwa kejahatan kebencian cenderung berulang dan bisa memiliki dampak psikologis yang tidak proporsional bagi korban dan komunitas dibandingkan kejahatan lain yang serupa tanpa motif kebencian.

Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa catatan NCHI dapat muncul dalam pemeriksaan latar belakang (enhanced Disclosure and Barring Service/DBS) bagi mereka yang melamar pekerjaan berisiko tinggi, seperti guru dan perawat, meski insiden itu sendiri tidak pernah dinyatakan sebagai tindak pidana. Hal ini memicu kritik bahwa sekadar ucapan yang menyinggung dapat “mencemari” catatan seseorang dalam jangka panjang.

Contoh Kasus dan Tekanan Politik

Beberapa kasus profil tinggi telah mendorong pergeseran kebijakan. Komedian dan penulis sitkom Graham Linehan, misalnya, ditangkap pada 2025 terkait unggahan di media sosial tentang isu transgender di bawah Undang‑Undang Ketertiban Umum, sebelum jaksa kemudian menghentikan kasus tersebut; kepolisian Metropolitan kemudian mengumumkan bahwa mereka akan berhenti menyelidiki non-crime hate incidents untuk mengurangi ambiguitas dan fokus pada ancaman nyata. Kasus-kasus seperti ini kerap dijadikan contoh oleh kelompok kebebasan berekspresi sebagai bukti bahwa polisi terlalu jauh masuk ke ranah debat online yang sah.

Pemerintah Inggris sebelumnya telah menegaskan bahwa polisi harus “memprioritaskan kebebasan berekspresi”, dengan panduan 2023 menyatakan bahwa NCHI hanya boleh dicatat ketika benar‑benar perlu dan proporsional, bukan semata karena seseorang merasa tersinggung. Rekomendasi terbaru para pemimpin polisi untuk menghapus kategori NCHI tampak sebagai langkah lanjutan dari garis kebijakan tersebut.

Dampak Potensial: Antara Efisiensi dan Risiko yang Tak Tercatat

Jika rekomendasi untuk menghapus NCHI disetujui dan diimplementasikan pada 2026, polisi akan memiliki lebih banyak keleluasaan untuk mengabaikan laporan yang dianggap remeh atau tidak berdasar, dan mengalihkan fokus ke kejahatan kekerasan, penganiayaan berat, serta ancaman keamanan publik lain. Hal ini selaras dengan seruan pemerintah agar polisi “kembali ke dasar” memberantas kejahatan konvensional.

Namun, para pendukung pencatatan NCHI memperingatkan bahwa insiden bermotif kebencian yang belum mencapai ambang pidana sering kali menjadi indikator awal eskalasi menuju kekerasan atau kejahatan yang lebih serius. Tanpa sistem pencatatan yang konsisten, polisi berpotensi kehilangan gambaran pola kebencian yang berkembang di suatu wilayah, terutama di era polarisasi politik dan media sosial yang mempercepat penyebaran ujaran benci.

Penutup: Menata Ulang Garis Batas Policing di Era Polarisasi

Perdebatan mengenai non-crime hate incidents pada akhirnya mencerminkan dilema yang dihadapi banyak negara demokratis: seberapa jauh negara boleh campur tangan dalam ujaran yang menyinggung, namun legal, demi mencegah kerugian yang lebih besar di masa depan. Rekomendasi para pemimpin polisi Inggris untuk menghapus kategori NCHI menandai upaya menggeser garis batas itu—lebih menjauh dari pengaturan ujaran, dan lebih dekat pada fokus ke ancaman yang jelas terhadap keselamatan publik.

Apakah langkah ini akan membantu memulihkan kepercayaan publik terhadap kepolisian sekaligus menjaga kelompok minoritas tetap terlindungi, akan sangat bergantung pada bagaimana sistem intelijen pengganti dirancang, bagaimana data risiko dikumpulkan, dan sejauh mana petugas di lapangan dibekali pelatihan untuk menilai mana insiden yang bisa diabaikan, dan mana yang merupakan peringatan dini atas bahaya yang lebih besar.

You've reached the juicy part of the story.

Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.

Free forever. No credit card. Just great reading.