Ketegangan di perbatasan Israel–Lebanon kembali memuncak setelah sejumlah pejabat militer Israel secara terbuka menyatakan bahwa mereka tengah mempersiapkan kemungkinan operasi darat besar-besaran terhadap Hizbullah di Lebanon selatan. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Letnan Jenderal Herzi Halevi, menegaskan bahwa kampanye serangan udara yang intensif ke wilayah Lebanon dimaksudkan untuk “mempersiapkan medan” bagi masuknya pasukan darat ke wilayah musuh. Pernyataan tersebut memicu kekhawatiran luas akan pecahnya perang skala penuh yang berpotensi mengguncang stabilitas kawasan Timur Tengah.
Image Illustration. Photo by Hobi industri on Unsplash
Eskalasi terbaru di perbatasan Israel–Lebanon tidak dapat dilepaskan dari rangkaian konflik yang dimulai pasca serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. Sehari setelah serangan itu, Hizbullah mulai menembakkan roket ke wilayah Sengketa Shebaa Farms sebagai bentuk “solidaritas” terhadap Palestina, memicu saling serang lintas perbatasan yang kemudian berkembang menjadi konfrontasi militer berkepanjangan sepanjang 2023–2024. Pada 1 Oktober 2024, Israel memulai invasi ke Lebanon sebagai bagian dari perang Israel–Hizbullah, dengan operasi darat terbatas di sejumlah desa di Lebanon selatan. Sejumlah pertempuran besar terekam di Odaisseh, Kafr Kila, dan Maroun al-Ras antara pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan unit Redwan Hizbullah, menandai dimensi baru konflik yang melampaui sekadar saling serang lintas perbatasan.
Bagi Israel, ancaman utama datang dari persenjataan roket dan rudal Hizbullah yang diperkirakan mencapai puluhan ribu unit dan mampu menjangkau kota-kota besar seperti Haifa dan Tel Aviv. Hizbullah secara rutin menembakkan roket dan drone ke wilayah utara Israel, sementara Israel menanggapi dengan serangan udara dalam dan luas ke Lebanon, termasuk ke Baalbek di Lembah Bekaa dan kawasan permukiman padat di Beirut. Situasi ini menempatkan Lebanon kembali di garis depan konflik regional, hampir dua dekade setelah perang 2006 yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Lebanon dan 160 di Israel.
Dalam kunjungan ke pasukan di front utara, Herzi Halevi secara gamblang menyatakan bahwa militer Israel sedang “mempersiapkan proses manuver” yang berarti bahwa pasukan darat akan masuk ke desa-desa di Lebanon yang selama ini diproyeksikan Hizbullah sebagai basis militer dengan jaringan terowongan bawah tanah dan titik peluncuran roket. Pernyataan serupa dikutip juga oleh media Israel dan internasional, yang menilai bahwa serangan udara Israel selama berhari-hari ke target-target Hizbullah di Lebanon merupakan tahap awal sebelum operasi darat yang lebih luas. Seorang pejabat Pentagon bahkan mengakui bahwa Washington memantau situasi dengan cermat, meski menilai serangan darat besar-besaran belum “segera” terjadi.
Namun, pola militer Israel kerap memperlihatkan tahapan serupa: kampanye udara intensif untuk melemahkan infrastruktur militer lawan, diikuti manuver darat ketika kondisi dianggap menguntungkan. Dalam perang Gaza, strategi ini terlihat dalam operasi besar ke Kota Gaza dan Khan Younis, dan kini sejumlah analis menilai doktrin yang sama berpotensi direplikasi di Lebanon selatan jika keputusan politik diambil di Tel Aviv.
PBB menyatakan bahwa konflik di Lebanon telah mencapai “titik kritis” dengan lebih dari 3.000 orang tewas di Lebanon sejak eskalasi besar pasca 8 Oktober 2023 hingga awal November 2024, mayoritas akibat serangan udara Israel dan tembakan roket lintas batas. Angka itu 58 persen lebih tinggi dibanding korban tewas perang 34 hari pada 2006, yang menewaskan sekitar 1.900 orang di Lebanon. Dalam satu hari saja, yaitu 1 November 2024, setidaknya 71 orang dilaporkan tewas akibat serangan udara di berbagai wilayah Lebanon.
Beberapa serangan menjadi sorotan internasional karena skala kehancuran dan korban sipil yang tinggi. Di Lembah Bekaa, serangkaian serangan udara Israel sejak 28 Oktober hingga awal November 2024 menewaskan sedikitnya 134 orang dan melukai lebih dari 117 lainnya di sekitar selusin permukiman, digambarkan pejabat lokal sebagai serangan paling intens di kawasan itu sejak awal eskalasi konflik. Di Beirut, serangan bunker-buster ke kawasan padat penduduk Basta pada 23 November 2024 menewaskan sedikitnya 29 orang dan melukai 67 orang lainnya, termasuk warga sipil yang berada jauh dari garis depan pertempuran. Peristiwa itu memicu kecaman luas karena terjadi di jantung ibu kota Lebanon yang rapuh secara ekonomi dan politik.
Meski telah ada kesepakatan gencatan senjata sementara pada 2024, laporan PBB menunjukkan bahwa serangan masih terus terjadi. Sejak gencatan senjata itu diberlakukan hingga November 2025, serangan-serangan Israel di Lebanon dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 127 warga sipil, menurut Kantor Hak Asasi Manusia PBB, yang juga memperingatkan bahwa angka sebenarnya bisa lebih tinggi karena banyak insiden belum terverifikasi sepenuhnya di lapangan.
Selain korban jiwa, dampak paling terasa dari konflik berlarut di Lebanon adalah gelombang pengungsian massal. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mencatat sekitar 1,3 juta orang mengungsi di dalam Lebanon dan ke negara tetangga akibat pertempuran dan perintah evakuasi sejak 2023 hingga akhir 2024, dengan banyak keluarga meninggalkan wilayah selatan dan perbatasan yang paling terdampak serangan udara dan artileri.
UNHCR memperkirakan bahwa pada akhir 2024 terdapat sekitar 2 juta orang yang berstatus pengungsi, pencari suaka, atau stateless di Lebanon, termasuk sedikitnya 758.000 pengungsi terdaftar—sebagian besar dari Suriah—di tengah keruntuhan ekonomi berkepanjangan yang telah memangkas layanan sosial dan kemampuan negara untuk merespons krisis baru. Badan itu memperkirakan kebutuhan dana hingga hampir US$680 juta pada 2025 untuk mempertahankan operasi kemanusiaan di negara kecil berpenduduk sekitar 5,5 juta jiwa tersebut. Jika operasi darat Israel meluas, beban pengungsian dan tekanan terhadap infrastruktur yang sudah rapuh nyaris pasti akan meningkat tajam.
Dari perspektif Israel, serangan skala besar ke Lebanon dipandang sebagai upaya menekan dan mendegradasi kemampuan militer Hizbullah secara signifikan, termasuk jaringan roket jarak menengah dan jauh, infrastruktur komando, serta terowongan yang mengancam wilayah utara Israel. Namun, pengalaman perang 2006 menunjukkan bahwa operasi darat ke Lebanon selatan sering kali memakan biaya besar, baik dari sisi korban prajurit maupun legitimasi internasional ketika korban sipil meningkat tajam.
Di sisi lain, bagi Lebanon dan Hizbullah, serangan Israel berisiko menjerumuskan negara yang sudah rapuh secara ekonomi ke jurang kehancuran lebih dalam. Infrastruktur sipil—dari jaringan listrik, jalan, hingga layanan kesehatan—berpotensi kembali menjadi korban sampingan serangan udara dan artileri intensif. Banyak analis khawatir, eskalasi tanpa kendali bisa menarik aktor-aktor lain di kawasan, memperlebar konflik dari perang Israel–Hizbullah menjadi konfrontasi regional yang melibatkan Iran dan sekutu-sekutunya di Suriah, Irak, hingga Yaman.
Di tengah ancaman serangan skala besar, sejumlah inisiatif diplomatik digulirkan untuk mencegah perang lebih luas. Dewan Keamanan PBB telah memutuskan untuk mengakhiri mandat pasukan penjaga perdamaian UNIFIL pada akhir 2026 setelah hampir lima dekade hadir di Lebanon selatan untuk mengawasi penerapan Resolusi 1701 pascaperang 2006. Sebuah tim PBB baru-baru ini mengunjungi Lebanon untuk mengkaji opsi pasca-UNIFIL di perbatasan, merespons kekhawatiran pemerintah Lebanon soal potensi kekosongan keamanan jika pasukan itu ditarik sepenuhnya sementara konflik Israel–Hizbullah belum terselesaikan.
Uni Eropa di sisi lain tengah mempertimbangkan dukungan tambahan bagi aparat keamanan internal Lebanon agar tentara dapat lebih fokus pada pengawasan Hizbullah dan keamanan perbatasan, di tengah rencana jangka panjang mengurangi ketergantungan pada kehadiran militer internasional. Dokumen internal yang dilihat media menunjukkan opsi-opsi bantuan pelatihan dan peningkatan kapasitas tanpa menggantikan peran UNIFIL secara langsung. Namun sejauh ini, belum ada kerangka diplomatik yang benar-benar mampu menjamin de-eskalasi jangka panjang di perbatasan Israel–Lebanon.
Pernyataan pejabat militer Israel bahwa mereka tengah menyiapkan serangan skala besar ke Lebanon menempatkan kawasan pada persimpangan krusial antara perang total dan upaya de-eskalasi yang rapuh. Di satu sisi, Israel ingin mengakhiri ancaman roket dan rudal Hizbullah yang telah memaksa puluhan ribu warganya mengungsi dari utara. Di sisi lain, Lebanon yang dilanda krisis ekonomi dan sosial berkepanjangan nyaris tidak memiliki ruang untuk menanggung satu perang besar lagi di wilayahnya.
Sejauh ini, tekanan internasional—terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa—masih berfokus pada pencegahan “perang habis-habisan” yang dapat mengguncang seluruh Timur Tengah. Namun selama tidak ada kesepakatan politik yang menyentuh akar konflik Israel–Palestina dan peran Hizbullah dalam arsitektur keamanan Lebanon, ancaman serangan besar dari Israel ke Lebanon akan terus membayangi, menjadi satu lagi episode panjang ketidakpastian di kawasan yang tak pernah benar-benar keluar dari bayang-bayang perang.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.