Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghentikan sementara program Diversity Immigrant Visa—yang lebih dikenal sebagai green card lottery—menyusul penembakan mematikan di Brown University dan pembunuhan seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Keputusan ini memicu perdebatan sengit tentang hubungan antara kebijakan imigrasi, keamanan publik, dan keadilan bagi jutaan pencari visa sah dari seluruh dunia.
Image Illustration. Photo by Markus Winkler on Unsplash
Pada 13 Desember 2025, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di sebuah ruang kuliah di Brown University di Providence, Rhode Island, menewaskan dua mahasiswa dan melukai sembilan orang lainnya. Insiden itu diikuti dua hari kemudian oleh pembunuhan seorang profesor fisika MIT di rumahnya di Brookline, Massachusetts, yang oleh penegak hukum diyakini terkait dengan pelaku yang sama. Setelah perburuan selama lima hari, tersangka ditemukan tewas akibat luka tembak yang diduga dilakukan sendiri di sebuah unit penyimpanan di New Hampshire.
Tersangka diidentifikasi sebagai Claudio Manuel Neves Valente, warga negara Portugal berusia 48 tahun, mantan mahasiswa doktoral fisika di Brown yang juga pernah menjadi rekan seangkatan profesor MIT yang dibunuh. Menurut dokumen penegak hukum, Valente pertama kali datang ke AS dengan visa pelajar pada 2000 dan kemudian mendapatkan status penduduk tetap melalui program green card lottery pada 2017. Fakta inilah yang kemudian menjadi dasar politik bagi langkah terbaru Gedung Putih.
Pada Kamis, 18 Desember 2025, Presiden Trump memerintahkan penghentian sementara program Diversity Immigrant Visa yang setiap tahun menyediakan hingga 50.000 green card bagi warga negara dari negara-negara dengan tingkat imigrasi rendah ke AS. Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security Secretary) Kristi Noem melalui platform X, yang menyatakan bahwa pada arahan presiden, ia memerintahkan Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS (USCIS) untuk “mem-pause” program tersebut.
“Individu keji ini seharusnya tidak pernah diizinkan masuk ke negara kita,” tulis Noem, merujuk pada Valente, seraya menegaskan bahwa penghentian program diperlukan untuk meninjau ulang proses penyaringan keamanan. Trump sendiri selama bertahun-tahun telah menjadi pengkritik vokal terhadap sistem lotere, yang ia sebut sebagai jalur imigrasi “acak” dan “berisiko” dalam berbagai pidato dan cuitan semasa masa jabatan pertamanya.
Program Diversity Immigrant Visa dibentuk oleh Kongres AS melalui Immigration Act of 1990 untuk mendiversifikasi arus imigrasi dengan memberikan kesempatan imigrasi kepada negara-negara yang selama ini kurang terwakili di AS. Setiap tahun, hingga 50.000 visa imigran tersedia melalui undian acak yang dikelola Departemen Luar Negeri.
Minat terhadap program ini sangat besar: untuk lotere visa 2025, hampir 20 juta orang mendaftar, dengan sekitar 131.000 orang—termasuk pasangan dan anak—dipilih sebagai kandidat potensial untuk mengajukan izin tinggal tetap. Dari jumlah tersebut, warga Portugal hanya mendapatkan 38 slot, menegaskan bahwa negara asal tersangka bukanlah penerima manfaat utama program ini. Setiap pemenang undian diwajibkan menjalani proses verifikasi keamanan dan wawancara di konsulat sebelum memperoleh green card, prosedur yang setara dengan jalur imigrasi sah lainnya.
Data jangka panjang menunjukkan bahwa imigran, termasuk penerima Diversity Visa, cenderung memiliki tingkat kejahatan yang sama atau lebih rendah daripada penduduk asli kelahiran AS. Sebuah kajian oleh Cato Institute, misalnya, menemukan bahwa tingkat pemenjaraan imigran legal secara signifikan lebih rendah dibanding warga kelahiran AS di Texas, salah satu negara bagian dengan populasi imigran terbesar. Hal ini menjadi salah satu dasar kritik bahwa kebijakan baru pemerintah tidak sejalan dengan bukti empiris tentang keterkaitan imigrasi dan kejahatan.
Penghentian green card lottery segera mendapat dukungan dari para pendukung kebijakan imigrasi ketat yang selama ini menganggap program tersebut sebagai celah keamanan. Namun kelompok advokasi imigrasi menuduh Gedung Putih memanfaatkan tragedi untuk mendorong agenda lama membatasi imigrasi dari negara-negara berpenduduk mayoritas non-kulit putih.
Kica Matos, presiden National Immigration Law Center, menyebut langkah ini sebagai upaya “tanpa rasa malu” untuk menghapus jalur imigrasi sah bagi puluhan ribu orang dari negara mayoritas kulit hitam dan cokelat, seraya memperingatkan bahwa banyak di antara mereka akan terjebak ketidakpastian hukum selama proses gugatan di pengadilan berlangsung. Sejumlah pakar hukum imigrasi juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk menangguhkan program yang ditetapkan oleh Kongres, memprediksi akan ada tantangan konstitusional di pengadilan federal.
Penghentian green card lottery ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Sejak memasuki masa jabatan keduanya pada Januari 2025, Trump kembali menjadikan pengurangan imigrasi—baik legal maupun ilegal—sebagai salah satu prioritas utama kebijakan domestiknya. Sebelumnya, pemerintahannya telah memberlakukan perluasan larangan perjalanan (travel ban) yang memengaruhi warga dari 39 negara serta merombak aturan suaka dan reunifikasi keluarga sebagai respons terhadap insiden kekerasan yang melibatkan warga negara asing. Pengamat menilai pola ini konsisten: setiap serangan yang pelakunya imigran digunakan sebagai justifikasi bagi pengetatan kebijakan lebih lanjut.
Kebijakan ini juga berpotensi mengubah wajah demografis imigrasi ke AS. Studi Pusat Penelitian Pew menunjukkan bahwa sejak 1965, imigrasi telah menjadi pendorong utama pertumbuhan populasi AS, dengan sekitar 14% penduduk saat ini lahir di luar negeri—angka tertinggi dalam lebih dari satu abad. Banyak di antara mereka berasal dari kawasan yang menjadi sasaran pembatasan terkini, seperti Afrika dan Asia Selatan. Penutupan salah satu jalur legal yang relatif terjangkau seperti Diversity Visa diperkirakan akan mempersempit kesempatan migrasi bagi kelompok ini secara signifikan bila perubahan itu menguat menjadi permanen.
Bagi hampir 20 juta orang yang mendaftar setiap tahun, penghentian green card lottery menciptakan ketidakpastian yang luas. Mereka yang telah terpilih untuk siklus 2025 dan sedang menjalani proses verifikasi kini berisiko kehilangan kesempatan bila pemerintah memutuskan menutup program sepenuhnya. Departemen Luar Negeri sebelumnya telah menunda pendaftaran untuk program 2027, menandakan bahwa perubahan struktural telah dipertimbangkan bahkan sebelum tragedi di Brown dan MIT terjadi. Bagi universitas-universitas riset seperti Brown dan MIT, yang bergantung pada talenta internasional, langkah ini juga dipandang dapat mempersempit pasokan calon mahasiswa dan peneliti di masa depan.
Di sisi lain, bagi para pendukung kebijakan baru, penghentian lotere dianggap sebagai kesempatan untuk merancang ulang sistem seleksi imigran berbasis kriteria seperti keterampilan, pendidikan, atau kebutuhan pasar tenaga kerja AS, alih-alih mengandalkan undian acak. Namun hingga kini, Gedung Putih belum merilis proposal rinci pengganti program tersebut, selain janji peninjauan menyeluruh terhadap aspek keamanan dan kelayakan ekonomi.
Penembakan di Brown University dan pembunuhan profesor MIT menambah daftar panjang kekerasan bersenjata yang mengguncang ruang publik Amerika—dari sekolah hingga rumah ibadah. Namun, tidak seperti banyak tragedi sebelumnya yang memicu perdebatan tentang kontrol senjata, insiden kali ini segera bergulir ke ranah kebijakan imigrasi, khususnya green card lottery yang selama ini menjadi simbol kesempatan bagi warga dari negara-negara kurang terwakili.
Apakah penghentian Diversity Visa akan terbukti meningkatkan keamanan publik atau justru mengorbankan jalur sah yang relatif aman dan terukur masih akan diuji oleh data, riset akademik, dan pada akhirnya pengadilan. Untuk saat ini, jutaan calon migran dan ribuan keluarga yang menanti reunifikasi harus menunggu kepastian, sementara AS kembali bergulat dengan pertanyaan lama: bagaimana menyeimbangkan hak untuk bermigrasi, kebutuhan akan keamanan, dan komitmen pada nilai-nilai keterbukaan yang telah lama diklaim sebagai jati diri nasionalnya.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.