Seekor buaya berukuran besar muncul di area persawahan warga di Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa, 23 Desember 2025. Kemunculan satwa liar ini sontak menggegerkan warga setempat dan memicu operasi penyelamatan oleh Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Damkar) Kota Bekasi.
Peristiwa tersebut menjadi sorotan karena buaya biasanya ditemukan di aliran sungai atau rawa, bukan di tengah sawah yang berdekatan dengan permukiman padat penduduk. Video evakuasi buaya dari sawah Cikiwul sempat beredar luas di media sosial melalui akun-akun informasi lokal.
Kronologi Kemunculan Buaya di Sawah Cikiwul
Menurut pemberitaan media lokal, buaya tersebut pertama kali terlihat warga di area sawah RW 04 Kelurahan Cikiwul, Bantargebang. Rekaman yang diunggah ke media sosial memperlihatkan seekor buaya berukuran besar tengah berdiam di petak sawah, sementara tanaman padi di sekitarnya tampak rusak akibat pergerakan tubuh hewan tersebut.
Ketua RT setempat kemudian melaporkan kejadian itu ke Damkar Kota Bekasi. Petugas yang datang ke lokasi memastikan area sekitar aman dari kerumunan warga sebelum memulai proses evakuasi. Operasi melibatkan personel penyelamat dengan peralatan tali, jaring, dan penutup kepala buaya agar satwa tersebut tidak membahayakan petugas maupun warga.
Evakuasi Hampir Tiga Jam, Buaya Diserahkan ke Otoritas Berwenang
Proses evakuasi buaya dari sawah Cikiwul bukan perkara mudah. Laporan petugas di lapangan menyebutkan, operasi berlangsung hampir tiga jam karena medan berlumpur dan ukuran buaya yang cukup besar sehingga menyulitkan pengangkatan ke darat secara aman.
Damkar Kota Bekasi menerjunkan sedikitnya dua unit kendaraan operasional dari sektor Bekasi Selatan dan Bantargebang. Setelah tubuh buaya berhasil diikat dan mulutnya diamankan dengan lakban, satwa tersebut diangkat ke kendaraan untuk kemudian dipindahkan ke lokasi penampungan sementara.
Petugas Damkar memastikan tidak ada korban jiwa maupun luka dalam insiden ini. Buaya kemudian dipastikan tidak akan dipelihara secara ilegal atau dilepas sembarangan, melainkan akan diserahkan ke instansi terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), untuk penanganan lanjutan sesuai ketentuan konservasi satwa liar.
Fenomena Buaya di Permukiman: Gejala Konflik Manusia–Satwa
Kemunculan buaya di sawah Cikiwul bukan kasus tunggal dalam beberapa tahun terakhir. Di sejumlah daerah di Indonesia, konflik antara manusia dan satwa liar, termasuk buaya, tercatat meningkat seiring penyempitan habitat dan perubahan tata guna lahan di daerah pesisir dan bantaran sungai.
Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di berbagai provinsi menunjukkan tren konflik manusia–satwa liar yang konsisten setiap tahun. Di Bengkulu, misalnya, BKSDA mencatat 26 kejadian konflik manusia dengan satwa liar sepanjang 2022, lima di antaranya melibatkan buaya muara. Sementara di Resor Agam, Sumatera Barat, BKSDA melaporkan 11 konflik satwa dengan manusia selama 2019, lima di antaranya juga melibatkan buaya muara.
Pola yang sama terlihat di Sumatera Selatan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel mencatat sedikitnya 23 kasus konflik buaya dengan manusia sepanjang 2017–2021 di sembilan kabupaten dan kota, dengan wilayah pesisir seperti Banyuasin sebagai lokasi yang paling sering terjadi insiden.
Perubahan Lingkungan dan Ancaman di Daerah Urban
Pakar konservasi menilai, konflik manusia–satwa liar cenderung meningkat di wilayah yang mengalami alih fungsi lahan secara cepat. Pembukaan lahan pertanian, permukiman, dan kawasan industri di sempadan sungai serta rawa-rawa menyebabkan habitat alami buaya menyempit dan memaksa satwa ini bergerak lebih dekat ke area aktivitas manusia.
BKSDA di sejumlah wilayah juga menyoroti peran kebakaran hutan dan lahan dalam mendorong satwa keluar dari habitat alaminya. Kebakaran yang melanda kawasan hutan dapat memaksa berbagai jenis satwa—mulai dari gajah hingga buaya—bergerak ke daerah yang lebih rendah dan sering kali berujung pada pertemuan dengan manusia di tepi sungai, kanal, hingga lahan pertanian.
Bekasi sendiri merupakan kawasan penyangga Jakarta yang mengalami urbanisasi pesat dalam beberapa dekade terakhir. Di beberapa titik, permukiman dan kawasan industri berdiri berdekatan dengan aliran sungai maupun lahan basah yang sebelumnya menjadi habitat berbagai satwa, termasuk reptil air seperti buaya. Kondisi inilah yang membuat potensi pertemuan antara manusia dan satwa liar semakin besar, meski kota tersebut dikenal sebagai wilayah urban dan padat penduduk.
Antara Fakta dan Hoaks: Pentingnya Informasi Resmi
Insiden buaya di sawah Cikiwul terjadi di tengah maraknya kabar bohong terkait kemunculan buaya di wilayah Bekasi. Sebelumnya, beredar video yang diklaim menunjukkan buaya masuk ke rumah warga saat banjir di Bekasi, namun setelah ditelusuri aparat dan otoritas terkait, video tersebut ternyata bukan berasal dari Bekasi dan dinyatakan sebagai informasi menyesatkan.
Hoaks lain yang sempat beredar pada pertengahan 2025 adalah klaim bahwa 22 ekor buaya lepas dari penangkaran di Jatiraden, Bekasi, akibat banjir dan masuk ke aliran Kali Sunter. Klaim ini kemudian dibantah dan diklarifikasi sebagai tidak benar oleh lembaga pemeriksa fakta.
Dalam konteks ini, peristiwa buaya di sawah Cikiwul justru menunjukkan pentingnya membedakan antara laporan resmi dan kabar tidak terverifikasi di media sosial. Laporan warga yang disalurkan melalui kanal resmi ke Damkar dan kemudian dikonfirmasi melalui pemberitaan media arus utama memberikan gambaran yang lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dibanding sekadar unggahan viral tanpa sumber jelas.
Edukasi Warga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Menemukan Buaya?
Otoritas konservasi dan penanggulangan bencana secara berkala mengimbau masyarakat di daerah yang berdekatan dengan sungai, rawa, atau kanal untuk segera melapor jika melihat satwa liar berbahaya. Dalam banyak kasus, BKSDA membuka layanan pelaporan melalui call center atau nomor pengaduan yang dapat dihubungi warga ketika terjadi konflik satwa liar, mulai dari harimau, beruang, hingga buaya.
Menjaga jarak aman dan tidak berusaha mendekat atau mengganggu satwa, termasuk untuk keperluan dokumentasi.
Menghindari aktivitas di tepi sungai atau sawah yang berair dalam saat ada laporan kemunculan buaya di sekitar lokasi.
Segera melapor ke aparat desa, Damkar, BKSDA, atau kepolisian setempat melalui jalur resmi yang tersedia.
Pendekatan berbasis edukasi ini penting mengingat banyak konflik satwa liar dipicu oleh kurangnya informasi di tingkat masyarakat, baik terkait bahaya satwa maupun prosedur penanganannya. BKSDA di berbagai daerah menegaskan bahwa pelaporan dini dan tidak bertindak sendiri menjadi kunci untuk meminimalkan risiko korban jiwa dan memastikan satwa dapat dievakuasi dengan aman.
Penutup: Peringatan dari Sawah Cikiwul
Kasus buaya besar di sawah Cikiwul menjadi pengingat bahwa batas antara habitat satwa liar dan ruang hidup manusia kian menipis, bahkan di kawasan urban seperti Bekasi. Meski berakhir tanpa korban jiwa, insiden ini menyoroti pentingnya tata kelola ruang yang mempertimbangkan ekosistem serta kesiapsiagaan aparat dan warga menghadapi potensi konflik satwa liar.
Keberhasilan Damkar Bekasi mengevakuasi buaya dari tengah sawah menunjukkan bahwa mekanisme respon darurat dapat berjalan efektif ketika ada koordinasi antara warga, pemerintah lokal, dan otoritas konservasi. Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa setiap laporan kemunculan satwa liar ditangani secara cepat berbasis data, sembari melawan derasnya arus informasi palsu yang kerap memperkeruh situasi di lapangan.