Wacana pembangunan jembatan raksasa yang menghubungkan Malaysia dan Indonesia kembali mencuat. Pemerintah Negara Bagian Melaka tengah mengkaji proyek jembatan sepanjang sekitar 47–47,7 kilometer yang akan membentang dari pesisir Melaka menuju wilayah Indonesia di seberang Selat Malaka. Rencana ini, jika terwujud, berpotensi menjadi salah satu jembatan terpanjang di Asia Tenggara dan mengubah peta konektivitas kawasan.
Ketua Menteri Melaka, Datuk Seri Ab Rauf Yusoh, menjadi figur kunci di balik gagasan jembatan lintas negara ini. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah negara bagian telah mengalokasikan dana sekitar RM 500.000—sekitar Rp 2,04 miliar—untuk menunjuk konsultan yang akan menyusun studi awal dari aspek teknis, ekonomi, dan logistik. Menurut pernyataan resmi pemerintah Melaka, jembatan dirancang membentang sekitar 47,7 kilometer dari Pengkalan Balak di Masjid Tanah menuju wilayah Indonesia di seberang Selat Malaka.
Kerangka kajian proyek ini disebut akan dibawa ke Majlis Perancang Fizikal Negara (MPFN) pada awal 2026 untuk dinilai dari berbagai aspek, mulai dari kelayakan teknis hingga dampak tata ruang. Setelah itu, barulah rancangan akan secara resmi disampaikan kepada pemerintah Indonesia untuk dibahas sebagai proyek bersama lintas negara.
Di sisi Indonesia, sejumlah pemberitaan dan dokumen resmi pemerintah daerah menyebut Kota Dumai di Riau sebagai titik yang paling potensial menjadi ujung jembatan. Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Kota Dumai, bersama Universiti Teknikal Malaysia Melaka (UTeM), telah beberapa kali menggelar diskusi terfokus (FGD) untuk membahas studi kelayakan jembatan penghubung Melaka–Dumai, termasuk aspek finansial, ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pertemuan lintas pihak itu menegaskan bahwa proyek ini dinilai mampu memperkuat hubungan bilateral di bidang transportasi dan perdagangan.
Sebelumnya, pada 2022 sempat muncul rencana jauh lebih besar: koridor jembatan atau terowongan sepanjang sekitar 120 kilometer yang menghubungkan Dumai di Sumatra dengan Telok Gong di Melaka. Opsi tersebut digagas melalui kerja sama sektor swasta dan diproyeksikan memakan waktu hingga 20 tahun untuk diselesaikan. Namun, wacana terbaru mengarah pada trase lebih pendek sekitar 47–47,7 kilometer yang dinilai lebih realistis untuk tahap awal, baik dari sisi teknis maupun pembiayaan.
Selat Malaka selama ini dikenal sebagai salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, dilintasi lebih dari 80.000 kapal per tahun dan menyumbang sebagian besar arus perdagangan antara Asia Timur dan Asia Selatan menuju Eropa dan Timur Tengah. Pembangunan jembatan permanen di atas selat strategis ini diyakini dapat mengubah pola konektivitas logistik regional, membuka akses langsung jalur darat antara Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatra, yang kemudian terhubung ke jaringan jalan lintas Sumatra serta ke Jawa.
Pemerintah Melaka menilai jembatan ini dapat menjadi katalis pertumbuhan kawasan industri baru di Masjid Tanah yang disiapkan di atas lahan sekitar 5.000 hektare. Kawasan itu disebut akan dikembangkan sebagai klaster industri dan logistik yang melayani arus barang ke dan dari Indonesia. Di Indonesia, daerah seperti Dumai dan Bengkalis—yang sudah lama menjadi simpul penting ekspor minyak sawit dan komoditas lainnya—berpotensi meraup manfaat lewat meningkatnya investasi dan penyerapan tenaga kerja.
Salah satu proyeksi yang menarik perhatian publik adalah potensi pemangkasan waktu tempuh lintas negara. Sejumlah pemberitaan menyebut bahwa jika jembatan terbangun, perjalanan dari Melaka ke titik di Indonesia hanya akan memakan waktu sekitar 40 menit dengan kendaraan pribadi—jauh lebih singkat dibanding jalur laut atau udara yang ada saat ini. Klaim ini didasarkan pada estimasi kecepatan tempuh di atas struktur jembatan yang memungkinkan kendaraan melaju dalam kecepatan jalan tol.
Meski menawarkan berbagai peluang ekonomi, proyek jembatan lintas negara di atas Selat Malaka juga menyimpan tantangan teknis dan lingkungan yang signifikan. Selat ini dikenal memiliki lalu lintas kapal padat, arus kuat, serta kedalaman laut bervariasi. Pembangunan struktur sepanjang puluhan kilometer akan menuntut teknologi rekayasa tinggi, mirip dengan proyek jembatan-jembatan laut besar di Tiongkok atau Eropa. Pengalaman Malaysia dan Indonesia dalam menggarap infrastruktur skala besar—seperti Jalan Raya Pan-Borneo di Kalimantan dan Sabah—bisa menjadi referensi, tetapi bentang laut yang panjang tetap menghadirkan kompleksitas tersendiri.
Aspek lingkungan juga menjadi sorotan. Selat Malaka merupakan kawasan ekosistem laut penting dan jalur migrasi biota, sekaligus wilayah yang rentan terhadap tumpahan minyak dan polusi kapal. Penempatan tiang jembatan, pekerjaan konstruksi besar-besaran, hingga peningkatan lalu lintas kendaraan darat berpotensi memicu perubahan pada kualitas air dan habitat pesisir. Karena itu, studi lingkungan strategis (strategic environmental assessment) diperkirakan akan menjadi salah satu prasyarat utama sebelum proyek dilanjutkan lebih jauh.
Dari sisi politik, rencana ini belum sepenuhnya menjadi kebijakan nasional kedua negara. Saat ini, posisi proyek masih pada tingkat inisiatif pemerintah negara bagian Melaka yang perlu dukungan pemerintah federal Malaysia dan persetujuan pemerintah Indonesia. Di Malaysia, kalangan oposisi dan sebagian pengamat mempertanyakan urgensi proyek ini di tengah tekanan fiskal dan kebutuhan infrastruktur domestik lain yang masih besar.
Di Indonesia, isu ini mengemuka di tengah fokus pembangunan konektivitas di Kalimantan menyusul pemindahan ibu kota negara ke Nusantara. Selain wacana jembatan Melaka–Dumai, kedua negara juga tengah mengembangkan jalan lintas batas darat di Kalimantan Utara yang menghubungkan Sei Manggaris di Nunukan dengan Serudong di Sabah—bagian dari upaya memperkuat jaringan konektivitas regional di luar jalur Selat Malaka. Proyek jalan lintas batas tersebut sudah memasuki tahap pembangunan jalan dan pos lintas batas (ICQS) dan menjadi contoh konkret bagaimana kerja sama infrastruktur RI–Malaysia dijalankan secara bertahap.
Sejauh ini, belum ada keputusan final dari pemerintah pusat di Jakarta maupun Kuala Lumpur terkait pembangunan jembatan sepanjang 47,7 kilometer tersebut. Pemerintah Melaka menargetkan studi awal dimulai pada Januari 2026, sebelum nantinya dibahas di level nasional dan bilateral. Artinya, proyek ini masih berada pada tahap wacana dan kajian, dengan perjalanan panjang yang harus ditempuh sebelum memasuki fase konstruksi—mulai dari pembiayaan, desain teknis, pembebasan lahan, hingga persetujuan politik di kedua negara.
Namun demikian, menguatnya kembali wacana jembatan Malaysia–Indonesia menunjukkan satu hal penting: kebutuhan akan konektivitas yang lebih erat di kawasan, seiring transformasi ekonomi Asia Tenggara dan integrasi pasar ASEAN. Apakah jembatan raksasa sepanjang 47,7 kilometer ini akan benar-benar berdiri di atas Selat Malaka, pada akhirnya akan bergantung pada kemampuan kedua negara menimbang manfaat jangka panjang melawan risiko dan biaya yang tidak sedikit.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.