Pasar keuangan Amerika Serikat menutup akhir tahun 2025 dengan kombinasi kabar yang tampak paradoksal: pertumbuhan ekonomi yang tetap solid, inflasi yang lebih jinak, penundaan tarif baru untuk chip dari China, dan indeks S&P 500 yang kembali mencetak rekor penutupan tertinggi. Dinamika inilah yang mewarnai lanskap yang sering menjadi sorotan buletin pagi seperti “Morning Squawk” di CNBC, ketika investor bangun menghadapi pasar yang tampak optimistis namun sarat risiko struktural.
Image Illustration. Photo by Wolfgang Weiser on Unsplash
Data resmi terbaru menunjukkan bahwa perekonomian AS masih melaju di atas tren historis, meski bank sentral mempertahankan suku bunga pada level yang restriktif. Menurut Bureau of Economic Analysis, produk domestik bruto (PDB) riil AS tumbuh 2,4% secara tahunan pada kuartal IV 2024, sedikit melambat dari 3,1% pada kuartal sebelumnya, tetapi tetap menandai ekspansi yang kuat untuk ekonomi maju terbesar di dunia.
Secara keseluruhan tahun 2024, PDB riil AS naik sekitar 2,8%, hanya sedikit di bawah laju 2,9% pada 2023. Angka ini berkebalikan dengan kekhawatiran resesi yang mendominasi konsensus banyak ekonom sejak fase awal pengetatan moneter The Fed. Laporan yang sama menunjukkan bahwa belanja konsumen dan pengeluaran pemerintah menjadi pendorong utama, sementara investasi bisnis mulai melemah seiring biaya pinjaman yang tinggi.
Di sisi harga, indeks harga untuk gross domestic purchases meningkat 2,4% pada 2024, sementara indeks harga PCE – ukuran inflasi favorit The Fed – naik 2,5%. Angka ini menempatkan inflasi hanya sedikit di atas target 2%, memberi ruang bagi ekspektasi bahwa bank sentral dapat mulai melonggarkan kebijakan pada 2026 jika tren berlanjut.
Namun, kekuatan ekonomi tidak tersebar rata. Sektor-sektor yang terkait dengan teknologi, kecerdasan buatan (AI), dan industri berintensitas modal menikmati lonjakan investasi dan produktivitas, sementara sebagian pekerja di sektor tradisional masih merasakan tekanan upah dan ketidakpastian kerja. Pola ini menciptakan apa yang sering disebut analis sebagai pemulihan “K-shaped”, di mana sebagian kelompok melesat sementara yang lain tertinggal.
Salah satu kabar paling penting bagi sektor teknologi dan manufaktur adalah keputusan Washington untuk menunda implementasi tarif baru atas impor semikonduktor dari China. Pemerintah Trump, yang melanjutkan investigasi dagang era Biden, menyatakan bahwa kebijakan industri chip Beijing “tidak wajar” dan merugikan pelaku usaha AS. Namun, alih-alih langsung memberlakukan bea masuk tinggi, Gedung Putih memilih jalan tengah.
Dalam pemberitahuan resmi dari U.S. Trade Representative, disebutkan bahwa tarif terhadap semikonduktor China akan tetap di level nol selama 18 bulan sebelum dinaikkan mulai 23 Juni 2027, ke tingkat yang akan diumumkan setidaknya 30 hari sebelumnya. Keputusan ini lahir dari investigasi Section 301 yang menyimpulkan bahwa China menargetkan dominasi industri chip, khususnya chip generasi lama (legacy chips) yang digunakan di berbagai aplikasi mulai dari elektronik konsumen hingga otomotif dan pertahanan.
Otoritas perdagangan AS menyatakan bahwa kebijakan China di sektor chip dinilai sebagai praktik non-pasar yang memberatkan dan membatasi perdagangan AS sehingga dapat dikenai tindakan balasan tarif. Namun, dengan menunda kenaikan tarif, Washington berupaya mempertahankan daya tawar sekaligus memberi waktu bagi perusahaan dan rantai pasok global untuk beradaptasi, termasuk dengan mempercepat relokasi produksi ke negara lain atau membangun kapasitas domestik.
Bagi pasar, penundaan ini mengurangi risiko guncangan jangka pendek pada harga komponen elektronik dan kendaraan, walaupun ketegangan struktural antara dua ekonomi terbesar dunia tetap menjadi latar belakang yang tidak bisa diabaikan. Kebijakan ini juga berpotensi beririsan dengan langkah pembatasan ekspor chip AI canggih ke China, yang sudah menuai kontroversi politik di Washington, termasuk terkait rencana penjualan chip AI Nvidia generasi terbaru ke Beijing.
Sementara itu, di Wall Street, optimisme investor tercermin jelas pada indeks saham utama. Menjelang libur Natal, S&P 500 ditutup pada rekor tertinggi baru, menembus 6.900 poin pada 24 Desember 2025, melanjutkan reli lima hari yang dikenal sebagai “Santa rally” – pola historis kenaikan pasar pada akhir tahun. Indeks Dow Jones Industrial Average juga mencatatkan level penutupan tertinggi sepanjang masa di hari yang sama, sementara Nasdaq menguat tipis tetapi tetap di dekat puncak tahunannya.
Pencapaian ini datang setelah serangkaian kenaikan sebelumnya sepanjang 2024, ketika S&P 500 melampaui tonggak psikologis 6.000 poin pada November 2024. Laporan S&P Global mencatat bahwa pada November 2024, indeks S&P 500 naik 5,7% dan menutup bulan di level tertinggi sepanjang masa saat itu, sementara Dow melonjak 7,5% dan Russell 2000 naik 10,8%. Lonjakan tersebut sangat ditopang oleh sektor-sektor yang sensitif terhadap siklus suku bunga dan ekspektasi pemangkasan kebijakan moneter di masa depan.
Faktor lain yang tak kalah penting adalah euforia seputar teknologi kecerdasan buatan. Saham-saham perusahaan yang terkait AI – mulai dari produsen chip hingga penyedia komputasi awan – menjadi motor utama reli indeks, dengan kapitalisasi pasar raksasa teknologi mendominasi bobot S&P 500. Dalam beberapa bulan terakhir, antusiasme terhadap potensi produktivitas AI telah meredam kekhawatiran penurunan laba di sektor lain, meski sebagian analis memperingatkan risiko valuasi yang terlalu mahal.
Di permukaan, kombinasi pertumbuhan ekonomi yang solid, inflasi yang mendekati target, dan pasar saham yang mencetak rekor tampak seperti skenario ideal. Namun, di balik angka-angka utama itu, beberapa risiko struktural tetap menghantui. Pertama, ketergantungan pasar pada segelintir saham teknologi berkapitalisasi raksasa membuat indeks rentan terhadap koreksi tajam jika sentimen terhadap sektor tersebut berubah.
Kedua, konflik dagang dan teknologi dengan China memasuki babak baru yang lebih kompleks. Penundaan tarif chip hingga 2027 memberikan ruang napas jangka pendek, tetapi juga menandai bahwa konfrontasi industri semikonduktor kemungkinan akan berlangsung bertahun-tahun. Kebijakan yang berubah-ubah terkait ekspor chip canggih dan pembatasan investasi lintas negara dapat menambah ketidakpastian bagi perusahaan global yang bergantung pada rantai pasok yang saling terhubung.
Ketiga, walaupun inflasi turun, biaya hidup bagi banyak rumah tangga masih terasa tinggi dibanding sebelum pandemi. Harga perumahan, sewa, dan layanan kesehatan tetap menjadi tekanan utama. Suku bunga hipotek yang masih elevated membuat banyak keluarga menunda pembelian rumah, sementara kantong tabungan yang terisi selama masa stimulus perlahan menipis, terutama di kelompok berpenghasilan rendah dan menengah.
Untuk saat ini, headline yang diangkat dalam ringkasan pagi seperti “Morning Squawk” memberikan narasi yang relatif menggembirakan: ekonomi yang terus tumbuh, inflasi yang turun, kebijakan tarif yang tidak langsung mengguncang rantai pasok, dan indeks saham utama yang meroket ke rekor baru. Bagi investor jangka pendek, kondisi ini tampak mendukung strategi “risk-on”.
Namun, bagi pembuat kebijakan dan investor jangka panjang, ujian sesungguhnya justru ada pada kemampuan sistem ekonomi untuk menavigasi risiko-risiko struktural: dari persaingan teknologi AS–China, perubahan iklim, hingga ketimpangan pendapatan domestik. Pagi mungkin tampak cerah, tetapi langit di cakrawala tetap menyimpan awan – dan itulah konteks yang perlu disadari setiap kali kita menyimak deretan angka hijau di layar pasar keuangan.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.