Dalam pidato berdurasi hampir satu jam yang disiarkan secara nasional pada 17 Desember 2025, Presiden Donald Trump menggunakan panggung kepresidenan untuk membela strategi ekonominya sekaligus mengklaim keberhasilan besar di bidang imigrasi dan tarif. Pidato yang dikemas layaknya siaran kampanye itu datang di tengah merosotnya tingkat kepercayaan publik dan meningkatnya kritik terhadap dampak kebijakan dagang dan perbatasannya.
Image Illustration. Photo by Markus Winkler on Unsplash
Trump menggambarkan Amerika berada di ambang “ledakan ekonomi terbesar dalam sejarah” sambil menuding lawan politik dan pendahulunya sebagai biang kenaikan harga. Namun di balik retorika, fakta ekonomi dan data imigrasi memberikan gambaran yang lebih kompleks tentang efek tarif serta kebijakan perbatasan yang kini menjadi pusat pesan politiknya.
Dalam pidatonya, Trump kembali memuji kebijakan tarif sebagai “mesin pemasukan” yang menurutnya membebani negara pesaing, bukan konsumen Amerika. Sejak awal masa jabatan keduanya, Gedung Putih mengandalkan kewenangan darurat untuk memperluas dan menaikkan tarif atas beragam impor, terutama dari Tiongkok. Kebijakan ini mendorong lonjakan tajam penerimaan bea masuk, dengan estimasi penerimaan tarif federal sekitar 195 miliar dolar AS pada 2025 dari bea dan cukai, jauh di atas rata-rata sebelum perang dagang beberapa tahun lalu.
Namun di balik angka tersebut, ekonom menilai bahwa beban tarif pada akhirnya banyak ditanggung oleh importir dan konsumen domestik melalui harga yang lebih tinggi. Analisis independen memperkirakan bahwa kombinasi tarif tambahan di bawah Trump meningkatkan biaya hidup rata-rata rumah tangga AS sekitar 1.100 dolar AS per rumah tangga pada 2025, meski dampak pastinya bervariasi tergantung pola konsumsi dan sektor industri yang terdampak.
Trump juga berulang kali mengklaim bahwa tarif dapat menggantikan sebagian besar penerimaan pajak penghasilan. Para analis fiskal menilai klaim itu berlebihan: sekalipun penerimaan bea melonjak, angka tersebut masih jauh di bawah total penerimaan pajak federal tahunan yang menembus lebih dari 4 triliun dolar AS. Kantor Anggaran Kongres (CBO) sebelumnya telah mengingatkan bahwa tarif yang luas cenderung menekan investasi dan produktivitas dalam jangka panjang, meskipun efeknya tercampur dengan faktor pendorong seperti gelombang investasi kecerdasan buatan pada pertengahan dekade ini.
Di balik retorika kemenangan, ada risiko hukum besar yang jarang disinggung dalam pidato televisi. Sejumlah tarif utama yang diberlakukan Trump bersandar pada kewenangan darurat di bawah International Emergency Economic Powers Act (IEEPA). Dalam sidang terbaru, beberapa hakim Mahkamah Agung dari kubu konservatif sekalipun menyatakan skeptis terhadap perluasan kewenangan tersebut.
Jika Mahkamah Agung memutuskan bahwa penggunaan IEEPA untuk mengenakan tarif luas adalah inkonstitusional, pemerintah dapat diwajibkan mengembalikan hingga 100 miliar dolar AS kepada importir AS yang selama ini membayar bea tambahan.
Pemerintahan Trump kemungkinan akan berupaya menunda pengembalian dana ini, memaksa perusahaan mengajukan gugatan satu per satu—sebuah proses yang bisa berlarut hingga 2027. Para peneliti di lembaga seperti Cato Institute dan American Enterprise Institute telah memperingatkan bahwa sengketa ini menyoroti ekspansi kewenangan dagang presiden yang hampir tak terkendali, dan mendorong Kongres untuk membatasi ruang gerak eksekutif di masa depan.
Bagian paling menonjol dari pidato Trump adalah rangkaian klaim bahwa kebijakan imigrasi kerasnya telah menghasilkan perbatasan “paling aman dalam sejarah Amerika.” Pemerintah menunjuk data resmi sebagai bukti: pada Juni 2025, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) melaporkan 25.243 pertemuan imigrasi di seluruh negeri, angka bulanan terendah dalam sejarah CBP dan 89 persen lebih rendah dari rata-rata bulanan 2021–2024.
Komite Keamanan Dalam Negeri DPR, yang dikuasai Partai Republik, merilis serangkaian “Border Brief” yang menegaskan apa yang mereka sebut efek jera instan dari kebijakan baru Trump. Dalam 11 hari pertama masa jabatan keduanya pada Januari 2025, data menunjukkan 81.792 pertemuan di semua perbatasan, turun 66 persen dibanding Januari 2024 dan 34 persen dibanding Desember 2024.
Pada Februari 2025, bulan penuh pertama Trump kembali menjabat, komite yang sama mencatat hanya 28.654 pertemuan di seluruh negeri dan 11.709 di perbatasan barat daya, dengan penurunan 94 persen untuk penangkapan di antara pos resmi dibanding Februari 2024. CBP sendiri melaporkan bahwa sejak awal 2025, angka pertemuan nasional turun lebih dari 90 persen dibanding puncaknya di bawah pemerintahan sebelumnya.
Di sisi lain, para pembela hak asasi manusia dan pakar kebijakan imigrasi menekankan bahwa angka penurunan tajam ini tidak serta merta berarti “perbatasan aman”, melainkan mencerminkan kombinasi penegakan yang jauh lebih keras, perluasan penahanan, pengusiran cepat, dan perjanjian dengan negara transit yang menekan arus migran sebelum mencapai wilayah AS. Mereka juga mencatat bahwa definisi “keamanan” berbeda antara indikator penurunan arus dan perlakuan terhadap pencari suaka di lapangan.
Trump dalam pidatonya menonjolkan berakhirnya praktik “catch and release”—kebijakan di mana sebagian migran dibebaskan sementara menunggu proses hukum. Data resmi CBP menunjukkan bahwa sejak Mei 2025, pemerintah mencapai empat bulan berturut-turut tanpa pembebasan di perbatasan, dengan total pertemuan nasional pada Agustus 2025 tercatat 26.197, atau 93 persen di bawah puncak era Biden. Komite DPR mencatat bahwa pada bulan yang sama,
Bagi basis pendukung Trump, capaian ini dikemas sebagai bukti bahwa kebijakan keras berhasil “mengembalikan kontrol” dan melemahkan kartel penyelundup. Bagi kelompok hak migran dan sebagian pakar hukum, angka nol pelepasan ini memunculkan kekhawatiran tentang penahanan jangka panjang, kondisi fasilitas, dan akses ke proses suaka yang adil bagi mereka yang melarikan diri dari kekerasan atau penganiayaan.
Secara politik, pidato nasional ini menandai upaya Trump untuk mengkonsolidasikan narasi menjelang tahun anggaran 2026 dan pertarungan legislasi besar di Kongres. Menurut laporan The Washington Post, satu-satunya kebijakan baru yang jelas diumumkan adalah rencana “dividen pejuang” sebesar 1.776 dolar AS bagi sekitar 1,4 juta anggota militer aktif, sementara sisanya lebih banyak berisi pembelaan rekam jejak dan serangan terhadap lawan politik.
Jaringan televisi dikritik Demokrat karena memberi panggung bagi siaran yang dinilai lebih menyerupai kampanye daripada pembaruan kebijakan resmi. Di saat yang sama, fakta bahwa Trump memilih menyoroti tarif dan imigrasi—dua isu yang memecah belah namun menggalang basis pendukungnya—menggambarkan betapa sentralnya kedua tema tersebut dalam strategi politiknya ke depan.
Pidato Trump ke seluruh negeri menegaskan kembali formula politik yang telah ia gunakan sejak 2016: menggabungkan kebanggaan nasional, retorika keras soal perbatasan, dan keyakinan bahwa tarif dapat memaksa dunia menerima syarat Amerika. Data resmi menunjukkan bahwa kebijakan imigrasinya memang berkorelasi dengan penurunan tajam pertemuan di perbatasan dan berakhirnya praktik pembebasan massal, sementara strategi tarif menaikkan penerimaan bea dan mengubah pola perdagangan global.
Namun di balik angka, ada konsekuensi lain: tekanan terhadap rumah tangga dan pelaku usaha akibat harga yang lebih tinggi, ketidakpastian hukum atas legalitas tarif, serta pertanyaan moral dan hukum tentang bagaimana Amerika memperlakukan pencari suaka dan migran yang rentan. Di tahun-tahun mendatang, Mahkamah Agung dan Kongres akan berperan besar menentukan apakah warisan tarif dan kebijakan imigrasi Trump bertahan sebagai norma baru, atau dicabut dan diganti dengan pendekatan yang berbeda.
You've reached the juicy part of the story.
Sign in with Google to unlock the rest — it takes 2 seconds, and we promise no spoilers in your inbox.
Free forever. No credit card. Just great reading.